Fiction
Post Mortem Stories [4]

25 Aug 2015


Bagian 4 (Tamat)
Kisah sebelumnya:

Ditemukannya sosok mayat seorang gadis remaja korban pembunuhan sadis menyangkut hidup banyak orang. Orang tua yang harus kehilangan anak bungsunya, seorang calon dokter forensik, seorang selebtwit, Medusa Woman. Apalagi setelah pelaku pembunuhan ditangkap, yang ternyata teman-teman sekolah korban. Pembunuhan ini satu per satu juga menyibak rahasia terdalam hidup banyak orang.

Kata-kata itu terus terngiang di telinga saya. Saya meraih botol bir hitam yang isinya masih separuh. Entah mendapat inspirasi dari mana, saya merasa bir hitam bisa sedikit menolong saya. Tadi di swalayan mini apartemen saya sengaja memilih merek yang kelihatan paling menjanjikan rasa pahit. Saat saya meminumnya pun saya membiarkan cairan hitam itu berdiam sejenak di mulut saya. Saya butuh merasakan pahitnya, agar rasa pahit dalam jiwa saya sedikit tersedot ke sana.

Kalau saja dulu saya meminta maaf pada Ibu, lalu berkata pada Caca saya terpaksa menyimpan semua pakaian itu hingga dia cukup dewasa… mungkin semua ini tidak akan terjadi. Caca mungkin akan merajuk, menolak berbicara dengan saya selama beberapa saat, tapi setidaknya Caca masih tetap hidup. Saya menenggak lagi bir hitam, berusaha mencegah tangis yang hendak muncul ke permukaan.

Namun, apakah malapetaka yang menimpa adik saya semata-mata disebabkan oleh potongan baju yang minim? Karena itukah perempuan-perempuan biadab itu menganggap Caca penggoda dan merasa pantas memperlakukan adik saya dengan begitu kejamnya? Tidak cukup itu, mereka bahkan membuang begitu saja jasad Caca di selokan. Mengingatnya, saya rasa satu-satunya hal yang mencegah saya menjadi gila adalah keinginan untuk membalaskan rasa sakit adik saya.

Caca anak baik! Ia tidak pantas diperlakukan seperti itu! Kemarin hanya itu yang bisa saya pikirkan dan saya teriakkan ketika jasad Caca perlahan-lahan diturunkan ke liang lahat diiringi doa. Ibu sudah jatuh pingsan dan dibawa pulang, sementara Bapak hanya diam termangu di samping pusara Caca dengan mata nanar. Saya tahu yang tersisa di sana hanyalah raga Bapak dan Ibu saja. Jiwa mereka sudah pergi bersama Caca.

Belum kering tanah yang menutupi pusara Caca, saya sudah harus mendapati kenyataan bahwa adik saya menjadi bulan-bulanan di dunia maya. Saya hampir saja membanting telepon seluler pintar milik salah seorang tetangga ketika ia menunjukkan akun Twitter seorang anonim bernama ‘Medusa Woman’. Saya berusaha mengendalikan diri, meminta Medusa Woman tidak berbicara sembarangan dan mengingatkannya untuk berempati pada keluarga yang ditinggalkan.

Saya berani pasang badan, bicara padanya menggunakan akun asli saya di Twitter dengan harapan ia tahu saya datang dengan damai. Tapi, apa yang dia lakukan? Ia malah melemparkan saya ke para pengikutnya yang langsung mengeroyok saya. Saya pun menjadi bulan-bulanan di linimasa. Seperti ditelanjangi dan dicemooh di depan banyak orang. Jahanam!

Medusa Woman tidak tahu dengan siapa dia berhadapan. Saya lulusan teknik informatika dan saya memiliki kemampuan merentas di atas rata-rata. Bapak dan Ibu selalu mengingatkan saya untuk selalu rendah hati dan tidak pernah menyalahgunakan keilmuan yang saya miliki dan selama ini saya berusaha untuk terus memegang teguh pesan dari Bapak dan Ibu. Hingga pagi tadi, ketika pertama kalinya saya membungkam hati nurani saya. Saya merentas akun Twitter Medusa Woman. Awalnya saya ingin mengirimkan kicauan-kicauan kotor melalui akun Twitter-nya, tapi saya mendapat ide lain.

