Fiction
Prahara [7]

13 May 2012


Syuting film Escape from Java menyita perhatian puluhan wartawan media cetak dan infotainment. Begitu banyak berita besar yang menyertai pembuatan film beranggaran sepuluh miliar rupiah itu. 

Sampai kini berita gugatan cerai Citra kepada Ferdy, yang dilanjutkan dengan sidang kilat, yang seolah-olah disembunyikan, diliput puluhan media. Malam sebelumnya, Gunawan, sang produser film, menghubungi seorang jurnalis. Dan, dalam sekejap pesan melalui udara meluncur bertubi-tubi, sehingga keesokan paginya ruang pengadilan disesaki jurnalis dengan berbagai alat perekam suara dan gambar.

Kini, nyaris tak ada yang tertutup lagi. Termasuk hubungan Bagas dan Citra yang tak pernah dibantah. Itu makin menaikkan tiras Cineast. Sekaligus memperuncing hubungan Bagas dengan Wulan.

“Matikan, cepat matikan!”

Teriakan Wulan membuat tangan Prasojo sampai gemetar ketika menekan remote control pesawat televisi. Malam ini di ruang keluarga, Wulan bersama Harini, Prasojo, dan si kembar, menyaksikan televisi ketika tiba-tiba muncul wajah Citra yang memberi pernyataan dari lokasi syuting. Wulan sempat melihat gambar ratusan orang menonton syuting di Jalan Malioboro.

Harini memberi isyarat kepada kedua anak kembarnya untuk menyingkir. Lalu, ia mendekati ibunya, yang duduk menyandar dalam-dalam dengan mata terpejam.

“Ibu nggak apa-apa?”

Wulan tak menjawab.

“Mas, tolong, Mas. Cepat siapkan mobil!”

Andini dan Andana muncul lagi. Mereka membantu Harini mengangkat tubuh sang nenek keluar. Wulan tak sadarkan diri. Persis seperti ketika dibawa ke rumah sakit tempo hari akibat masuknya dua lelaki ke kamarnya.

Dokter Hendry yang dulu menangani Wulan di rumah sakit, dengan nada prihatin mengatakan kepada Harini dan Prasojo, “Ibu memerlukan istirahat cukup. Jangan khawatir, kami sudah membentuk tim khusus.”

Jantung Wulan memang jadi agak terganggu setiap kali mendengar nama Citra, sejak kepulangan Bagas tempo hari, sejak berita tentang Citra, Bagas, Ferdy, dan Jacky silang-menyilang di koran dan majalah. Harini dan Prasojo sudah bekerja sama dengan dua anak mereka untuk menjauhkan Wulan dari koran. Terutama yang memuat berita tentang Citra.

Tetapi, televisi sulit dibendung dan selalu tak terduga. Begitu melihat wajah Citra, ingatan Wulan langsung kembali ke pembicaraannya dengan Bagas beberapa pekan silam.

“Saya sudah memahami semua yang Ibu katakan mengenai Cici. Tapi, kalau boleh jujur, terus terang saya sulit melupakan dia.”

“Sulit bukan berarti tidak bisa, ‘kan?”

“Saya sudah mencoba, Bu. Saya minta Ibu juga memahami....”

“Kalau kamu minta Ibu untuk memahami jalan pikiran dan tindakan yang jelas-jelas keliru, melanggar hukum, mengabaikan etika, dan merendahkan martabat sendiri, pasti Ibu keberatan.”

Wulan tersadar. Dokter Hendry segera mendekat.

“Jangan katakan pada siapa pun bahwa aku sakit,” kata Wulan.

“Ibu tidak sakit. Hanya perlu istirahat.”

“Apa bedanya?”

“Maaf, Bu, Ibu memang hanya perlu istirahat. Tapi, kalau Ibu tidak keberatan, ada beberapa teman dan kerabat Ibu yang ingin menjenguk Ibu.”

Wulan mengangguk.

Kerabat dekat dan jauh, tetangga dekat dan jauh, kades, pamong desa, guru-guru SDN Gunung Madu, pensiunan guru, satu per satu menyalami Wulan. Dengan senyum penuh khawatir, Dokter Hendry dan perawat terus mengawasi.

