Fiction
Post Mortem Stories [3]

25 Aug 2015


<<<<<Cerita Sebelumnya

Bagian 3
Kisah sebelumnya:

Ditemukannya sosok mayat seorang gadis remaja korban pembunuhan sadis menyangkut hidup banyak orang. Orang tua yang harus kehilangan anak bungsunya, seorang wanita polisi yang gamang dengan keselamatan anaknya, juga seorang calon dokter forensik yang sadar  bahwa kematian itu bukan sekadar deretan angka statistik yang ditempelkan di dinding rumah sakit yang jadi geram atas ulah seorang selebtwit, Medusa Woman. Apalagi setelah pelaku pembunuhan ditangkap, yang ternyata teman-teman sekolah korban.

Caca membuatku muak. Dari awal ia masuk ke kelompok kami, dengan mudah ia mencuri perhatian teman-teman di sekolah. Ia adalah seorang pemain watak yang hebat, aku harus akui itu. Dengan ahli ia berlagak seperti orang baik di depan guru dan teman-teman. Tammi pernah membentak Caca ketika ia bicara dengan seorang cowok culun, karena hal itu tentu akan mempermalukan nama kelompok kami. Caca meminta maaf pada Tammi, tapi setelah itu ia tetap bicara dengan murid-murid ‘buangan’ lain saat ia mengira kami tidak melihat. Dia pasti ingin dianggap sebagai ‘malaikat’ di tengah-tengah kami. Dia kira kami bodoh sampai tidak tahu apa motif di balik sikap sok polosnya itu?

Karena itu, kami mau memberinya pelajaran. Kami mau menunjukkan pada Caca kalau ia tidak bisa lolos begitu saja dari kami. Tidak karena keahliannya bermain watak dan tidak juga dengan wajah sok polosnya. Awalnya rencana kami begitu sempurna, kami menculik Caca, membawanya ke tempat sepi, melabraknya beramai-ramai sampai ia tidak berkutik, mengembalikannya ke depan gang rumahnya dan meninggalkannya di sana.

Rencana kami seharusnya berjalan lancar, kalau saja Tammi tidak kehilangan kendali. Ketika kami mengerjai Caca, kami sama sekali tidak ada niat untuk melukainya. Sedikit jambakan di rambut, tempelengan yang tidak terlalu keras tapi cukup menyampaikan maksud kami dan caci-maki yang sudah pasti tidak meninggalkan bukti fisik. Kami sudah sepakat untuk tidak meninggalkan bukti fisik yang bisa digunakan Caca untuk mengadukan kami ke orang dewasa.

Mungkin karena Caca juga terpancing emosinya karena tidak tahan terus-menerus dipojokkan, tiba-tiba saja ia berani menjawab. Caca berkata pada Tammi, “Kalau saja sikap kamu memang seperti ini, Tammi, maka jangan menyalahkan saya kalau Rommy berpaling darimu. Kalaupun tidak ada saya, Rommy pun akan berpaling ke gadis lain jika melihat wajah aslimu!” 

Saat itulah Tammi lepas kendali. Tiba-tiba saja ia menerjang Caca, memukuli gadis itu dengan kalap. Aku, Wenni dan Rieta hanya bisa terperangah melihat Tammi yang seperti kerasukan. Wenni dan Rieta mencoba mencegah Tammi, menariknya menjauh dari Caca yang sudah terbaring dengan lemas di atas aspal.

“Tutup mulut kamu! Kamu tidak tahu apa-apa tentang saya dan Rommy! Saya dan Rommy itu jauh lebih dari apa yang kamu sangka! Saya sudah menyerahkan semuanya ke Rommy! Saya bisa membunuh demi dia!” jerit Tammi histeris.