Saya mengambil informasi-informasi yang mengarah ke sosok asli Medusa Woman, lalu mengabadikan semuanya melalui screen capture. Setelah itu, saya mengirimkan kicauan yang mengumumkan akun ini sudah berhasil direntas, agar semua orang tahu. Saya sebarkan sosok asli Medusa Woman di dunia maya. Hasilnya sungguh mengagumkan.
Dalam hitungan jam sudah ada sekitar tiga ratus kicauan masuk ke akun Medusa Woman serta akun asli sosok di baliknya. Semuanya bernada penuh kebencian. Rasa puas mengaliri pembuluh darah saya, menyebar ke sekujur tubuh saya dan sejenak membuat saya lupa akan Caca. 

Saya tertawa pahit. Kalau saja Caca ada di sini, mungkin Caca akan bilang, “Kak… jangan begitu.” Caca selalu percaya adanya jalan damai bagi  tiap permasalahan. Mungkin itu juga yang membuatnya terjerumus ke perangkap licik para perempuan biadab berwujud anak-anak remaja itu.

Awalnya Ibu menyadari adanya perubahan pada diri Caca. Caca yang biasanya ceria dan cerewet, kelihatan murung seolah tidak punya semangat. Beberapa kali saat pulang sekolah, Ibu mendapati mata Caca sembap seperti habis menangis. Ibu mencoba bertanya ada apa, tapi Caca tidak pernah mau menjelaskan. Ibu menduga, Caca mungkin sedang patah hati dan malu membicarakannya. Ibu meminta saya datang untuk berbicara dengan Caca.

Kepada sayalah Caca akhirnya mengaku. Ia dituduh merebut pacar salah seorang teman satu kelompoknya di sekolah. Padahal, Caca berani bersumpah ia tidak pernah mendekati anak laki-laki itu, karena mereka juga berbeda sekolah. Anak laki-laki itu memang beberapa kali menelepon dan mengirim pesan melalui telepon seluler, tapi Caca hanya menanggapi seadanya karena ia tahu anak laki-laki itu adalah pacar teman satu kelompoknya.

Entah mendengar kabar dari mana, tiba-tiba saja teman satu kelompok Caca mendengar Caca dan cowok itu sering bertemu diam-diam. Ia marah besar dan melabrak Caca tanpa memberi kesempatan bagi Caca untuk membela diri. Anggapan bahwa pada  tiap perselingkuhan yang salah selalu pihak perempuan, telah tertanam begitu dalam dari generasi ke generasi. Pihak laki-laki tidak pernah salah karena laki-laki dipandang sebagai korban, sebagai yang tergoda.

Singkat cerita, Caca seolah dipaksa mengenakan scarlet letter. Huruf ‘P’ dari ‘Penggoda’. Dengan mudah Caca dibuang dari kelompok yang pernah mendeklarasikan diri mereka sebagai ‘sahabat selamanya’.
“Ya sudah, kamu jangan berteman dengan mereka lagi,” kata saya. “Bapak dan Ibu juga tidak suka kamu berteman dengan anak-anak perempuan itu, bukan? Cari teman yang lain saja.”
“Tidak ada yang mau berteman lagi dengan Caca, Kak,” ujar Caca. “Sekarang semua orang menjauhi Caca. Mereka menganggap Caca perebut pacar orang. Anak perempuan seolah takut Caca merebut pacar mereka, sedangkan anak laki-laki sering kali melontarkan komentar yang melecehkan Caca.” 

Kemarahan saya terpancing membayangkan adik saya direndahkan begitu rupa karena kesalahan yang masih belum terbukti. Apakah orang-orang di sekolah Caca tahu kejadian sebenarnya? Kenapa mereka begitu mudah menyimpulkan dan main menghukum tanpa mau melakukan klarifikasi lebih dulu? Di luar sana sudah tidak terhitung berapa nyawa dan harga diri yang musnah karena fitnah. Apakah tiap generasi tidak mau belajar dari pengalaman?
Lagi pula, masalah ini hanya sebatas Caca dan teman-teman satu kelompoknya. Kenapa yang lain merasa berhak ikut menghakimi? Mungkin, pikir saya, lingkungan mereka sudah hampir sama membuat tertekannya dengan jalanan sehingga hampir seluruh masyarakatnya sangat memerlukan pelampiasan. Seperti orang di jalanan yang ikut menghajar orang yang diteriaki ‘pencopet’ atau ‘maling’, tanpa mau tahu apakah orang itu benar-benar bersalah. Mereka hanya memerlukan pelampiasan. Tindakan mereka itu akhirnya menghasilkan dendam baru. Entah kapan lingkaran setan ini akan berakhir.

