Fiction
Post Mortem Stories [2]

25 Aug 2015


<<<<<Cerita Sebelumnya

Bagian 2
Kisah sebelumnya:

Ditemukannya sosok mayat seorang gadis remaja korban pembunuhan sadis membuat hidup orang-orang di sekelilingnya bergejolak. Orang tua yang harus kehilangan anak bungsunya, seorang wanita polisi yang gamang dengan keselamatan anaknya, juga seorang calon dokter forensik yang sadar  bahwa kematian itu bukan sekadar deretan angka statistik yang ditempelkan di dinding rumah sakit yang jadi geram atas ulah seorang selebtwit, Medusa Woman.

Masih banyak lagi kalimat-kalimat bernada menuduh yang  makin lama  makin membuat perutku bergolak. Apa-apaan orang ini? Apa dia sadar kata-katanya akan dibaca oleh para pengikutnya yang berjumlah mencapai ratusan ribu? Bagaimana kalau ada teman atau sanak famili korban yang membaca tulisannya? Bagaimana kalau kejadian serupa menimpa dirinya atau orang terdekatnya dan ia membaca komentar semacam ini?

Aku segera memblokir akun Medusa Woman dan mematikan telepon seluler pintarku. Masih ada perasaan mengganjal di hatiku, berharap aku bisa mengatakan sesuatu pada Medusa Woman. Memintanya untuk belajar berempati … tapi ah, sudahlah! Tidak ada gunanya. Bagi Medusa Woman, dialah orang yang paling benar dan para pendukungnya pasti akan mengamini. Itu salah satu aturan tidak tertulis di dunia maya. Sama seperti para petinggi zaman dulu yang menganggap bumi itu datar dan siap mengeroyok siapa pun yang  berkata sebaliknya.

Perasaanku sedikit lebih baik sekarang. Aku mengemasi tasku, bersiap-siap pulang ke tempat kos untuk mandi dan bertukar pakaian. Sebelum keluar dari ruangan, aku berlutut, memejamkan mata dan mengucap doa.

Erin – Medusa Woman
Sial! Apa maunya perempuan sok suci dan sok tahu ini? Saya mengentak-entakkan jemari di atas keyboard komputer dengan marah. Pagi ini, tepatnya dua puluh empat jam setelah saya mengirimkan komentar saya tentang seorang gadis tolol yang mati konyol di dalam selokan, ada seorang pengikut saya yang berani menentang pendapat saya. Dia bilang saya harus belajar berempati, bla bla bla … sungguh sial! Kalau memang dia tidak suka pendapat saya, cukup berhenti mengikuti akun Twitter saya. Tidak usah merasa sok suci dan mengkhotbahi saya. Seolah-olah dia paling suci saja!

Dia benar-benar menantang rupanya. Baiklah, ingat saja akun sok tahu … kamu yang meminta! Saya menulis akunnya di Twitter untuk membiarkan para pengikut saya mengeroyoknya. Rencana saya berhasil. Tidak sampai dua jam, sudah ada lebih dari seratus kicauan dari pengikut saya yang mengeroyok akun sok suci tadi. Siapa pun namanya itu akhirnya mengunci akun Twitter-nya setelah mengancam saya akan adanya karma yang siap memukul wajah saya. Huh. Menggelikan.

Saya menggerakkan tetikus untuk mengirim kicauan kemenangan setelah dua puluh menit berlalu dan tidak ada kicauan balasan dari akun-sok-suci-siapa pun-namanya itu. Rasakan itu, orang sok tahu! Apa dia tidak tahu kalau selama ini tidak pernah ada yang menang melawan Medusa Woman di Twitter.

Bukan tanpa maksud saya memilih nama Medusa Woman untuk menganonimkan identitas saya di dunia maya. Medusa adalah sosok makhluk perempuan berambut ular dalam mitologi Yunani yang mampu mengubah seseorang jadi batu. Itulah saya. Dengan mudah saya bisa membuat siapa pun yang menentang saya tidak berdaya. Jangan macam-macam dengan Medusa Woman kalau masih mau berselancar di dunia maya dengan tenang.