Wenni dan Rieta mencoba menenangkan Tammi yang gemetar. Aku mengambil inisiatif menarik tubuh Caca bangkit dan mengatakan akan membawanya pulang. Melihat keadaan Caca, saya memaki dalam hati. Sialan, Tammi! Orang tua Caca pasti akan curiga melihat baju anaknya yang sobek dan wajahnya yang penuh luka. Aku baru saja hendak memikirkan bagaimana caranya menyamarkan keadaan Caca ketika mendengar jeritan Wenni.
“Tammi, jangan!!”
Ada suara ‘krekk’ yang membuat perutku mual. Tubuh Caca jatuh tersungkur di sisiku. Di bagian belakang kepalanya ada luka menganga. Di belakangku, Tammi memegang sebuah batu bata yang sudah berbercak darah. Dengan penuh kengerian aku melihat Caca yang menggelepar-gelepar kesakitan di atas aspal seperti ikan yang dikeluarkan dari air, lalu tidak berapa lama tubuhnya melemas dan tidak bergerak lagi.
“Astaga Taamm … apa yang sudah kamu lakukan?!” teriak Rieta.  
“Kamu sudah gila!!” Wenni mulai menangis.
“Diam! Caca tidak apa-apa, dia pasti berpura-pura untuk menakut-nakuti kita!”  Tammi membentak mereka berdua. Tangannya gemetar ketika ia mengguncang tubuh Caca. “Ca, bangun. Hentikan aktingmu!” Saat Caca tidak juga bereaksi, Tammi membalikkan tubuhnya. Mata Caca terbuka, tapi tatapannya kosong menatap ke langit malam.
Wenni berjalan mendekati Caca, lalu menaruh jari di depan hidungnya. “Dia… dia tidak bernapas.”
 Kami semua yang ada di sana terdiam. Wenni mencoba mendudukkan tubuh Caca yang terkulai lemas. Saat itu mata Caca yang sudah tidak bersinar menghujam ke arahku. Ini gara-gara kamu, Neta! Saya tahu ini semua adalah perbuatanmu! Seakan-akan matanya berkata. Aku menjerit keras dan kemudian jatuh pingsan.
Aku terbangun entah berapa menit atau bahkan jam kemudian, ketika Rieta menampar-nampar pipiku. Sejenak aku disorientasi dan menyangka aku habis bermimpi buruk. Wenni, Rieta dan Tammi mengelilingku. Wajah mereka tampak tegang dan tidak ada yang berani membalas tatapan mataku.

“Caca …,” bisikku lemah.
“Caca sudah kami bereskan,” ujar Rieta parau. Wajah Rieta pucat pasi, matanya merah dan samar-samar aku mencium bau muntahan dari tubuhnya.
Wenni angkat bicara, “Kita harus segera pergi dari sini sebelum orang lain menemukannya.”
Aku mulai menangis, namun Rieta mengguncang bahuku dan berkata tidak ada waktu untuk menyesal. Semua sudah terjadi. Sekarang yang bisa kita lakukan adalah pergi sejauh mungkin dari sini. Separuh menyeret, Rieta menarik tubuhku dan memaksaku berjalan. Aku sempat melihat selokan tempat mereka menaruh tubuh Caca. Gadis itu terkulai lemas dengan separuh tubuh terbenam di dalam selokan.

Aku terus menangis di boncengan motor Wenni. Walaupun Wenni memacu motornya dengan kecepatan tinggi dan beberapa kali ia mendapat klakson serta caci maki pengemudi lain, aku merasa kami tidak beranjak sama sekali. Saat kami sampai ke swalayan dua puluh empat jam tempat kami menjemput Caca pun, rasanya aku masih berada di proyek perumahan sepi tempat jasad Caca terbaring di selokan. Aku melihat gang rumah Caca dan tangisku kian keras. Aku tidak bisa berhenti bahkan saat Tammi mengguncang-guncang bahuku, mendesiskan ancaman di telingaku dan menampar pipiku.

Keberadaan kami mulai menarik perhatian pengunjung swalayan lain. Mayoritas dari mereka tidak terlalu fokus menatap kami karena sepertinya mereka separuh mabuk. Seorang laki-laki berusia jauh lebih tua dari kami melihat wajahku. Ia menyeringai, “Kenapa menangis, Sayang? Kemarilah, bersandarlah di pelukan saya dan biarkan saya hapus air mata di wajah cantikmu itu ….” Teman-temannya yang lain tertawa berderai dan melontarkan komentar yang membuat wajahku kian panas.