Saya berusaha memberi semangat pada Caca, mengajaknya belajar dari tokoh-tokoh dunia. Oprah Winfrey yang pernah mengalami pelecehan seksual, Hans Christian Andersen yang dulu dicemooh karena dianggap aneh, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lain yang saya ceritakan pada Caca untuk membuat adik saya itu semangat lagi. Saya bahagia sekali ketika Ibu mengabari saya bahwa Caca sudah mulai ceria lagi. Adik saya masih belum kembali seperti dulu, tapi sekarang Caca kembali berceloteh riang saat ada di rumah. Saya menyangka masalahnya sudah selesai.

Ternyata saya salah. Iblis-iblis betina itu tidak akan membiarkan Caca lolos begitu saja. Saya kira anak-anak remaja dengan tingkat kebiadaban yang begitu tinggi hanya ada di film-film kacangan, namun rupanya apa yang ditanamkan oleh film-film itu sudah merasuk ke dalam jiwa para penggemarnya. Pada saat orang dewasa bisa tertawa mencemooh melihat gadis-gadis di film saling menerkam dan mencabik, anak-anak yang menonton di samping mereka mulai belajar bahwa hal itu wajar untuk dilakukan.

Teman-teman satu kelompok Caca marah melihat Caca tidak juga hengkang dari sekolah setelah mereka menindasnya begitu rupa. Mereka menyusun sebuah rencana licik. Salah satu dari mereka berpura-pura mengajak Caca berunding untuk menyelesaikan masalah secara musyawarah. Di hari Sabtu itu, mereka berjanji bertemu di swalayan dua puluh empat jam di dekat rumah. Caca menyetujui ajakan mereka tanpa ragu karena ia terlalu senang menyangka masalah itu akan segera selesai. Ia tidak sadar, ia sedang masuk ke dalam perangkap iblis.

Saat akhirnya bertemu dengan Caca, mereka mengajak Caca bepergian naik motor dengan alasan mencari tempat yang lebih sepi dan enak untuk berunding. Mereka membawa Caca ke sebuah proyek perumahan yang masih sepi, lalu di sana Caca dipaksa turun dari motor dan dipukuli beramai-ramai. Saya langsung gelap mata ketika polisi menceritakan kronologisnya. Benar-benar biadab! Menggunakan cara licik seperti penjajah ketika memancing para pemimpin perjuangan negeri ini dulu untuk masuk ke perangkap mereka.
Bapak dan Ibu tidak ada yang sanggup bertemu dengan para perempuan biadab itu. Sayalah yang maju ke kantor polisi untuk dimintai keterangan apakah saya mengenali mereka. Saya hanya perlu melihat sorot mata mereka untuk tahu pasti di tangan mereka sudah berlumur darah Caca.

Saya menjerit keras, meraih botol bir hitam dan melemparkannya ke dinding. Seharusnya ketika itu saya gunakan kesempatan, sekecil apa pun itu, untuk membuat mereka merasakan rasa sakit. Saya selalu terbayang-bayang saat menatap wajah-wajah yang tertunduk di kantor polisi itu. Dalam imajinasi, saya mengambil kursi lalu menghantamkannya ke kepala salah seorang dari mereka hingga darah berceceran di lantai, atau merebut senjata api milik salah satu anggota polisi lalu mengeksekusi mereka di tempat.

Saya tidak tahu bagaimana caranya saya masih bisa diam dan dengan tenang berkata saya pernah melihat mereka di foto-foto yang ditunjukkan Caca kepada saya. Mereka adalah teman-teman satu kelompok Caca. Saya jelaskan ulang semua yang pernah diceritakan Caca kepada saya. Setelah itu, saya pulang diantar seorang polisi wanita. Polisi wanita yang mengantar saya menyatakan kekagumannya pada sikap tenang saya. Ia tidak tahu, ia hampir saja harus menyiapkan satu lagi kaus tahanan untuk saya.