Saya sama sekali tidak merasa bersalah telah mengirimkan kicauan-kicauan yang kontroversial tadi. Saya memang benar, kok! Saya sudah membaca berita mengenai gadis remaja yang ditemukan meninggal dalam selokan itu. Membaca  tiap komentar bernada mengasihani di kolom komentar membuat saya sangat muak. Tolol sekali orang-orang itu! Gadis itu sudah jelas-jelas bertindak konyol dengan pergi seorang diri malam-malam, sekarang setelah dia mendapat celaka, buat apa dikasihani?

Itu semua karena kebodohannya! Biar saja para pengikut saya sadar. Kalau mereka bisa berpikir tanpa dipengaruhi rasa sentimentil konyol yang berlebihan, mereka pasti bisa sependapat dengan saya! Hidup ini keras, sahabat! Sikap sok sentimentil hanya akan membuaimu sejenak sebelum nanti kenyataan meninjumu tepat di wajah.

Saya melirik kolom ‘pengikut’ saya. Masih berkisar tiga ratus ribu. Mungkin sudah berkurang satu atau dua, tapi peduli setan! Saya mengucapkan salam perpisahan sekaligus terima kasih untuk para pengikut setia Medusa Woman. Tidak lupa saya memberi ‘bonus’ salam perpisahan untuk para pembenci yang mungkin masih diam-diam mengintip linimasa saya.
Sesaat sebelum saya keluar dari akun Twitter, ada sebuah kicauan baru dari akun berita ‘jampasir.net’. Tersangka pembunuh gadis remaja di Jakarta Timur sudah diamankan polisi? Pasti pelakunya adalah kekasihnya yang kalap ketika mengetahui gadis itu hamil. Jalan cerita yang entah sudah berapa juta kali ditampilkan di drama-drama kacangan televisi. Tangan saya menggerakkan tetikus untuk membuka tautan beritanya.
 
Tersangka Pembunuh Alicia Diamankan Polisi
Jakarta – Polisi sudah mengamankan tersangka pembunuh Alicia (16), gadis SMA yang ditemukan tewas di sebuah selokan. Alicia diduga menjadi korban pengeroyokan geng anak perempuan di sekolahnya. Polisi sudah mengamankan empat orang yang diduga merupakan pelaku pengeroyokan, yaitu TM (16), RT (16), WN (17) dan NT (16).

Menurut penyidik, korban dikeroyok hingga tewas karena motif asmara. TM menuduh korban telah merebut pacarnya. TM bersama dua orang temannya mengajak korban untuk bertemu dan berunding di sebuah swalayan 24 jam di dekat rumah korban. Setelah korban datang, TM, RT, WN dan NT mengajak korban pergi dengan menggunakan dua buah sepeda motor ke sebuah kompleks perumahan yang masih dalam proses pembangunan. Di sana, korban dipukuli beramai-ramai hingga tewas. TM mengaku telah memukul kepala korban dengan menggunakan batu bata. Setelah korban tewas, mayat korban dipindahkan dan dibuang ke selokan yang terletak tidak jauh dari sana.

Saya tidak membaca berita itu lebih lanjut. Mata saya membelalak tidak percaya. Sinting! Ternyata hanya sekelompok gadis-gadis labil yang kehilangan kendali. Ini jauh lebih bodoh lagi dari dugaan saya sebelumnya. Benar-benar sinting, sekelompok gadis muda bertingkah layaknya sekelompok hyena yang mengeroyok anak singa, hanya karena sebuah alasan yang bukan main tololnya pula!

Merebut pacar TM? Memangnya pacarnya itu benda mati yang tidak punya pikiran? Pasti perselingkuhan itu datang dari dua belah pihak. Alicia menggoda pacar TM dan pacar TM pun menanggapi. Kalau salah satu tidak ada, pasti perselingkuhan itu tidak akan terjadi. Alicia bisa bersikap layaknya penggoda ahli di depan pacar TM, tapi jika pacar TM tidak genit dan menyambar apa saja yang ditaruh di hadapannya, maka seharusnya tidak akan ada masalah.

