Fiction
Pitaloka [7]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

“Ini ruang ganti wanita, ngapain ke sini?”

Senyum itu kian melebar. “Ini, tolong kasih tanda, gelang di pangkal tanganku kebesaran.”

Lika mengambil peniti lalu menyematkannya, menandai ukuran lingkar lengan Indrajit yang sebenarnya. Tanpa sadar Lika membenahi kemben yang agak longgar. Ternyata gerakan itu tak luput dari perhatian Indrajit.

“Kenapa? Perlu aku kasih tanda dengan peniti supaya lebih pas?” Indrajit mendekat, jarak mereka begitu dekat. Lika tak menanggapi. Didorongnya dada Indrajit dengan lembut ke arah pintu.

Tengah malam Lika terbangun. Badannya berkeringat. Jarum jam menunjuk angka dua. Rasanya aku bermimpi, tak berbentuk. Abstrak. Tapi, semua itu jelas sebuah mimpi. Lantas, kenapa aku bangun berkeringat seperti ini, mimpi burukkah? Atau, mimpi indah yang tak terdeteksi? Yang hanya dapat dirasakan dan diterjemahkan alam bawah sadarku.

Rasa lapar menyengat lambungnya. Lika melangkah terpatah ke ruang tengah. Popcorn habis. Biskuit bersaput cokelat ada beberapa, lumayan. Segelas susu hangat dengan cepat terhidang di depannya. Televisi tak punya sinyal lagi. Satu hari alias dua puluh empat jam berlalu tanpa menyisakan sesuatu yang bisa dinikmati kemudian.

Kecipak air di akuarium membuat Lika menoleh. Ikan-ikan itu, kapan mereka tidur? Mata-mata yang lucu itu selalu terbuka, tak ada seorang pun yang pernah memergoki mereka menutup kelopak matanya. Apakah mereka bermimpi juga?

Lika masih berusaha mengingat mimpi itu, tapi tak pernah berhasil. Mimpi buram yang tak terbaca. Yang jelas, ada rasa lelah begitu menyita. Sebuah ketakberdayaan yang azali. Suara kecipak air mengembalikan Lika pada dunia nyata. Jangan biarkan mimpi mengalahkan kemurnian hidup yang perlu dijalani setiap titik prosesnya.

Dibasuhnya wajahnya dengan air hangat. Rasa segar mulai mengalir, mengenyahkan segenap rasa kantuk yang menggayut. Lika tepekur di depan komputer, jemarinya bergerak menuangkan segala yang ada dalam benak. Apa saja, ia mengosongkan seluruh isi pikirannya. Nama Indrajit terketik beberapa kali. Mengapa Indrajit?

Hari itu tampang Indrajit kelihatan serius.

“Nanti pulang latihan, kamu ikut aku, ya?”

“Tak bisa Ndra, hari ini deadline,” sekilas Lika menangkap aroma kekecewaan di wajah Indrajit. “Aku punya sesuatu. Sangat rahasia, jangan bilang siapa-siapa! Bapakku punya kerisnya Pitaloka, asli!”

“Ah, bagaimana ayahmu bisa mendapatkan keris itu?”

“Kamu lupa, ya, bapakku arkeolog. Dia punya seribu kemungkinan untuk mendapatkan benda-benda seperti itu! Usahakan datang, ya, mumpung masih ada. Kalau dibawa bapakku lagi, otomatis peluang emas ini hilang!”

Rumah itu terlalu besar untuk dihuni dua orang pria lajang seperti Indrajit dan ayahnya. Sunyi dan lengang menjadi unsur yang paling dominan. Halamannya luas ditanami aneka pohon buah-buahan. Ada jambu bangkok, mangga, rambutan, bahkan durian.

“Rasanya seperti di rumah nenek...” ungkap Lika polos, saat Indrajit mematikan mesin mobilnya.

“Kenapa?”

“Suasananya sejuk sekali. Jadi ingin bikin rujak.” Mata Lika menyapu sekelilingnya. “Tapi, masih ada buah yang kurang. Duku dan bangkuang.”

Indrajit tersenyum lunak. Dibawanya Lika ke ruang tamu yang dindingnya penuh foto. Lalu, ia masuk ke dalam dan kembali lagi dengan dua gelas minuman dingin.