Aku membuka mulut untuk bicara, namun Tammi membekap mulutku kasar. “Tutup mulutmu, Neta! Kamu sudah cukup menarik perhatian kita,” desisnya. Tangan Tammi terasa dingin, halus dan wangi mawar, namun tangan itu juga yang sudah membunuh Caca. Aku memalingkan wajah dan meludah ke tanah. Perutku terasa mual.
“Sekarang kita pulang ke rumah masing-masing, istirahat …,” ujar Rieta, walau ia tahu tidak akan ada satu pun dari kami yang bisa beristirahat malam itu. Atau mungkin juga selamanya.
“Kita harus kompak kalau nanti ada yang bertanya soal Caca. Kita bilang kita memang sempat pergi bersama Caca, berkeliling daerah sini dengan naik motor, lalu kita berpisah jalan dengan Caca di daerah dekat perumahan tadi … karena Caca bilang ia mau bertemu seseorang,” tambah Wenni.
“Laki-laki. Kita tidak kenal siapa orang itu. Saya merusak baju Caca sebelum membuangnya di selokan… mudah-mudahan orang menyangka ia dibunuh oleh orang yang mencoba memperkosanya … dengan demikian tidak ada yang mencurigai kita,” kata Tammi. Aku tidak berani melihat wajahnya. Kilatan liar di mata Tammi membuatku ngeri. Aku menggumamkan persetujuan dan segera naik ke boncengan motor Wenni.
Aku diturunkan di depan rumah. Kedua orang tuaku sudah tidur. Saat itu ternyata sudah pukul dua dini hari. Aku masuk ke dalam kamar, mengunci pintu dari dalam dan segera menanggalkan bajuku, menggantinya dengan daster. Baju yang tadinya hendak kumasukkan ke keranjang baju kotor, akhirnya kulempar ke luar jendela. Aku tahu aku tidak akan sanggup melihat baju itu lagi.

Seperti orang linglung, dengan hanya menggunakan pakaian dalam aku naik ke atas tempat tidur dan bersembunyi di bawah selimut. Keringat terus membanjiri sekujur tubuhku, walau saat itu udara dini hari sangat dingin. Aku memejamkan mata, berharap bisa bangun dari mimpi buruk ini, namun  tiap kali memejamkan mata yang terbayang hanyalah Caca. Aku seolah bisa merasakan kehadiran Caca di dalam kamarku, berdiri di samping tempat tidur dan menatapku yang bersembunyi di balik selimut dengan tatapan menuduh. 

Apa yang sudah aku lakukan? Aku terus-menerus bertanya pada diriku sendiri. Aku tahu Tammi yang mengeksekusi Caca. Caca tidak akan mati, jika Tammi tidak kelepasan kalap dan memukul kepala Caca dengan batu bata. Jika nanti kami harus berhadapan dengan polisi dan terpaksa mengaku, baik aku, Rieta ataupun Wenni akan menjawab serupa: Tammilah yang membunuh Caca. Kami tidak ada niat membunuh Caca. Kami tidak bersalah.
Benarkah itu, Neta? Aku seolah bisa mendengar suara Caca.

“Hentikan … tolong hentikan … jangan …,” aku mulai meracau.
Tammi tidak akan membunuh saya kalau kamu tidak menyebarkan fitnah itu, Neta! Suara Caca terdengar kian jelas, seolah ia berbisik tepat di telingaku. Aku meraih bantal, menekapkannya di wajahku dan berteriak sekeras-kerasnya.

Aku tidak bermaksud mencelakakanmu, Caca. Aku hanya bermaksud usil sedikit. Aku tahu kamu tidak pernah berselingkuh dengan Rommy, apalagi menertawakan kebodohan Tammi di belakang punggungnya. Itu semua hanya cerita karanganku! Aku yang menghasut Tammi, agar ia membencimu. Aku tahu persis, kalau Tammi sudah membenci seseorang, maka ia akan berusaha agar orang yang ia benci ikut dibenci seantero sekolah. Semua itu aku lakukan karena aku iri padamu. Aku tidak pernah bermaksud mencelakakanmu, apalagi sampai seperti ini, Caca! Kumohon, maafkan aku!

