Fiction
Post Mortem Stories [1]

25 Aug 2015



Seorang ABG Ditemukan Tewas di Selokan

Jakarta – Sesosok mayat yang diperkirakan berusia belasan tahun yang diduga merupakan korban pembunuhan ditemukan di sebuah selokan di bilangan Jakarta Timur. Mayat tersebut ditemukan sekitar pukul 05.00 WIB. Ketika ditemukan, mayat perempuan tersebut dalam keadaan telentang dan tidak didapati adanya tanda identitas pada korban. Terdapat sejumlah luka memar pada sekujur tubuh dan wajah korban, serta pada kepala ditemukan luka yang menganga. Hingga berita ini diturunkan, belum bisa dipastikan identitas mayat tersebut.
Mayat tersebut kini berada di Ruang Jenazah Rumah Sakit Cahaya Harapan. Ciri-ciri korban antara lain berusia belasan tahun, berambut panjang dan bertinggi badan 145 cm. Korban mengenakan kaus warna merah muda, celana jins biru, dan sepasang sepatu sandal berwarna cokelat.

AKBP Danila Sulis – Penyidik
Kesunyian yang terasa di mobil ini terasa mencekam. Sesekali saya terlonjak ketika terdengar bunyi telepon seluler milik seorang laki-laki tua yang duduk dengan kepala tertunduk di sebelah saya. Laki-laki di sebelah saya seolah tidak mendengar, walau dering nada panggil berupa salah satu lagu dengan lirik cengeng itu terdengar nyaring. Saya ingin mengingatkannya untuk mengangkat telepon, namun akhirnya tidak jadi. Biarlah dia menyimpan sisa-sisa kekuatannya yang terakhir, sebelum nanti kami sampai ke Rumah Sakit Cahaya Harapan, tempat ia akan mengidentifikasi jenazah perempuan muda yang diduga kuat adalah anaknya.
Sebenarnya saya tahu ia sudah mengenali anaknya dari selebaran berisi foto dan informasi mengenai penemuan mayat anak perempuan, subuh tadi. Menjelang sore ia datang ke polresta dan berkata ia mengenali wajah  serta baju yang dikenakan oleh mayat anak perempuan itu sebagai anak bungsunya.
Ia terakhir kali melihat anak bungsunya kemarin malam. Anak bungsunya meminta izin hendak pergi ke swalayan dua puluh empat jam, sekitar pukul 21.30. Karena hari itu malam Minggu, sang bapak pun memberikan izin dengan syarat paling lambat pukul sebelas malam anaknya sudah harus ada di rumah. Anaknya tidak kunjung kembali dan ketika sang bapak pergi ke swalayan yang dimaksud, anaknya tidak ada di sana. Ia bertanya ke sana-kemari, namun tidak ada yang tahu di mana anaknya.
“Sampai salah seorang tetangga saya membawakan ini….” Ia menunjukkan selebaran berisi pengumuman penemuan mayat di tangannya. “Ini anak saya. Saya kenal wajahnya. Bajunya sama dengan yang ia kenakan kemarin.”
Ketika kami hendak segera mengantarnya ke rumah sakit, ia memohon agar kami tidak bicara apa-apa pada istrinya di rumah. Ia bilang istrinya sudah stres sejak anaknya menghilang kemarin malam. Terbukti, ketika kami muncul di rumahnya, istrinya langsung menjerit keras dan nyaris terjatuh, jika tidak segera ditahan oleh beberapa orang yang berkumpul di sana.
“Anakku sudah mati! Anakku sudah mati!” jerit ibu itu berulang kali.
“Ibu… Ibu yang tabah, yang ikhlas… istighfar!” Suara penghiburan yang diucapkan oleh beberapa orang perempuan di sana tidak didengarnya. Ibu itu menghambur memeluk suaminya, lalu menangis histeris sambil memukul-mukul dada suaminya.
“Ssst… sst… belum tentu, Bu!” ujar sang bapak, sambil mendekap erat tubuh istrinya. “Kan kita belum lihat secara langsung. Bisa saja saya salah lihat. Makanya sekarang saya mau ikut Ibu Polwan dan Bapak Polisi ke rumah sakit, di sana insya Allah itu bukan Caca.”
Saya tidak tahu ia sedang mencoba membohongi siapa. Yang jelas ia tidak bisa membohongi saya dan orang-orang di ruangan itu. Namun, suara tangis sang ibu mereda mendengar kata-kata suaminya. Ibu tersebut menatap suaminya. “Benar, Pak. Masih ada kemungkinan Bapak salah lihat?”