“Keluarga Wahono boleh masuk tidak?” bisik Harini pada Dokter Hendry.

“Ibu tidak boleh terguncang sedikit pun.”

“Tapi, Ibu sudah memaafkan Pak Wahono dan keluarganya, kecuali Cici.”

“Saya tetap khawatir, mereka mengingatkan Ibu pada Cici.”

Dokter Hendry memandang sekilas ke arah Wulan, yang tersenyum menerima tamu yang masuk bergantian.

“Ada apa?” tanya Wulan.

“Maaf, Bu, ada tamu khusus yang ingin menjenguk Ibu. Mbak Har minta pertimbangan, Ibu boleh menerima Pak dan Bu Wahono apa tidak?”

Wulan segera berusaha duduk. “Suruh mereka masuk. Kalian ini bagaimana, sih? Ayo, cepat, suruh mereka masuk.”

Harini sangat terharu melihat ibunya benar-benar kuat, benar-benar telah memaafkan pasangan Wahono.

“Saya sekeluarga minta maaf yang sebesar-besarnya.”

“Pak Wahono tidak melakukan kesalahan terhadap saya.”

“Tapi, Bu Wulan sempat repot karena kami.”

“Apanya yang repot? Kalau saya sakit, ya, wajar. Wong saya memang sudah tua. Tapi, saya nggak sakit, kok.”

Lalu, mereka terdiam. Dokter Hendry pun merasa serba salah untuk ‘menengahi’. Suasana jadi kaku.

Di teras kamar Wulan, Harini dan Prasojo berbicara serius.

“Menurut saya, lebih baik dihubungi segera.”

Prasojo segera menjadi pusat perhatian. Sejak tadi tidak satu pun yang berani mengusulkan untuk menghubungi Bagas di Jakarta, setidaknya mengabari kalau ibunya sakit lagi.

“Kamu yang menghubungi Bagas, ya, Mas. Katakan saja Ibu sakit, dan perlu istirahat beberapa hari. Tidak usah meminta dia pulang.”

Suami istri Wahono keluar dari kamar perawatan Wulan. Dalam dua kali pertemuan di kamar yang sama, mereka tidak pernah sekali pun menyebut Cici. Mereka tidak pernah menyebut kawin paksa Cici dan Ferdy. Tak sekali pun terucap nama, peristiwa, keputusan mereka, dan juga akibatnya.

Semua sudah terwakili oleh saling jabat tangan, saling pandang, saling senyum, dan saling sapa yang amat hemat kata-kata. Persoalan yang begitu besar, keputusan yang berbuntut panjang dan ruwet, telah membuat mereka terlalu berat untuk mengatakannya dengan terbuka. Namun, dua kali pertemuan yang penuh persaudaraan itu menunjukkan bahwa persoalan lama telah selesai. Mereka telah saling memahami, mengerti, dan memaafkan.

Kini, muncul persoalan baru. Cici telah resmi berpisah dari Ferdy. Perpisahan yang sangat memukul batin Wahono dan keluarganya. Lalu, Cici dan Bagas menunjukkan tanda-tanda akan bersatu kembali dengan cinta mereka yang nyatanya tak pernah padam. Tak ada keberanian dari pihak Wahono untuk memulai pembicaraan tentang masalah itu. Begitu juga dengan Wulan.

Bagas mengabaikan batas kecepatan maksimum. Ia mempertahankan injakan kakinya pada pedal gas. Sedannya melaju di jalan tol Jakarta-Cikampek pada kecepatan 120 kilometer per jam. Masih cukup aman dan stabil untuk mobilnya, tetapi jelas kecepatan itu telah melampaui batas yang diperbolehkan. Matahari bersinar terang, dan arus kendaraan yang tak begitu ramai, membuat Bagas cukup leluasa melajukan kendaraannya.

“Bagas, kamu tidak harus pulang.”

Kata-kata itu malah membuat Bagas segera melarikan mobilnya ke Gunung Madu. Dia pikir, ibunya dalam keadaan gawat. Tapi, kakaknya tak mau mengejutkan. Sejak saat itu keinginannya untuk mengontak ponsel Cici makin besar. Bersamaan itu pula keraguannya menumpuk.