Keesokan harinya ada polisi yang datang ke rumah. Ia memintaku menceritakan saat terakhir kali aku bertemu dengan Caca.
“Kami… kami pergi dengan Caca berkeliling daerah sini. Setelah itu Caca meminta diturunkan di sebuah proyek perumahan…,” aku berkata linglung. Aku terus bicara sesuai skenario yang sudah disusun. Polisi yang menanyaiku mencatat keteranganku dengan wajah tanpa ekspresi.
“Kami sudah menyelidiki daerah sekitar sana,” ujar polisi lain yang sejak tadi hanya diam menatapku. “Kami mendapatkan rekaman CCTV yang memperlihatkan kalian ada di sana hingga sekitar pukul satu malam.”
Kata ‘rekaman CCTV’ terdengar seperti ledakan bom di telingaku. Aku sudah tidak bisa mengelak lagi. Aku menatap polisi tadi dengan nanar. Caca seolah ada di sampingnya, menatapku tajam. Mati kamu, Neta!
Sudah tidak ada lagi celah bagiku untuk lolos. Kedua orang tuaku menangis meraung-raung ketika polisi berkata mereka akan membawaku ke markas dan kemungkinan aku akan berada di sana cukup lama. Mereka terus berkata bahwa polisi pasti berbuat kesalahan. Aku tidak mungkin membunuh orang.
“Bilang sama Ibu, bukan kamu yang melakukannya, Neta!” ibuku berkata sambil memelukku erat-erat.
“Bukan… Neta yang melakukannya, Bu,” ujarku, lemah.
Ibuku tersenyum dan mengecup pipiku, “Ibu percaya. Ibu percaya. Kamu akan segera bebas, Nak! Ibu janji!”
Bukan Neta yang melakukannya, Bu … suara Caca terdengar di telingaku, mengulangi kata-kataku dengan nada mengejek. Neta hanya bertindak sebagai provokator.
Apa yang terjadi berikutnya seperti sebuah montase. Aku bertemu Tammi, Rieta dan Wenni. Satu per satu dari kami masuk ke sebuah ruangan untuk diinterogasi. Kami digiring oleh dua orang polwan menerobos gerombolan wartawan yang begitu bernafsu membidik kami dengan kamera. Kami bertemu dengan kakak perempuan Caca. Kakak Caca berkata ia mengenali kami sebagai perempuan-perempuan bangsat yang menindas adiknya. Sorot mata kakak Caca tanpa suara menjanjikan nasib yang jauh lebih mengerikan dari penjara menantiku di luar sana. Kami kembali digiring menerobos kerumunan wartawan, namun sekali ini kami diminta berhenti untuk dimintai keterangan. Tammi mengakui perbuatannya. Samar-samar terdengar umpatan wartawan atas kelakuan biadab kami. Kami kembali ke ruang tahanan.