“Benar,” sang bapak mengangguk, ia bahkan tersenyum tipis. “Foto di selebaran ini hanya mirip saja wajah dan bajunya. Untuk kepastiannya, saya akan berangkat ke rumah sakit setelah ini.”
Ibu itu menundukkan kepalanya. Ia juga sebenarnya sudah tahu jika yang ditemukan itu benar anaknya, namun ia menolak percaya. Kenyataan bahwa anak perempuan bungsunya ditemukan tewas setelah semalam sebelumnya mereka mungkin masih makan malam bersama, terlalu menyakitkan untuk ditanggung. Seberapa pun sisa waktu yang ia miliki untuk memercayai anaknya masih hidup di suatu tempat, ia akan menerimanya.
“Iya… iya… belum tentu itu Caca. Foto di selebaran tadi tidak jelas, agak kabur. Insya Allah saya salah lihat,” sang bapak mengusap-usap punggung istrinya. Istrinya mengangguk lemah, lalu menurut ketika diminta masuk ke kamar untuk beristirahat.
“Saya ikut Bapak!” seorang perempuan muda mendatangi sang bapak.
“Tidak, Anggi. Perjalanannya jauh. Kamu tinggal di sini, jaga ibumu. Biar Bapak yang pergi,” ujar sang bapak masih dengan nada setegas tadi. Perempuan muda tadi menurut dan segera menyusul ibunya ke kamar.
Sang bapak pergi ke kamarnya untuk bertukar pakaian dan mengambil dompet. Ia tampak tenang. Tidak ada sisa-sisa kekalutan yang tadi sempat terlihat ketika ia membawa selebaran ke polresta. Ia bahkan masih bisa berdebat singkat dengan ketua rukun tetangga yang ingin ikut. Bapak itu masih bersikeras kalau ia tidak yakin mayat yang tengah menunggunya di kamar jenazah bukanlah anaknya. Namun, akhirnya ia setuju.
 Ketika mobil patroli meluncur meninggalkan daerah perumahannya, perlahan namun pasti ia mulai luruh. Sikap duduknya yang gagah perlahan-lahan membungkuk. Seperti melihat video sebuah pohon pada masa peralihan dari musim panas ke musim gugur, demikianlah sang bapak tampak di mata saya. Kini, ia bagaikan pohon yang hanya tinggal ranting kering dinaungi langit yang berwarna kusam. Kami bahkan belum mencapai separuh perjalanan.
Saya mulai berimajinasi apa jadinya bila mobil ini bisa melompat ke dimensi lain. Kami tidak akan sampai ke ruang jenazah Rumah Sakit Cahaya Harapan, namun ke polresta tempat anak sang napak tengah menunggu. Ternyata terjadi kesalahan, yang meninggal bukanlah anak bapak itu, namun anak orang lain.
Anak bapak itu ditemukan di tempat lain, dalam keadan hidup. Kelaparan dan ketakutan, tapi masih hidup. Kubayangkan pertemuan itu di polresta, anak itu menangis sesenggukan ketika sang bapak memarahinya karena sudah membuat banyak orang susah. Anak itu meminta ampun dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Sang bapak dan anaknya pun akan pulang dengan jiwa raga lelah, namun hati lega.
Sepertinya bukan hanya saya yang berkhayal demikian. Beberapa kali saat sang bapak tanpa sengaja tertidur, ia membuka matanya, memanggil nama anaknya dan kemudian tertidur lagi ketika ia sadar masih berada di dalam mobil patroli. Saya memainkan telepon seluler pintar saya, membuka-buka beberapa aplikasi dan menyaksikan deretan kalimat keluhan, ungkapan kegembiraan, kata-kata mutiara dan bahkan caci-maki silih berganti memenuhi lini masa. Aneh rasanya mendapati di luar sana kehidupan masih berlangsung sebagaimana biasa, sementara di mobil ini waktu seolah terhenti untuk sejenak mengheningkan cipta.
Saya menutup lagi telepon seluler pintar saya dan mengantonginya. Lebih baik saya hemat baterai karena sepertinya hari ini masih panjang. Saya melihat ke luar jendela, ke arah jalan tol yang lengang. Penunjuk jalan menunjukkan kami hanya tinggal kurang-lebih lima belas menit perjalanan lamanya dari tempat tujuan.
