Fiction
Prahara [1]

13 May 2012

Wulan pernah membayangkan punya menantu perempuan asing. Bayangan itu muncul karena anaknya, Bagas, menyukai lagu-lagu The Beatles sejak kecil dan tertarik pada hal-hal yang berbau Barat. Bayangan itu belum juga terwujud karena sampai sekarang Bagas belum menikah. 

Yang mengganggu pikiran Wulan, kini Bagas sudah menjadi kolumnis gosip terkenal di majalan Cineast. Anaknya itu dekat dengan para selebriti hebat. Ia jadi khawatir jika Bagas menjalin hubungan cinta dengan salah satu artis itu. Terutama jika artis itu yang bernama Citra. 

Di satu sisi ia selalu berharap Bagas segera menikah. Di sisi lain kekhawatiran itu diam-diam menggerogoti kesehatan jantungnya.

Citra dan Jacky merupakan dua bintang film yang sedang populer. Di dalam limosin mewah itu keduanya sempat berbeda pendapat tentang perjalanan yang mereka tempuh ini. 

“Karena aku bisa mendesak penulis itu,” kata Citra. Ia sudah terbiasa mendapatkan apa saja yang dia inginkan, termasuk sesuatu yang tidak masuk akal. Herannya, keinginannya selalu terkabul, karena orang mau saja mewujudkannya, meski harus jungkir-balik sekalipun. 

“Bagas pasti mau membuat tulisan tentang aku dari sisi berbeda. Pasti dia tidak mau menulis hal yang sama dengan wartawan lain.”

Bagas sama terkenalnya dengan Citra. Ia memulai kariernya sebagai reporter. Namun, berkat kepiawaiannya menulis dan mencari informasi akurat, banyak orang yang menyukai tulisannya, hingga kariernya terus menanjak.

Jacky beranggapan permintaan Citra itu tak mungkin dipenuhi. “Lagi pula, Bagas akan menyebarluaskan permintaan kita itu ke teman-temannya. Lalu, hubungan kita berdua malah akan semakin terbuka.”

Tapi, Jacky tak kuasa menghalangi Citra. Ia tetap kalah pamor, kalah wibawa, dan ia juga takut kehilangan Citra.

Rumah Bagas berada di bagian yang lebih tinggi daripada rumah penduduk sekitarnya di kawasan Ciganjur. Seluruh bangunannya terbuat dari kayu. Modelnya setengah panggung, agak terpencil dari rumah lain, dikelilingi kebun bunga dan buah-buahan. 

Mobil mewah warna hitam milik Citra menyusuri jalan masuk pekarangan luas di bukit kecil itu. Beberapa bintang film dan penyanyi, dan banyak orang kaya, memilih tinggal di sini. Alasannya karena dekat dengan pusat kota, tetapi cukup tenang dan hijau. Alasan lain, tak mudah dijangkau para wartawan, yang tulen maupun yang gadungan.

“Kupikir, rumah seorang penulis terletak di pinggir kali, terbuat dari bambu,” komentar Jacky, sambil memperlambat mobil. Ucapannya sama sekali tidak kedengaran sinis. Ia tampak berdecak kagum.

Citra bercerita sekilas tentang Bagas. “Perjuangannya sudah berlangsung sepuluh tahun lebih.”

Citra memang tahu banyak tentang Bagas. Diam-diam wanita cantik, kaya, dan terkenal itu bersyukur karena hanya sedikit orang yang tahu bagaimana dia bisa tahu banyak tentang penulis itu. Sudah setengah bulan dia meminta waktu Bagas, tapi tak pernah berhasil. Bagas selalu beralasan terlalu sibuk.

Dunia memang sedang terbalik. Biasanya, wartawan atau penulis yang merengek-rengek minta waktu selebriti. Kini, sebaliknya. 

Sekali lagi Citra menyimak dandanannya melalui cermin. Dia kerjap-kerjapkan matanya. Dia mainkan bibirnya yang merah menyala. 

“Lihat, penampilannya cuma begitu!” serunya, ketika melihat Bagas di depan. Pria itu duduk menyandar pada bangku kayu bulat, mengenakan sarung dan kaus oblong. Sejumlah buku, koran, dan majalah bertebaran di meja pendek di dekatnya. Dengan notebook Bagas menggarap naskahnya.

“Wah, benar-benar suatu kehormatan!” kata Bagas, setelah menyilakan kedua tamunya duduk di balok-balok kayu besar yang mengelilingi meja rendah. Dengan susah-payah ia menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. “Apa yang bisa aku bantu untuk para selebriti yang tak perlu KTP untuk memasuki seluruh gedung di Jakarta ini?”

Citra dan Jacky tertawa ringan. Sambutan Bagas langsung meredakan keraguan dan ketegangan Jacky. 

“Oke, jadi, apa yang bisa aku bantu?” 