Saya sudah tahu kenyataan itu sebelum saya menginjak usia remaja. Ketika itu papa saya meninggalkan rumah, dan keluarga mama saya menyalahkan saya atas perginya Papa. Papa meninggalkan rumah karena saya terlahir perempuan, sementara Papa perlu seorang anak laki-laki untuk meneruskan nama keluarga. Untuk memiliki anak lagi pasti akan melewati proses panjang bagi Mama. Mama bahkan sudah tiga kali keguguran sebelum mengandung saya. Papa saya tidak mau berjudi dan memilih pergi, ketika ada perempuan lain yang menjanjikan anak laki-laki untuknya.

 Ketika itu mama saya berkata dengan tegas, “Kepergian laki-laki sialan itu tidak ada hubungannya dengan Erin. Memang dia sering bertingkah seperti monyet yang menyambar apa saja yang melintas di hadapannya! Tapi, dia akan menyesal nanti, lihat saja. Saya akan buktikan Erin tidak kalah dari anak laki-laki.”

Itulah yang akhirnya dilakukan mama saya. Saya hanya bisa mengecap rasa menjadi putri kecil di dalam keluarga selama enam tahun pertama kehidupan saya, selanjutnya saya menjadi Prajurit Sparta yang dipersiapkan untuk perang. Mama saya mendidik saya tidak kalah keras dengan mendidik laki-laki, bahkan mungkin saja lebih keras. Saya harus banyak tahu dan banyak bisa, melampaui anak-anak lain. Di kala anak-anak lain berlarian riang di taman bermain, saya duduk diam mengerjakan puluhan soal atau mengucapkan hafalan layaknya mantra.

Kalau akun-entah-siapa-namanya tadi menyangka saya ini gadis manja yang tidak tahu apa-apa tentang rasa sakit, maka dengan senang hati saya akan tertawa dan mengacungkan jari tengah saya padanya. Pergi ke neraka saja, sana!  Sejak kecil saya tahu apa itu rasa sakit. Entah sakit hati karena bentakan, cacian atau kalimat ‘halus’ macam, “Kamu mengecewakan Mama!”, atau sakit fisik karena sabetan rotan  tiap kali saya berbuat kesalahan. Dunia ini tidak punya tempat bagi kesalahan, kata Mama. Hukuman yang Mama beri buat saya jauh lebih ringan dibandingkan apa konsekuensi yang akan saya terima dari dunia kalau saya berbuat kesalahan.

Seperti itulah seorang anak harusnya dididik. Biarpun dia harus mati, dia akan mati membawa kehormatan keluarganya sebagai prajurit yang tewas di medan perang. Bukan mati konyol seperti ini! Cih. Apa gadis bodoh itu tidak curiga saat teman-temannya mengajak bertemu, lalu pergi ke tempat sepi? Ayolah, semua orang pasti bisa melihat adanya keanehan di sana! Itulah kalau seorang anak remaja dibesarkan dengan buaian dunia khayal. Menganggap dunia ini penuh dengan orang-orang baik yang akan memperlakukan kita seperti putri raja, hanya karena kita ini perempuan. Menggelikan.

Saya hendak menuliskan kicauan di linimasa saya, namun tidak jadi. Bukankah tadi saya sudah berpamitan pergi kepada para pengikut dan pembenci saya? Nanti jangan-jangan para pembenci saya mendapat celah untuk mengatai saya ‘tidak punya kehidupan’ huh, tidak usah, ya! Saya keluar dari Twitter lalu pergi ke dapur. Ketika saya menoleh ke arah cermin besar yang dipajang di ruang tengah rumah saya, saya berdecak kesal. Mama saya benar, perut saya yang membuncit kelihatan jelek sekali. Tempo hari, ketika Mama datang ke rumah, Mama langsung menyadari ukuran lingkar pinggang saya yang tidak seperti biasanya. Dan itu malapetaka.

“Astaga, kamu gemuk sekali, Erin! Lihat gelambir di perutmu itu. Kamu pikir orang lain tidak menyadarinya, tapi Mama sadar dan begitu pula laki-laki di luar sana!”  Mama berdecak kesal sambil menarik kulit perut saya. “Ini sudah harus hilang sebelum acara high tea bulan depan. Mama tidak mau jadi bahan tertawaan karena kamu kelihatan seperti sapi potong!”
Saya menghela napas. Membatalkan diri untuk membuat campuran tequila, lemon dan garam. Saya memotong lemon menjadi empat bagian, lalu memasukkannya ke dalam blender dan menyalakannya.