Setelah lelah berteriak-teriak, saya pun mengempaskan tubuh di atas tempat tidur. Saya tertidur tanpa mimpi. Saya terbangun ketika suara dering telepon seluler menusuk-nusuk telinga saya. Kepala saya pusing luar biasa seperti dipukul-pukul martil. Saya menjawab telepon sambil berusaha mengembalikan kesadaran saya.

“Halo, Anggi? Ini Bu Rina… kenapa lama sekali baru diangkat?” terdengar suara melengking tetangga saya.
“Maaf saya sedang tidur, Bu. Kepala saya sakit. Ada apa, Bu?” tanya saya.
“Ibumu masuk rumah sakit, Gi!”
“Hah?!” saya menjerit tertahan.
“Ibumu tiba-tiba saja jatuh pingsan di tengah pasar. Untunglah tadi banyak orang dan ibumu segera dilarikan ke puskesmas terdekat. Dari puskesmas, setelah memberikan pertolongan pertama dokter kemudian merujuk ke rumah sakit. Katanya kemungkinan ibumu stroke, ada pembuluh darah di otaknya yang pecah .…”
Telepon seluler saya jatuh ke  lantai. Pusing di kepala saya  makin hebat sampai saya menyangka sebentar lagi pembuluh darah di otak sayalah yang pecah. Dengan keadaan separuh sadar saya berganti baju, mengambil tas dan kunci mobil lalu turun ke parkiran apartemen. Saya menyetir dengan kepala kosong seperti gua, di mana  tiap pikiran berbenturan, bergaung dan membuat saya tidak bisa mencernanya
Setelah mengemudi selama hampir setengah jam,   sebuah gagasan melintas di benak saya.

Iblis-iblis betina itu sudah menghancurkan keluargamu, apa kamu akan memberikan kematian sebagai pengampunan untuk mereka? Saat itu saya bersumpah saya bisa mendengar setan-setan bertepuk tangan pada saya. Mafia tidak akan mengincar musuh mereka secara langsung. Mereka tahu cara lain yang jauh lebih menyakitkan. Mereka akan menyiksa keluarga atau orang-orang terdekat musuh mereka.

Saya tiba di jalan raya yang mengarah ke kepolisian. Saya sengaja memarkir mobil   agak jauh dan mematikan mesin. Jalanan lengang seolah memberi saya kesempatan. Jantung saya berdegup  makin cepat ketika sosok seorang perempuan berjalan tergesa keluar dari kantor polisi dan berdiri di pinggir jalan menunggu kendaraan umum. Saya mengenalinya. Ia adalah salah seorang ibu dari iblis-iblis betina yang menyiksa adik saya. Kalau tidak salah, ia ibunya Neta. Tangan saya menyalakan mesin mobil, lalu mengarahkan moncong mobil tegak lurus ke sosok yang kini masih berdiri dengan kepala menunduk di pinggir jalan. Kaki saya bersiap-siap menginjak pedal gas.

Saya memejamkan mata sejenak. Saya tahu keputusan saya ini akan membuat saya tidak hanya kehilangan semuanya. Keluarga saya, karier saya, semua yang sudah saya pertahankan mati-matian selama ini… apa semuanya sepadan dengan sakit hati yang dirasakan keluarga saya? Saya sudah pernah gagal melindungi Caca dan mengecewakan Ibu, inikah kesempatan untuk menebusnya dengan hidup saya?

Saya menginjak pedal gas kuat-kuat, decit ban terdengar menusuk telinga. Setir saya banting secara membabi buta. Terdengar jeritan-jeritan terkejut orang di sekitar saya. Suaranya bersaing dengan jeritan saya sendiri di dalam mobil. Saya tidak tahu berapa lama tornado di sekeliling saya berjalan.

Akhirnya mobil saya berhenti saat membentur sesuatu. Saya merasakan sabuk pengaman terbenam ke dalam kulit saya saat menahan tubuh saya agar tidak membentur setir, disusul hantaman kantong udara pengaman tepat di wajah saya. Kepala saya berkunang-kunang dan tidak lama kegelapan menyelimuti saya. Sebelum kesadaran saya hilang sepenuhnya, saya sempat melihat wajah Caca tersenyum pada saya. Manis sekali.

Ketika kesadaran saya mulai terkumpul lagi, saya mendengar kaca jendela mobil saya digedor-gedor dari luar. Perlahan-lahan saya mengangkat kepala saya yang tadinya terkulai lemas saat kantong udara pengaman mulai melepaskan topangannya. Suara orang yang menggedor-gedor kaca jendela saya  makin keras.