Bagas menyingkirkan majalah, buku, koran, dan notebook-nya dari meja untuk menaruh minuman dan makanan kecil kiriman ibunya. Dua hari lalu kiriman itu datang, disertai sepucuk surat. Ibunya secara terselubung meminta Bagas segera pulang ke Gunung Madu. Bagas tahu, ibunya akan kembali memintanya untuk segera menikah.

Citra mengerling pada Jacky, memintanya agar bicara.

“Kami ingin Mas Bagas menulis artikel tentang Citra.”

“Wah... wah... ini jelas salah alamat!”

“Enggak, Mas,” kata Citra, setelah mengembuskan asap rokok impor dari sela bibirnya. Ia merasa kata pembuka Jacky barusan terlalu gamblang, tapi kurang mengena.

Citra mengamati wajah Bagas. Jantungnya berdetak lebih cepat. Kamu masih seperti dulu juga, pikirnya. Ia cepat-cepat berbicara sebelum pikirannya berlarut-larut. “Saya mungkin memang populer. Tapi, sebagai manusia, kami juga menghadapi masalah. Sama seperti orang lain.”

Bagas mendengar. Perhatiannya diarahkan pada setiap kata yang diucapkan Citra. Terkadang, ia sadar sedang berhadapan dengan Citra. Pada detik-detik tertentu ia melihat Citra sebagai sosok wanita yang dulu sangat dikenalnya, yang sangat dipujanya, dan kemudian sangat dibencinya. Tapi, pada saat-saat lain dia merasa seperti sedang menonton film yang dibintangi Citra. 

Citra melanjutkan, “Tidak perlu aku tutupi, Mas. Di balik kegemerlapan ini, perkawinanku tidak berhasil. Aku katakan tidak berhasil karena belum gagal sepenuhnya.” 

“Eits, maaf, Citra, aku bukan penasihat perkawinan!” kata Bagas, berusaha mengundang tawa. 

“Aku tidak pernah mencintai suamiku.” 

Bagaikan sebuah palu yang dihantamkan ke meja, ucapan Citra seakan mengunci pikiran dan mulut mereka. Untuk beberapa detik gemerisik daun terdengar begitu jelas. Dan, embusan angin yang begitu perlahan terasa merayapi tubuh. 

“Aku sudah banyak membacanya di koran dan majalah hiburan soal kamu dan suami. Tapi, kenapa kalian ke sini?” 

“Ayolah, Dad,” kata Citra pada Jacky. 

Dad! Sebuah tusukan tajam mengenai ulu hati Bagas. Cara dan nada panggilan itu membuktikan kebenaran gosip tabloid bahwa Citra berselingkuh dengan Jacky. Di sisi lain, Bagas juga mendengar gosip tentang Ferdy, suami Citra yang seorang pengusaha besar, berhubungan dekat dengan aktris film lain. 

Jacky berdiri. “Kalian bicara berdua sajalah. Mas Bagas, aku sangat mengharapkan pandangan-pandangan yang berguna untuk kami berdua. Nanti aku dengarkan dari Cici saja. Atau, aku baca di majalah Cineast. Satu jam lagi aku akan kembali.”
Cici! Jacky pun menggunakan panggilan sayang Cici untuk Citra. Nama itu segera mengingatkan Bagas pada peristiwa 10 tahun lalu ketika mendengar kabar Cici, kekasihnya, penari paling cantik dan kondang di Gunung Madu, akan menikah dengan Ferdy, pemuda yang lebih kaya dan hebat, putra mantan bupati. 

“Mas Bagas,” panggil Citra, menggeser duduknya lebih dekat dengan Bagas, setelah Jacky pergi. Bagas tak sempat lagi meneruskan kenangan pahitnya. Waktu 10 tahun rasanya terlalu lama untuk mempertemukan mereka kembali. 

“Citra....”

“Cici, Mas. Panggil aku Cici. Citra itu cuma bayangan. Persis sebagaimana artinya citra. Bayangan.”

“Apa pun, Ci, kamu sudah jadi milik orang lain.”

“Aku minta maaf, Mas.” 

“Aku sudah lama melupakan sesuatu yang terjadi di antara kita, Citra. Jadi, jangan diungkit-ungkit lagi.” 

“Aku nggak pernah bahagia, Mas. Baik dengan suami yang tidak pernah aku cintai, maupun dengan popularitas yang dilebih-lebihkan ini. Semuanya semu.”

Bagas menatap tajam sepasang mata jernih di depannya. Mata yang dulu selalu mengerlingnya dari lantai latihan tari maupun panggung pertunjukan.

“Jacky tahu kita pernah berteman?” tanya Bagas. 

Citra menggeleng.

“Mas boleh percaya, boleh tidak. Aku cuma berteman dengan Jacky. Tidak lebih dari itu. Aku berniat memanasi hati Mas Ferdy, lelaki yang tak pernah aku cintai. Tidak pernah.”

Bagas diam. 

“Kamu tahu, kenapa aku dulu memaksa pindah ke Jakarta dan menjadi artis?”

Bagas menggeleng.