Apa yang harus dikatakannya pada Cici? Mengajak ke Gunung Madu menengok ibunya? Untuk berbasa-basi memang bisa. Tapi, bagaimana kalau Cici menyetujui, sedangkan ibunya begitu alergi mendengar nama Cici?

Mobil terus melaju. Pikiran Bagas melingkar-lingkar. Ia lalu mengambil ponsel dan menghubungi Cici.

“Cici?” tanya Bagas, tak sabaran, begitu mendengar suara lembut.

“Maaf, Pak, bukan. Mbak Cici sedang syuting. Ada yang bisa saya bantu? Saya sekretarisnya.”

Bagas berusaha mengubah suaranya. Ya, tiba-tiba terpikir untuk menggoda Cici dengan menggunakan suara Ferdy. Mungkin, di sana akan timbul kekacauan. Mungkin, Cici akan merebut telepon genggamnya dan menembakkan kata-kata tak beraturan karena merasa terganggu oleh telepon mantan suaminya. Mungkin. Bisa jadi Cici segera memutus hubungan karena tak mau lagi berhubungan dengan Ferdy.

Ia pun segera mengubah suaranya. Entah mirip dengan suara Ferdy atau tidak. Lagi pula, ia tidak hafal karakter suara Ferdy.

“Tolong, sampaikan, Ferdy ingin bicara sebentar.”

“Oh, Bapak. Nanti saya sampaikan agar Mbak Cici menghubungi Bapak.”

Semakin keras degup jantung Bagas. Jadi, perceraian itu cuma di pengadilan? Di atas kertas? Selanjutnya mereka tetap leluasa berhubungan?

“Biar saya saja yang menghubunginya.”

“Sebentar, Pak. Sepertinya, Mbak Cici sudah selesai.”

Bagas ingin memutus hubungan. Ia nyaris tak tahan menghadapi situasi yang sama sekali bertentangan dengan yang dia perkirakan. Tapi, di pihak lain, ucapan ibunya yang telah berkali-kali ia renungkan membuat ia berpikiran lebih jernih. Jika hubungan telepon diputus, berarti informasi yang sangat penting ini akan hilang begitu saja. Padahal, kalau ia lebih tenang sedikit saja dan lebih bijaksana, bukan tidak mungkin informasi lain yang lebih besar akan diperoleh. Hatinya memang panas.
Dia harus bertahan. Dengan begitu ia akan tahu lebih banyak tentang hubungan Cici dan Ferdy.

“Ngomong-ngomong, bagaimana suasana di sana?” Bagas mencoba bicara dengan tenang, mempertahankan suara pertama tadi, dengan sedikit menutupi ponsel menggunakan ujung jari agar kejelasan suara aslinya berubah.

“Masih seperti waktu tadi. Ini Mbak Cici, Pak.”

“Ada apa lagi, Mas?” tanya Cici di seberang sana. Kali ini Bagas berpikir cukup lama untuk mencari kata yang tepat.

Di depan hanggar pesawat terbang kawasan Adisucipto, Yogya, Cici menjepit telepon genggamnya dengan pipi dan pundak. Kedua tangannya sibuk membolak-balik majalah Cineast terbaru. Santai sekali. Wajah dan sikapnya tidak menunjukkan kelelahan, padahal sejak dini hari tadi dia sudah berada di lokasi. Sudah berulang kali beraksi di depan kamera, sudah berlembar-lembar kuitansi pengeluaran dan cek dia periksa dan paraf secara sembunyi-sembunyi.

Di lapangan, Cici hanya dikenal sebagai pemain. Hampir seluruh kru dan pemain menganggap kehadirannya di sini cuma sebagai pemain. Hanya sedikit yang tahu bahwa lebih dari separuh biaya produksi berasal dari sakunya dan membiarkan Gunawan bertindak sebagai produser. Segala pengeluaran harus dia ketahui.

“Ada apa, sih, Mas? Masih kangen?” tanyanya, sambil lalu.

“Hmm,” sahut Bagas. 