“Sudah Mama bilang, olahraga! Diet! Jangan mentang-mentang kariermu sebagai pimpinan redaksi majalah sosialita terkenal sedang menanjak, kamu jadi merasa di atas angin. Pada akhirnya, seorang laki-laki aristokrat hanya ingin mendapatkan perempuan yang memiliki fisik seperti peserta ‘Asia’s Next Top Model’. Semua pembicaraan kariermu akan dianggapnya angin lalu, kalau di hadapannya terpampang seorang perempuan yang kelihatan sekali mempunyai nafsu makan sebesar monster!” kata-kata Mama kembali terngiang, mengalahkan suara ribut mesin blender ketika mencacah potongan jeruk lemon hingga menjadi bubur.

Saya menuang jus berwarna kuning itu di gelas, meneguknya pelan-pelan dan berusaha mengusir rasa lapar yang terasa menjengkelkan. Sambil menyugesti diri bahwa jus ini bisa membuat lambung saya tenang sampai paling tidak pukul dua belas nanti, saat saya baru boleh makan campuran selada, tomat dan mentimun, saya membayangkan perut cekung dan pinggang ramping yang sebentar lagi akan saya dapatkan kalau saya berhasil menjalani diet ini.

Baju berukuran XS yang dibelikan Mama untuk saya pakai di acara high tea harus muat. Titik! Saya memakai sepatu kets dan bersiap-siap untuk berlari selama satu jam di atas treadmill. Saya mengambil iPod dan memutar lagu Lady Gaga sebagai penambah semangat.
Suara Lady Gaga mengiringi langkah saya yang mengentak di atas treadmill. Pikiran saya kembali melayang ke kasus pembunuhan anak perempuan tadi. Huh, anak yang malang… siapa suruh ia tidak berjuang untuk menjadi yang kuat? Saya teringat masa SMP dan SMA saya ketika saya senantiasa dikelilingi geng perempuan-perempuan kuat di sekolah. Mana ada orang yang berani melawan seorang Erin? Kalau masih ingin hidup, sih.

Rasa puas mengingat bagaimana saya selalu berada di tingkat teratas ‘rantai makanan’ di sekolah membuat saya makin bersemangat berlari. Saya membayangkan apa yang akan terjadi kalau saya berhadapan dengan geng anak perempuan tolol yang tadi diceritakan di koran. Tentu saja mereka tidak akan berani macam-macam dengan saya kecuali kalau mereka siap saya habisi hingga tidak berani memperlihatkan wajah di depan umum.

Saya tidak hanya menggertak. Mau tahu berapa orang anak perempuan atau laki-laki yang dulu harus konseling dengan guru Bimbingan Konseling gara-gara saya? Saya hanya perlu memikirkan rumor apa yang kira-kira cocok disebarkan ke seantero sekolah dan kemudian mengucapkannya sambil lalu ketika saya sedang berdandan bersama geng saya di kamar mandi perempuan. Hal terakhir yang saya tahu, semua orang memercayainya. Siapa pun itu yang berani mengusik pandangan saya akan lenyap bagai ditelan bumi.

Dulu saya pernah juga digosipkan merebut pacar orang ketika SMA. Ugh, padahal anak laki-laki itu yang begitu bernafsu mendekati saya. Dia nyaris pingsan karena kegirangan saat saya menanggapi ajakannya berdansa di acara ulang tahun seorang teman. Mana saya tahu dia punya pacar? Saya tidak bermaksud apa-apa, hanya merasa bosan dan sedang single.

Mungkin dia menganggap dirinya begitu hebat karena sudah menaklukkan ‘Erin si puteri es’ ugh, benar-benar tolol. Besoknya dia menempel terus pada saya seperti lintah di sekolah. Pacarnya pun marah dan sambil menangis mendatangi kami berdua. Ia pakai mengancam akan bunuh diri. Astaga, apa dia pikir ini drama Romeo dan Juliet? Dia kira seluruh dunia akan lantas berduka cita melihat seorang gadis yang mempertahankan pacarnya hingga berkorban jiwa? Yang ada ia hanya akan jadi bahan tertawaan!