“Aku ingin mencari kamu, Mas. Supaya terus berdekatan dengan kamu. Tapi, aku tahu, kamu tak mau aku dekati lagi. Bahkan, ketika kamu jadi jurnalis, tak pernah sekali pun menulis tentang aku. Jangankan menulis, menemui pun tidak mau. Aku paham, kamu marah.”

Bagas berusaha memotong, tetapi Citra tak bisa dihentikan.

“Biarkan aku melepas unek-unek supaya lega, supaya kamu juga tahu, cintaku padamu tetap seperti dulu. Bahkan bertambah tebal.”

Jelas tidak masuk akal. Mereka telah 10 tahun berpisah, sejak Cici menikah. Mereka telah menempuh jalan hidup masing-masing. Meski hidup satu kota, mereka tak pernah berhubungan melalui apa pun.

Cici meneruskan, “Dan, aku telah membuktikan sampai hari ini, setidaknya sampai saat ini, aku tetap Cici yang dulu. Hanya sayang, aku sudah berstatus istri orang. Tapi, suami itu tidak pernah aku cintai dan tak akan pernah memiliki aku seutuhnya.”

Semua itu cuma rangkaian kata-kata. Kalaupun mengandung kebenaran, faktanya Cici adalah istri Ferdy. Itu sudah cukup untuk menghalangi segala jenis usaha perwujudan cinta dan keinginan Bagas. Kekasih yang telah pergi dengan orang lain bisa saja terus menjadi kenanganmu. Tetapi, keinginan untuk mencumbu, apalagi memiliki, harus segera kaubunuh bahkan sebelum bertumbuh dan meliar.

“Percayalah, Mas, aku tidak pernah mencintai Ferdy.”

Pengakuan Citra itu membuat Bagas linglung. Lalu, harus bagaimana?

Gunung Madu, sebuah desa yang tenang di tepi kota kabupaten di Jawa Tengah. Tak banyak kejadian luar biasa. Karena itu, sejak Tanti sering mengunjungi Wulan untuk mengobrol di serambi depan, orang Gunung Madu membicarakan keakraban mereka.

Wulan pensiunan guru. Dulu suaminya kepala desa. Tanti seorang mahasiswi cantik yang sedang mengadakan penelitian. Belakangan ini keduanya boleh dibilang tokoh yang menarik untuk dibicarakan. Tentu saja orang-orang langsung menghubungkan Tanti dengan Bagas. Mereka berharap Bagas memperistri Tanti. Dan, itu membuat kesal beberapa orang.

Yang paling kesal adalah Uren Brewok. Duda cerai tiga kali yang sangat terkenal sebagai jawara itu sampai gembar-gembor kepada setiap orang yang dijumpai. Dia bilang, tidak mungkin Bagas memperistri Tanti. Sebab, dia akan bertindak lebih dulu. 

Tak lupa juga ia sebarkan lagi kisah yang terjadi 10 tahun lalu, ketika Bagas minggat setelah menyewakan sawah orang tuanya. Bagas minggat karena patah hati dan tak sanggup melihat pernikahan Cici dan Ferdy. Tujuan Uren Brewok jelas: ingin menjatuhkan nama baik Bagas agar Tanti menjauhi Bagas.

Bagi Wulan, tersiarnya berita yang menghubung-hubungkan Bagas dengan Tanti itu memang mengganggu pikiran. Terutama karena belum ada kepastian, baik dari Bagas maupun Tanti. Ia jadi khawatir kejadian 10 tahun lalu akan terulang kembali. Ketika itu, kebanggaan dan harapannya berkembang karena akan bermenantukan Cici. Itu berarti ia akan besanan dengan Wahono, pegawai kabupaten yang dihormati. Namun, semua itu berbalik menjadi kekecewaan.

Sekarang Wulan berharap Tanti menjadi istri Bagas. Tapi, ia khawatir, harapan yang sudah menjadi pembicaraan orang ini buyar lagi. Ia tahu Uren Brewok jatuh hati pada Tanti. Dan, duda tua itu terkenal nekat. 

Menjelang tengah malam, naskah serial Bagasantara karya Bagas muncul di layar komputer redaksi majalah Cineast. Anggota redaksi segera membaca, tak sabar untuk mendiskusikannya. Tentu saja, mereka juga tak sabar menunggu reaksi pertama pembaca.

Dalam serial itu diceritakan Bagasantara yang terkejut mendapati seonggok benda dalam karung beras di halaman rumahnya. Kiriman paling spektakuler pernah diterima tokoh Bagasantara itu. Bukan hanya mayat dalam karung yang membuat Bagasantara tercekat, melainkan wajah mayat itu yang ia kenal betul, yaitu Nila, penyanyi muda yang populer.

“Naskah ini kita tunda! Bagas telah keluar jalur. Ini melenceng dari kesepakatan kita! Penggemar Bagasantara bisa marah karena tokohnya berubah karakter.”

                                                                                       cerita selanjutnya >>

Penulis: Rangabehi Widisantosa



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?