“Anggi! Buka pintunya! Masya Allah ….”
Masih berusaha mengembalikan orientasi tempat dan waktu, tanpa menoleh saya membuka kunci pintu mobil. Pintu mobil terbuka dengan segera. Seseorang memeluk tubuh saya erat-erat. Seseorang dengan tubuh gemuk dan mengenakan daster batik. Bu Rina.
“Masya Allah, Anggi… kenapa kamu menyetir dalam keadaan kalap seperti ini? Ibu nyaris gila saat telepon kamu tiba-tiba saja mati. Kenapa tidak minta Ibu menjemputmu di apartemen saja, Nggi? Kamu sedang kacau. Bagaimana kalau kamu sampai kecelakaan?” suara Bu Rina yang melengking saat itu entah kenapa terdengar begitu menenangkan.
“Istighfar, Nggi… semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi kekuatan hamba-Nya, Nggi.” Bu Rina terus memeluk saya, membelai dan menciumi rambut saya.

“Maaf, Bu… pagar rumah Ibu jadi rusak,” ujar saya lemah.
“Peduli amat dengan pagar. Bagaimana kalau yang kamu tabrak itu mobil lain, atau orang?” ujar Bu Rina. “Pagar bisa diperbaiki. Kalau nyawa?”
Saya tersadar akan sesuatu. Saya memeluk Bu Rina erat-erat. Tubuh saya gemetar menyadari beberapa menit yang lalu saya nyaris saja jadi pembunuh. Di detik-detik terakhir ketika saya sudah siap menabrak ibu salah seorang pembunuh Caca, tiba-tiba saja wajah Bapak dan Ibu melintas. Membalaskan dendam saya hanya akan menambah kerusakan baru di keluarga kami yang sudah porak-poranda. Saya memilih untuk segera ke rumah sebelum saya kehilangan akal sehat saya lagi.
“Istighfar, Nggi… istighfar…,” bisik Bu Rina berulang kali, seolah-olah ia tahu apa yang tadi hampir saja terjadi.
Saya kembali menangis di pelukan Bu Rina. Namun, sekali ini saya merasakan kelegaan luar biasa memenuhi dada saya.
***
Satu bulan kemudian ….
Seorang perempuan yang mengenakan baju seragam polwan menggandeng tangan seorang gadis kecil memasuki area permainan anak-anak yang terletak di sebuah pusat perbelanjaan. Si gadis kecil menatap perempuan itu dengan sepasang mata bundarnya yang begitu mirip dengan mata perempuan itu. Perempuan itu tersenyum, perlahan melepaskan genggaman tangannya dari si gadis kecil dan berbicara sebentar sebelum melambaikan tangannya.

Gadis kecil itu segera berlari riang menuju salah satu sudut area permainan yang sudah dihias dengan pita, balon dan poster khas pesta ulang tahun. Perempuan itu menatap cemas ketika melihat putrinya berjalan melewati sekelompok gadis kecil yang mengenakan celana sepaha dan atasan ketat, dengan riasan wajah tebal yang sangat tidak sesuai dengan umur mereka. Kelompok gadis kecil tadi melirik agak mencemooh ke baju gaun renda sebetis yang digunakan putrinya. Si gadis kecil menyongsong beberapa orang temannya yang mengenakan baju hampir sama. Mereka tertawa riang, lalu mulai berlari mengelilingi area permainan, seolah tidak mempunyai satu pun kekhawatiran di dunia ini. Perempuan itu tersenyum bahagia.

Di sebuah rumah sakit, tepatnya di sudut paling belakang di mana kamar jenazah berada, seorang gadis tengah menekuni sebuah presentasi power point di laptop. Wajahnya menatap tulisan-tulisan dan gambar di layar laptop dengan serius. Sesekali ia memejamkan mata, lalu bergumam pada dirinya sendiri dan terkadang ia mengambil sebuah buku notes, menandai beberapa bagian dengan stabilo. Gadis itu akhirnya sampai di slide terakhir di mana terulis sebuah kutipan. “To the living we owe respect, but to the dead we owe only the truth – Voltaire.” Gadis itu terdiam sejenak, lalu mengambil telepon seluler pintarnya. Ia mengetik tulisan ‘kasus Alicia’, lalu memilah-milah hasil pencarian yang muncul sebelum kemudian membuka tautan berjudul ‘Sidang Kasus Alicia Digelar Besok’. Gadis itu membaca isi beritanya dan ketika mendapati foto seorang gadis muda yang tengah tersenyum dengan tulisan ‘Foto Alicia’, gadis itu membalas senyum gadis muda di foto itu.