Tidak bisa saya bayangkan seperti apa laki-laki tua di sebelah saya ini nanti ketika ia tidak bisa lagi mengingkari kenyataan mayat perempuan yang ditemukan tadi benar anaknya. Saya teringat kondisi mayat anak perempuan tadi. Benar-benar mengenaskan dan membuat saya bertanya, benarkah manusia adalah makhluk yang beradab?
Mayat anak perempuan tadi ditemukan di sebuah selokan, layaknya bukan manusia. Kausnya tersingkap dan celananya robek. Sekujur tubuhnya penuh luka lebam dan di kepala bagian belakangnya ada luka menganga. Siapa pun pelakunya, kebencian dan kemarahannya jelas tergambar di luka-luka yang ada di sekujur tubuh korban.
Monster macam apa yang tega melakukan hal semacam itu? Saya jadi ingin tertawa ketika mobil patroli melewati sebuah pusat perbelanjaan dan di depannya terpampang poster film horror lokal. Saat ini mungkin di dalam studio bioskop yang memutar film itu, sekelompok orang tengah menjerit-jerit melihat pocong, kuntilanak, dan entah apa lagi hantu-hantu standar film horor lainnya. Pandir! Padahal, ada monster yang harusnya lebih mereka takuti. Monster yang selama ini tinggal di dalam diri mereka dan tinggal menunggu provokasi yang tepat sebelum meloncat keluar.
Pikiran saya beralih ke rumah saya, di mana saat ini anak saya yang masih berusia sepuluh tahun mungkin sedang membuat pekerjaan rumah bersama ayahnya. Sepuluh tahun berlalu begitu cepat. Tiba-tiba saja bayi mungil yang baru diazankan oleh ayahnya segera setelah dilahirkan, sudah menduduki bangku kelas 5 sekolah dasar. Sebentar lagi ia akan kelas 6, lalu lulus sekolah dasar dan siap memasuki sekolah menengah pertama.
Saya tidak tahu harus merasa antusias atau kalut. Masa remaja adalah masa di mana seorang anak mulai ingin lepas dari pengaruh kedua orang tuanya dan mencari jati diri. Perlahan-lahan saya harus mulai bisa melepaskan putri kecil saya untuk beranjak dewasa. Namun… kepada dunia brutal seperti inikah saya akan memercayakan putri kecil saya? Rasanya tidak rela melihat putri kecil saya yang sudah saya jaga dengan bertaruh nyawa mulai sejak ia menghuni kandungan saya hingga sekarang, saya lepas ke tengah belantara ibu kota tempat hukum rimba berlaku.
Saya akan menjadi lelucon paling dihujat sejagat raya jika keselamatan putri kecil saya sampai lolos dari tangan. Melindungi orang lain saya bisa, kenapa melindungi anak sendiri saja saya tidak becus? Tanpa sadar saya menggelengkan kepala, mencoba mengusir jauh-jauh semua pikiran yang belum saatnya dipikirkan. Sekarang saya harus penuh berkonsentrasi pada kasus ini. Sambil mengucap nama Tuhan, saya menarik napas dalam-dalam ketika mobil patroli berhenti di depan ruang jenazah Rumah Sakit Cahaya Harapan.

Yossie – Koasisten
“Koas, tunggu di dalam ruang jenazah. Keluarga korban sudah datang untuk mengidentifikasi,” Pak Gito, seorang teknisi ruang jenazah, mendatangiku yang saat itu sedang menunggu di ruang jaga. Mata Pak Gito menyapu seisi ruang jaga, “Mana koas jaga yang lain?”
“Dua orang sedang ada panggilan ke IGD, Pak. Satu orang lagi sedang izin membeli makanan,” jelasku.
“Oh, begitu. Ya, sudah, kamu saja yang ikut ke ruang jenazah. Dampingi keluarganya,” Pak Gito memberi tanda agar aku mengikutinya.
Pak Gito dan dua orang teknisi lain pergi ke ruang penyimpanan jenazah, sementara aku menunggu di kamar jenazah. Aku menggunakan sarung tangan karet, bersiap-siap menanti jenazah yang sebentar lagi akan diidentifikasi.
Stase Ilmu Kedokteran Forensik baru dimulai satu minggu, namun aku sudah bisa menyimpulkan kamar jenazah adalah salah satu tempat yang dengan jujur memberikan gambaran telanjang kehidupan ibu kota. Kita tidak akan bisa tahu seberapa kejam hukum rimba yang berlaku hingga kita melihat para mangsa yang bergelimpangan di hadapan kita. Dua pelajaran utama yang bisa kudapat adalah: manusia bisa menjadi sangat kejam, namun di saat yang bersamaan hidup mereka juga sangat rapuh.