Saya katakan itu di depan mereka berdua, lalu saya tinggalkan mereka begitu saja. Saya juga berkata kalau saya tidak menginginkan cowok bodoh itu. Jangan salahkan cowok bodoh itu yang lebih memilih seorang Erin dibandingkan perempuan lemah, bodoh dan cengeng seperti pacarnya. Pungguk boleh merindukan rembulan, kok! Tidak ada yang melarang.

Mungkin banyak yang menilai saya sombong. Hei, ini kenyataan! Lagi pula, dikira gampang menjadi seorang Erin seperti sekarang? Saya mendapatkan ini semua dengan kerja keras! Tidak terhitung berapa kali bagian tubuh saya kena sabet rotan di bawah didikan keras Mama! Mengingat banyaknya pengorbanan yang sudah saya berikan, saya pantas mendapatkan semua ini.

Aduh, sial! Kenapa tiba-tiba kepala saya pusing? Padahal saya baru berlari selama tiga puluh menit. Saya mencoba mengalihkan pikiran dengan mengingatkan diri saya atas prestasi-prestasi yang pernah saya dapatkan… tapi saya hanya bisa bertahan sepuluh menit sebelum pandangan saya mulai berkunang-kunang. Suara Lady Gaga terdengar seperti dengungan segerombol lebah marah. Saya mematikan mesin treadmill, lalu terhuyung-huyung mencari tempat duduk. Saya mengempaskan tubuh ke atas sofa,  memejamkan mata sambil berusaha mengusir pusing.

Entah berapa menit atau jam kemudian, akhirnya sekeliling saya berhenti berputar. Saya menarik napas dalam-dalam dan duduk tegak di sofa. Huh, rupanya saya belum terbiasa dengan ritme diet ini. Saya tahu seharusnya saya makan atau minum sesuatu yang manis, tapi lebih baik saya tidur saja daripada menambah asupan kalori ke tubuh saya.
Kembali ke kamar, dinginnya hawa AC membuat saya menggigil. Saya mematikan AC dan berniat hendak mandi air hangat. Baru saja saya hendak beranjak ke kamar mandi, telepon seluler pintar saya berbunyi. Ketika saya angkat, tubuh telepon seluler saya terasa panas. Saya melihat nama salah seorang teman yang dekat dengan saya sejak kuliah – Liana – memanggil saya.

“Halo, Na?” sapa saya.
“Halo, Rin? Kamu ke mana saja?!” nada suara Liana terdengar panik. “Dari tadi saya menelepon kamu tidak diangkat!”
“Ada apa, sih, Na?”  tanya saya jemu. Apa Liana lagi-lagi akan menjejali saya dengan drama mengenai laki-laki yang meninggalkannya setelah mereka menghabiskan malam bersama? Saya benar-benar sedang tidak punya cukup tenaga hari ini.
“Medusa Woman yang di internet itu kamu, Rin?”
Saya terkesiap mendengar kata-kata Liana.
“Erin??”
“Kamu… dengar dari mana?” suara saya parau.
“Jadi benar? Medusa Woman itu kamu?” kejar Liana.
“Kamu dengar dari mana?” saya mengulang dengan suara lebih keras.
“Tadi ada salah satu pengguna Twitter yang menyebarkan hasil screen capture saat ia merentas akun Twitter Medusa Woman dan ia menunjukkan bagaimana akun itu terhubung ke surelmu. Sekarang beritanya sudah sangat ramai di internet! Sudah masuk situs forum perbincangan ‘bisikbisik.net’ pula!” suara Liana kian meninggi.

Tidak. Ini tidak mungkin terjadi. Pasti ada kesalahan! Liana masih meracau di seberang telepon, tapi saya sudah tidak mendengarkannya. Saya memutuskan sambungan dan berniat membuka akun Twitter saya, namun telepon seluler pintar saya tiba-tiba saja mati kehabisan baterai. Saya memaki keras dan melemparkannya ke atas kasur.
Saya segera membuka komputer, masuk ke akun Medusa Woman dan akun pribadi saya. Lutut saya lemas menyaksikan ratusan kicauan yang ditujukan ke saya. Seluruhnya kicauan menghujat, mengancam dan merendahkan. Alamat e-mail saya juga sudah tersebar. Saya yakin sudah ada puluhan dan bahkan ratusan e-mail penuh hujatan di sana. Tangan saya gemetar ketika menggerakkan tetikus mencari asal mula kicauan yang katanya berhasil merentas ke akun Twitter saya.