Rasanya sudah berabad-abad lamanya ketika akhirnya aku boleh bertemu dengan Ibu. Ibu berkata ia sudah menghubungi pengacara yang bisa membebaskanku.
“Pengacara yang Ibu hubungi yakin sembilan puluh sembilan koma sembilan persen kamu akan bebas, Neta,” ujar Ibu, dengan wajah berseri-seri. “Kamu, toh, tidak bersalah karena kamu hanya ikut-ikutan. Jika perlu, nanti kamu bilang saja kalau kamu diancam oleh Tammi. Kami akan mendukung ceritamu. Bagaimanapun, Tammilah pemimpin kelompok kalian. Bisa dimengerti kalau kamu takut melawan perintahnya.”
Aku diam saja. Aku tidak berani berkata pada Ibu kalau di belakang Ibu saat itu Caca berdiri tegak dan menatapku tajam. Ibu terus bicara dengan riang, menggenggam jemari tanganku erat-erat, namun aku tidak bisa mendengar kata-katanya. Yang kudengar hanya suara Caca, di sini memang kamu masih bisa bersembunyi di balik kebohonganmu, Neta… namun tidak di alam baka nanti!
Aku tidak tahan lagi. Aku harus menceritakannya kepada Ibu. Aku memeluk tubuh Ibu erat-erat, menangis di bahunya. Ibu balas memelukku, membisikkan kata-kata menenangkan di telingaku. Ibu meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja … namun aku tahu semuanya tidak akan baik-baik saja.
“Bu …,” ujarku, “ada yang mau saya ceritakan.”
“Apa itu?” Ibu menatap mataku dalam-dalam.
“Saya …,” aku menarik napas, “sayalah penyebab Caca disiksa.”
Mata Ibu membelalak, terkejut. “Maksud kamu?”
Aku menceritakan semuanya kepada Ibu. Mengenai rasa iri dan benciku kepada Caca, bagaimana aku mendapat ide jahat saat Caca menceritakan soal Rommy padaku, fitnah yang kurancang untuk menjatuhkan nama Caca hingga ketika aku mendukung rencana Tammi memberi Caca pelajaran. Ibu mendengarkan semua ceritaku tanpa bicara. Setelah aku selesai bercerita pun Ibu tidak berkata apa-apa.
“Bu … tolong katakan sesuatu,” aku memohon dan berusaha menyentuh tangan Ibu. Aku terkejut ketika Ibu menepiskan tanganku dengan kasar, seolah-olah aku menyentuhkan besi panas ke kulitnya. Saat aku mencoba memeluknya, Ibu mendorong tubuhku sampai aku nyaris terjatuh.
 “Jangan sentuh saya! Saya tidak sanggup melihatmu, apalagi bicara denganmu sekarang. Saya… saya benar-benar tidak mengenal siapa anak perempuan yang berada di samping saya saat ini,” ujar Ibu. Sambil terus memalingkan wajah dariku, Ibu keluar dari ruangan itu dan meninggalkanku sendiri.
Tubuhku merosot jatuh ke atas lantai dan hanya duduk diam di sana menekuni lantai. Aku bahkan sudah tidak sanggup lagi menangis. Seorang polwan memegang lenganku, memintaku segera kembali ke ruang tahanan. Aku mengikuti perintahnya dengan pasrah. Apa yang terjadi, terjadilah. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dipertahankan. Masa depanku sudah musnah. Aku tidak mungkin lagi bisa kembali bersekolah. Di mata Bapak dan Ibu, aku bukan lagi gadis kecil mereka yang manis, karena di mata mereka tanganku sudah berlumuran darah.
Di belakangku, samar-samar aku mendengar suara tawa Caca.

Anggi – Last Execution
“Selamat menikmati ketenaranmu, ERIN AMALIA SASONGKO a.k.a MEDUSA WOMAN ? lain kali jangan takabur dan sombong jika masih menjadi seorang anonim pengecut.”
Saya tersenyum puas saat entah untuk keberapa kalinya saya membaca kicauan terakhir di linimasa Twitter saya. Rasakan itu Medusa Woman, Erin, atau siapa pun namamu. Jangan kira saya akan mundur begitu saja saat pengikut-pengikutmu yang bodoh itu mengeroyok saya. Kamu tidak akan lolos begitu saja setelah apa yang kamu lakukan terhadap saya. Mata saya melirik ke arah sebuah figura berisi foto saya dan seorang anak perempuan berseragam putih-abu-abu. Tangan saya menyentuh wajah anak perempuan itu. Setelah apa yang dia lakukan terhadap kita, Dik … ujar saya dalam hati.

“Hari ini sakit hatimu sedikit terbalas, Dik,” bisik saya. “Jangan khawatir, Kakak tidak akan membiarkan perempuan-perempuan berengsek yang sudah menyiksamu lolos begitu saja, Caca sayang ….”
Rasa puas terasa seperti obat bius yang sejenak membuat saya lupa akan luka yang masih menganga di dalam tubuh saya. Luka yang mungkin tidak akan pernah sembuh kecuali sesuatu bisa digunakan untuk menebus nyawa adik saya dan membawanya kembali ke tengah-tengah keluarga. Saya tidak percaya saat ini belum ada dua hari setelah Caca dimakamkan. Rasanya sudah berbulan-bulan berlalu.

Saya masih berharap semua ini hanya mimpi buruk. Pada satu titik saya akan terbangun karena ketukan di pintu dan suara riang Caca yang memanggil-manggil saya untuk kegiatan rutinnya  tiap akhir pekan, bermalam di apartemen saya. Kami akan maraton DVD film drama Korea, sambil menyantap es krim dan berurai air mata. Besoknya Caca akan saya ajak ke pusat perbelanjaan di seberang apartemen, untuk makan di restoran cepat saji Korea kesukaannya. Itulah yang seharusnya terjadi di hari Sabtu kemarin. Bukan mendapati adik saya disiksa dan dibuang begitu saja seperti binatang.