Seperti korban yang baru saja diperiksa tadi. Ketika membaca surat permintaan visum dari kepolisian, aku terperanjat melihat usianya. Usia korban diperkirakan tidak lebih dari tujuh belas tahun. Melihat kondisi korban yang mengenaskan, aku merasa ngeri membayangkan ketakutan dan kesakitan yang ia alami selama meregang nyawa. Aku teringat lelucon pahit: ‘sekejam-kejamnya ibu kandung, jauh lebih kejam ibu tiri dan sekejam-kejamnya ibu tiri, jauh lebih kejam ibu kota’.
Lamunan singkatku terputus ketika mendengar derit roda brankar menggilas lantai. Pintu belakang ruang jenazah terbuka dan Pak Gito bersama dua orang teknisi lain mendorong brankar dengan mayat yang tertutup kain putih berbercak merah di atasnya. Aku menolong mereka memindahkan mayat bertubuh mungil itu ke atas meja periksa. Tubuh mayat gadis itu ringan sekali.
“Koas, tolong tunggu di sini, ya,” ujar Pak Gito. “Saya panggil keluarganya dulu.”
Aku mengangguk dalam diam. Detik-detik menunggu kedatangan anggota keluarganya terasa berjalan lambat. Aku sering melihat adegan seperti ini di film-film drama seri tentang investigasi kriminal. Di  tiap adegan, para aktor memainkan peranan keluarga yang shock dengan sangat baik. Mereka menjerit histeris, memukul-mukul dinding, terkadang memeluk erat-erat jasad yang terbujur kaku hingga penyidik kerepotan menarik mereka keluar dari ruangan. Kucoba membayangkan adegan-adegan tersebut, berharap dengan demikian aku siap menghadapi reaksi keluarga ketika mengidentifikasi mayat ini.
Pintu ruang jenazah terbuka lagi. Pak Gito masuk bersama seorang polwan, seorang polisi berpakaian preman, dan seorang bapak tua yang tampak seperti anak kecil tersesat. Mata bapak tua itu melihat ke sana-kemari, sementara Pak Gito membimbing langkahnya menuju meja periksa. Tubuhku mendingin. Jantungku memukul-mukul rongga dada. Pak Gito memberi kode berupa anggukan kepala kepadaku.
“Permisi ya, Pak…,” suaraku serak dan hampir tidak terdengar. Tanganku menurunkan kain putih hingga sebatas bahu korban.
Aku tidak akan pernah bisa melupakan keheningan yang langsung memaku ruang jenazah. Seperti baru saja ada bom yang meledak di dekatku dan kini pendengaranku rusak sehingga yang bisa kudengar hanya suara berdenging. Bapak itu tidak menjerit histeris seperti yang kukira. Ia membungkuk di samping jasad anaknya dan mengusap-usap wajah anaknya.
“Caca… bangun, Nak, ini Bapak datang mau menjemput Caca pulang,” ujar bapak itu.
Polisi berpakaian preman yang ikut mengantar mengatakan sesuatu, namun aku tidak mendengar dengan jelas. Bapak itu terus memohon agar anaknya membuka mata dan memanggil namanya. Ia terus meracau, bahkan setelah polisi berpakaian preman tadi membimbing tubuhnya yang sudah mulai lunglai keluar dari ruang jenazah. Tatapan mata bapak itu sempat bertemu denganku.
“Dokter, tolong bangunkan anak saya …,” ujarnya.
Aku kembali menutup mayat gadis itu dengan kain putih. Pak Gito menoleh padaku, “Panggil teman-temanmu. Siap-siap kalau nanti akan ada autopsi.”
Aku memberi kabar teman-temanku melalui telepon selulerku dan kemudian menunggu di ruang pemulasaran jenazah. Bapak korban sudah pergi entah ke mana dan yang tinggal di sana hanya polisi berpakaian preman dan polwan tadi.
Mataku menatap grafik-grafik yang terpajang di dinding ruang pemulasaran jenazah. Grafik data statistik korban, digolongkan menurut kematian wajar dan tidak wajar. Persentase kematian tidak wajar lebih besar dari kematian wajar, namun bedanya selalu kurang dari sepuluh persen. Aku teringat ketika pertama kali melihat grafik tersebut, dengan bodohnya aku hanya berpikir ‘wah beda tipis.’