“Sudah sampai di mana, Mas?”

“Jalan.”

Bagas menjawab pertanyaan Cici seadanya. Dahi Cici sampai berkerut karena heran. Lawan bicaranya menjawab tak jelas. Ini pasti bukan Ferdy!

“Tanti, benar yang menelepon ini Mas Ferdy?”

“Benar, Mbak. Ada apa?” Tanti, orang yang tiga bulan terakhir ini cukup dekat dengan Cici, sudah mengenal Cici luar dalam. Hanya dengan melihat tatapan mata Cici yang sedikit menyala atau kerutan tipis di dahi, dia bisa menduga apa yang dipikirkan oleh Cici. Dia telah menjalankan tugas dari Cici dengan baik ketika menyamar sebagai peneliti di Gunung Madu.
“Coba sekarang kamu telepon Ferdy,” kata Cici. “Lain kali, lebih teliti kalau menerima telepon. Jangan ceroboh. Aku curiga bukan Ferdy yang menelepon. Mungkin, jurnalis yang mau mencari keterangan.”

Sementara itu mobil Bagas telah keluar dari gerbang tol Cikampek. Ia berhenti di tepi jalan, di keteduhan pohon. Ia sandarkan tubuhnya dalam-dalam pada sandaran kursi yang dia dorong jauh ke belakang.

“Benar kata Ibu, Cici tidak bisa dipercaya. Ternyata, dia masih berhubungan dengan mantan suaminya,” katanya, pada diri sendiri. Ia terpukul sekali. Justru pada saat dia memutuskan untuk menghubungi Cici, memutuskan untuk mengabaikan nasihat dan larangan ibunya, yang dia hadapi benar-benar di luar dugaan. Ia kecewa dan marah sekali. Ia teringat bagian nasihat ibunya yang panjang lebar sebelum ia kembali ke Jakarta.

“Baik, Bagas. Kalau kamu tetap mencitai dia dan dia pun begitu, apakah yang jadi persyaratan hanyalah kesuciannya? Kesucian yang dia simbolkan tidak pernah berhubungan intim dengan laki-laki?”

“Saya tidak pernah membayangkan sampai sejauh itu.”

“Lalu, sejauh mana yang kamu bayangkan?”

Bagas pura-pura sibuk mengemasi bajunya.

“Bagas, Ibu bilang, Ibu tidak pernah memaksa anaknya kawin dengan siapa.”

“Tapi, Ibu melarang saya menikah dengan Cici.”

“Ibu tidak akan melarangmu. Ibu sudah putuskan. Tak akan melarang. Karena, kekuatanku melarang rencana dan tindakanmu sudah tak ada lagi. Kamu sudah dewasa. Artinya, kamu sudah bisa berkaca, sekaligus mengukur dan menimbang dengan baik. Kamu sudah cukup punya bekal pengetahuan dan pengalaman untuk menimbang mana yang baik dan yang buruk. Lagi pula, Ibu sudah tua. Kekuatan fisik Ibu sudah tidak seperti dulu lagi.”

“Saya tidak mengerti maksud Ibu.”

“Kamu tahu dan mengerti. Cuma, kamu menutup pengetahuanmu dengan pikiran yang tidak keruan. Kamu tahu orang setua dan serapuh Ibu tidak lagi memiliki kekuatan menghadapi persoalan-persoalan berat.”

“Ibu jangan berkata begitu.”

“Kamu bisa melarang Ibu. Tetapi, keadaan tidak bisa kita kendalikan sepenuhnya. Ketuaan dan kerapuhan tidak bisa dikekang sepenuhnya. Ibu bicara apa adanya. Kamu harus menerima kenyataan alam ini. Ibu sudah tua.”

“Ibu menakut-nakuti saya.”

“Ketakutan milik semua orang. Ibu juga punya rasa takut. Tapi, masalahnya, takut apa, takut kepada siapa, takut dalam bentuk yang bagaimana. Kamu takut Ibu mati mendadak mendengar kamu nekat kawin dengan Cici?”

                                                                  cerita selanjutnya >>

Penulis: Rangabehi Widisantosa


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?