Seperti ada yang memukul saya tepat di ulu hati ketika melihat siapa yang pertama kali menyebarkan identitas asli saya. Rupanya akun yang tadi pagi berselisih paham dengan saya. Entah bagaimana caranya ia bisa merentas masuk ke akun Twitter Medusa Woman, menemukan informasi pribadi saya dan menyebarkannya.
“Selamat menikmati ketenaranmu, ERIN AMALIA SASONGKO a.k.a MEDUSA WOMAN ? lain kali jangan takabur dan sombong jika masih menjadi seorang anonim pengecut.” kicauan terakhirnya seperti pukulan telak seorang petinju, dengan efek yang sama. Tubuh saya merosot jatuh ke atas lantai dan tidak lama kegelapan mengelilingi saya.

Neta – The Deadly Secret
Suara wartawan terdengar riuh-rendah ketika dengan kepala tertunduk aku, Tammi, Rieta dan Wenni berbaris mengikuti arahan penyidik. Matahari tepat berada di atas kepala dan membuat wajah kami yang tertutup topeng berbahan wol warna hitam serasa dipanggang. Kami harus menggunakan topeng itu agar kamera para wartawan yang terfokus ke arah kami tidak menangkap wajah kami. Aku merasa perutku diaduk-aduk. Topeng ski berbahan wol ini memang bisa melindungi identitas kami dari publikasi para wartawan, tapi tidak ada yang bisa melindungi identitas kami dari mulut-mulut tajam di luar sana.

Terhitung dari saat para tetangga menyaksikan aku dijemput mobil polisi, aku harus menerima kenyataan bahwa hidupku sudah tamat. Tidak ada yang bisa mencegah berita yang beredar dari mulut ke mulut. Apalagi saat media sosial sudah menjadi bagian dalam hidup keluarga dan teman-teman kami. Ketika suatu berita sensasional tercipta sebagian orang meledak dalam euforia. Anonim diabaikan, betul atau tidaknya informasi tidak diacuhkan.  Nama Wenni, Tammi, Rieta dan Neta pasti sudah tersebar di dunia maya.
Mengingatnya air mataku kembali membasahi topeng ski dan aku memalingkan wajah ketika salah seorang wartawan membidik wajahku, hendak mengambil gambar salah seorang tersangka yang menangis untuk dijadikan berita.

Aku benar-benar tidak percaya semua ini terjadi. Selama dua minggu kami menikmati permainan yang menyenangkan. Popularitas kami di sekolah  makin terdongkrak dengan adanya rumor salah satu anggota geng kami adalah perebut pacar orang. Kami menikmati reputasi sebagai gadis-gadis jahat ala film-film remaja populer. Nikmat sekali rasanya disegani, ditakuti sekaligus dikagumi oleh teman-teman di sekolah. Kelompok kami jadi  makin kuat dan terpandang dengan adanya para simpatisan yang ingin ikut menunjukkan solidaritas mereka terhadap kelompok kami.

 Namun, semua itu dengan cepat berubah jadi mimpi buruk. Semua ini gara-gara Tammi yang tidak bisa mengontrol emosi. Rencana awalnya kami hanya akan menakut-nakuti Caca   karena kami muak melihatnya yang masih baik-baik saja bahkan setelah hampir seisi sekolah memusuhinya. Di sekolah, Caca mulai bisa berteman dengan penjaga sekolah, ibu-ibu penjaga kantin dan bahkan penjaga perpustakaan. Padahal, seharusnya ia tetap diam dan menanggung malu, seperti orang yang tertuduh. Kalau begitu mau ditaruh di mana muka kelompok kami sebagai kelompok gadis paling ditakuti di sekolah?
Saat Tammi mengutarakan rencananya untuk menculik Caca, kami semua menyetujui. Kami akan menunjukkan kepada Caca bahwa tidak ada tempat baginya untuk bersembunyi. Dengan begitu, mudah-mudahan Caca bisa kembali seperti pada awal-awal dia dimusuhi. Diam dan tahu diri.
Cerita Selanjutnya>>>>>


************
Stephie Anindita
Pemenang II Sayembara Mengarang Cerber Femina 2015



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?