Seharusnya saya menanggapi keluhan Ibu mengenai teman-teman baru Caca di SMA dengan lebih serius. Ibu berkata ia tidak suka Caca bergaul dengan anak-anak perempuan yang sering dibincangkan oleh orang-orang di sekitar kompleks rumah itu. Mereka bukan perempuan muda baik-baik. Mereka dikenal sebagai penggertak  bagi sesama perempuan dan penggota bagi lawan jenis. Tipe perempuan yang tidak akan membawa apa-apa kecuali malapetaka jika didekati.

Awalnya saya menganggap semua itu hanya bagian dari pencarian jati diri Caca. Dulu ketika SMA beberapa orang teman saya juga ada yang seperti itu, tapi, toh, saya akhirnya bisa melewati masa SMA dengan baik. Saya tidak lantas masuk panti rehabilitasi narkoba atau hamil di luar nikah. Saya mencoba menenangkan Ibu dengan mengingatkan Ibu betapa sering kami bertengkar mengenai ketidakcocokan Ibu dan teman-teman saya dulu.
Caca memang mulai berubah ketika ia masuk SMA. Ia tidak lagi rutin bertandang ke apartemen saya, ia minta dibelikan telepon seluler pintar dan ia juga mulai mengubah gaya berpakaiannya menjadi ala gadis-gadis dari cerita drama Negeri Ginseng. Ibu pernah mendamprat saya ketika saya membelikan Caca beberapa celana pendek santai  aneka warna, legging dan kaus katun yang pas di badan.

 “Kamu mau adikmu dianggap perempuan murahan oleh orang-orang?!” bentak Ibu. Ketika itu Bapak yang menenangkan Ibu, mengatakan jika gaya berpakaian seperti itu sudah bisa diterima oleh pergaulan anak-anak remaja saat ini. Bukan hanya Caca yang menggunakan pakaian seperti itu. 

Seandainya waktu itu saya tidak membiarkan rasa sayang saya yang teramat sangat pada adik semata wayang saya mengaburkan penilaian saya, mungkin saat ini Caca masih di sini. Itulah yang diteriakkan oleh ibu saya ketika kami mendapat konfirmasi bahwa benar Caca yang ditemukan tewas mengenaskan di sebuah selokan.

“Lihat! Lihat apa yang kamu lakukan!” jerit ibu saya, sambil meronta-ronta dalam pelukan saya. “Gara-gara kamu, adikmu meninggal!”
Beberapa tetangga menenangkan Ibu, membawa beliau menjauh dari saya dan mengatakan bahwa ibu saya sedang emosi jadi meracau tidak jelas. Mereka tidak tahu kalau sebenarnya ibu saya tahu persis apa maksud kata-kata beliau. Setelah tenang pun ibu saya tidak bisa menatap mata saya dan bicara pada saya. Sampai pemakaman selesai, ibu saya tetap tak mengacuhkan saya. Bagi ibu saya, saya sudah ikut mati.
Secara tidak sengaja waktu saya menginap di rumah Bapak dan Ibu, saya mendengar pembicaran mereka.

“Bu, saya tahu Ibu sedang berduka … tapi Ibu tidak adil jika bersikap seolah menyalahkan Anggi atas apa yang terjadi pada Caca. Anggi juga berduka, Bu. Ibu tahu sendiri bagaimana Anggi begitu menyayangi Caca,” ujar Bapak, mencoba melunakkan hati Ibu.
“Kalau memang Anggi menyayangi Caca, ia akan setuju ketika saya melarang Caca mengikuti ritme pergaulan masa kini yang membahayakan,” suara Ibu terdengar dingin. “Saya ibunya! Saya tahu apa yang paling baik buat anak saya, tapi apa ada yang mau mendengarkan saya?! Tidak! Sekarang lihat akibatnya! Caca meninggal!!”

Cerita Selanjutnya>>>>>


************
Stephie Anindita
Pemenang II Sayembara Mengarang Cerber Femina 2015





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?