Di sebuah ballroom yang hari itu penuh hiasan bertema vintage, seorang perempuan tengah berdiri di salah satu sudut ballroom. Wajah perempuan itu menunjukkan kebosanan ketika perempuan-perempuan di sekelilingnya tertawa dan mengobrol riuh.

Perempuan itu mengeluarkan telepon seluler pintar dari tas kecilnya, menghela napas ketika melihat gambar burung kecil berwarna biru dengan tulisan ’40 New Interactions’. Dibukanya notifikasi itu. Di layar telepon selulernya terpampang tulisan ‘Erin Amalia Sasongko ‘Medusa Woman’ dan fotonya. Ia membuka bagian mention dan matanya terbelalak ketika melihat sebaris kalimat yang terselip di antara kalimat-kalimat penuh caci maki. “Setidaknya si Medusa Woman sudah bersikap sportif dengan membuka identitasnya, mengakui kesalahan dan meminta maaf di khalayak ramai #respect.”

Mata perempuan itu berkaca-kaca. Ia melihat ke sekelilingnya, lalu beranjak dari kerumunan itu menuju tumpukan kue mangkuk yang tampak lezat. Diambilnya satu kue mangkuk berwarna merah muda dan dikunyahnya dengan nikmat. Perempuan itu tersenyum senang.

Di sebuah ruangan berukuran empat meter kali empat meter, dua orang gadis yang mengenakan baju oranye bertuliskan ‘TAHANAN’ tengah berbicara. Tepatnya, salah seorang gadis itu yang bicara sementara gadis lainnya mendengarkan. Si gadis yang sejak tadi hanya diam tiba-tiba saja membelalakkan matanya dan menggeleng tidak percaya.

Gadis yang bicara berhenti, menunduk sejenak, lalu mendongak lagi dan menangkupkan kedua tangan di depan dada. Gestur meminta maaf. Lawan bicaranya terdiam beberapa detik, lalu mengangkat tangannya. Gadis yang tadi bicara berjengit seolah takut lawan bicaranya akan menamparnya. Namun, tangan gadis lawan bicaranya justru mendarat dengan lembut di bahunya. Gantian lawan bicaranya yang bicara, sesekali menunjuk dirinya sendiri dan kemudian menaruh kedua tangannya di bahu gadis itu. Gadis itu menatap lawan bicaranya dengan mata berkaca-kaca, lalu memeluknya erat. Mereka berdua tersenyum.
Di sebuah rumah, tepatnya di sebuah kamar, seorang perempuan tua baru saja terbangun dari tidurnya. Ia menoleh ke sana kemari, seolah linglung sebelum matanya terfokus pada sebuah foto yang terpajang di dinding. Di bawah pigura itu tertulis ‘In Memoriam Alicia Puteri Sadewa 1998 – 2014.”

Mata perempuan itu berkaca-kaca, ia memiringkan kepalanya ke sisi kanan dan menghapus air matanya dengan tangan kanannya. Saat itu ia mendapati ada orang lain di sisinya. Seorang perempuan muda, mengenakan kemeja putih dan rok bunga-bunga, tertidur dengan posisi yang kurang nyaman. Separuh tubuh perempuan muda tadi terduduk di lantai dan hanya tubuh bagian atasnya saja yang merasakan empuknya kasur.

 Perempuan tua tadi menatap si perempuan muda cukup lama. Tangannya tidak jadi menghapus air matanya. Ia menggerakkan tangan kanannya dengan kaku ke atas kepala si perempuan muda. Membelai-belai rambutnya penuh sayang. Tanpa sepengetahuan mereka berdua, seorang laki-laki tua memperhatikan mereka dari balik pintu yang separuh terbuka. Ia tersenyum penuh haru dan mengucap syukur berkali-kali. (Tamat)


************
Stephie Anindita
Pemenang II Sayembara Mengarang Cerber Femina 2015



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?