Kini aku seakan-akan mengenakan kacamata baru yang bisa melihat grafik-grafik tersebut secara lebih detail. Grafik yang sekilas tampak remeh tersebut tersusun dari kematian-kematian manusia. Di  tiap persentase angka yang menyusun, terdapat keluarga yang berduka. Grafik-grafik tersebut kini kelihatan seperti tiang-tiang interior Katedral St. Barbora yang tersusun dari tulang-belulang puluhan ribu orang yang dikubur di sana.  
“Hei, jangan melamun!” Pak Gito menepuk bahuku. Ia duduk di bangku panjang yang terletak di hadapanku.
“Pak Gito sudah sering menghadapi situasi seperti tadi ya, Pak?” tanyaku.
Pak Gito hanya mengangkat alis. “Begitulah …,” ujarnya.
“Perlu waktu berapa lama sampai Pak Gito terbiasa?”
Pak Gito tertawa dan terbatuk-batuk pelan. Setelah itu ia menatapku sekilas, “Mau tahu kebenarannya?” ujarnya. “Kita tidak akan pernah terbiasa.”  
Aku tidak bertanya lebih lanjut. Pak Gito lalu mengajakku kembali ke dalam ruang jenazah di mana autopsi sudah siap untuk dilakukan. Sisa malam itu berjalan seperti mimpi. Autopsi berlangsung, aku mencatat hasil pemeriksaan, dokter spesialis forensik menyuruh para koasisten beristirahat dan kemudian entah bagaimana caranya aku bisa tertidur di ruang jaga.
Aku terbangun pukul tujuh pagi dan membuka situs berita melalui telepon seluler pintarku. Rupanya berita tersebut sudah tersebar dan membuat kehebohan. Aku membuka aplikasi lain, yaitu Twitter. Mataku menyapu  tiap barisan kalimat di lini masa yang menggunjingkan kasus pembunuhan seorang gadis remaja bernama Caca.
Salah satu kicauan dari akun seseorang membuat mataku terbelalak kaget. Akun itu anonim, dikenal dengan nama ‘Medusa Woman’. Ia adalah seseorang yang terkenal di Twitter karena kicauannya yang frontal. Biasanya ia hanya memberi kata-kata mutiara sindiran tentang kehidupan selebritas atau hal-hal yang sedang ramai digunjingkan di internet.  
Sekali ini apa yang ditulis oleh Medusa Woman membuat dadaku menggelegak oleh kemarahan. Mataku panas dan napasku tersengal.
“Saya dengar sekarang dunia maya sedang heboh dengan kasus pembunuhan seorang gadis remaja, ya? Ha…ha…ha … tolol.”
“Saya benar-benar ingin tertawa melihat komentar-komentar yang bernada mengasihani … seolah-olah kalian kenal saja dengan korban ?”
“Apa alasannya seorang anak perempuan pergi lepas tengah malam? Jangan munafik, jangan sok suci, saya yakin kalian tahu alasannya.”
“Lagi pula, apa kalian pikir moral orang tuanya bisa dipertanggungjawabkan membiarkan anak perempuan pergi hingga lepas tengah malam?”
Masih banyak lagi kalimat-kalimat bernada menuduh yang  makin lama  makin membuat perutku bergolak. Apa-apaan orang ini? Apa dia sadar kata-katanya akan dibaca oleh para pengikutnya yang berjumlah mencapai ratusan ribu? Bagaimana kalau ada teman atau sanak famili korban yang membaca tulisannya? Bagaimana kalau kejadian serupa menimpa dirinya atau orang terdekatnya dan ia membaca komentar semacam ini?
Aku segera memblokir akun Medusa Woman dan mematikan telepon seluler pintarku. Masih ada perasaan mengganjal di hatiku, berharap aku bisa mengatakan sesuatu pada Medusa Woman. Memintanya untuk belajar berempati… tapi ah, sudahlah! Tidak ada gunanya. Bagi Medusa Woman, dialah orang yang paling benar dan para pendukungnya pasti akan mengamini. Itu salah satu aturan tidak tertulis di dunia maya. Sama seperti para petinggi zaman dulu yang menganggap bumi itu datar dan siap mengeroyok siapa pun yang  berkata sebaliknya.
Perasaanku sedikit lebih baik sekarang. Aku mengemasi tasku, bersiap-siap pulang ke tempat kos untuk mandi dan bertukar pakaian. Sebelum keluar dari ruangan, aku berlutut, memejamkan mata dan mengucap doa. Cerita Selanjutnya>>>>>


************
Stephie Anindita
Pemenang II Sayembara Mengarang Cerber Femina 2015



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?