“Hmm... segar. Aku baru tahu bahwa mentimun bisa dibikin minuman seperti ini.”

“Tidak susah membuatnya. Pakai ketimun yang sedang, jangan terlalu tua. Dibuang bijinya, lalu dirajang kasar,” tutur Indrajit antusias. “Pakai gula putih cair yang sebelumnya direbus dengan pandan dan sedikit vanila. Supaya air gula tidak keruh, selagi merebus, masukkan putih telur mentah. Tidak bakal amis, kok. Nanti busa dan kotorannya akan terangkat ke permukaan.”

“Kok, kamu tahu cara membuatnya?” Lika takjub.

“Ini kesukaan almarhum ibuku. Kamu harus bisa bikin ini.”

“Kenapa harus?”

“Kata ibuku, calon menantu memang harus bisa.”

“Kamu, kok, yakin banget, aku bakal menikah dengan kamu?”

Lika tertawa renyah, lalu mengalihkan perhatiannya pada foto-foto yang tersusun rapi di dinding. Indrajit kecil sangat mudah dikenali lewat senyumnya yang khas. Di beberapa foto, ia tak pernah jauh dari sisi sang bunda. Ibunya memang cantik, anggun layaknya putri-putri keraton. Rambutnya yang hitam lebat kadang dibiarkan terurai. Ayah Indrajit lebih ganteng daripada anaknya.

“Bapakku mirip Indiana Jones, kan?” tanya Indrajit, yang muncul dengan segelas es ketimun. Gelasnya yang berembun menawarkan kesegaran oase di tengah kemarau panjang.

“Iya, bapaknya ganteng, ibunya anggun seperti putri keraton, anaknya, kok, parah seperti ini. Jangan-jangan tertukar sama anak orang lain waktu di rumah sakit.”

“Nggak mungkin. Aku lahir di rumah Eyang. Tetangga juga tidak ada yang punya bayi sebesar aku. Jadi, tidak mungkin aku tertukar,” Indrajit menengadahkan kedua belah tangannya ke samping sambil mengangkat bahu dengan mimik wajah jenaka. “Apa susahnya mengakui dan belajar menerima kenyataan bahwa yang di depanmu ini punya wajah di atas rata-rata....”

Lika tertawa tertahan. “Maksudmu spesies terakhir dari makhluk langka yang nyaris punah?”

Indrajit tersenyum masam.

Seorang pria separuh baya menghampiri mereka. Pamitan. Indrajit merogoh sakunya. Diselipkannya sejumlah uang ke tangan yang sudah mulai keriput dimakan usia. Wajah pria itu tampak kegirangan.

“Dia tak menginap di sini ?”

“Biasanya, nginap. Tapi, hari ini aku suruh pulang. Biar Pak Giyo mengajak jalan-jalan cucunya yang baru datang dari kampung.”

Suara buah jambu yang berjatuhan diterpa angin, terdengar jelas. Udara dingin menyelinap dari balik daun jendela yang terbuka tak terlalu lebar.

“Lalu, mana keris Pitaloka yang ingin kau tunjukkan?”

Indrajit beranjak dari duduknya. Mengajak Lika ke ruang sebelah yang lebih luas. Sebuah grand piano tampak megah di dekat jendela. Beberapa lukisan lama yang masih terawat baik menghiasi sisi-sisi dindingnya. Sebuah lemari kaca berisi benda-benda kuno yang disusun rapi mirip museum. Beberapa catatan di kertas karton kecil yang dilaminating tergeletak begitu saja. Ada juga karton yang diberi benang, lalu diikatkan pada benda-benda itu.

“Ini ruang kerja bapakku.” Ia mengambil sebuah kotak kayu berpelitur warna mahoni, membukanya perlahan dan sangat hati-hati.

“Kamu bisa main piano?”

“Sedikit, yang pandai main ibuku, bapakku lebih lumayan dibanding aku.” Indrajit mengangsurkan sebilah kujang kecil yang beberapa senti lebih panjang dari telunjuk orang dewasa.

“Bentuk kujang atau keris seperti ini disebut juga patrem, dipakai sebagai senjata rahasia para wanita di zaman dulu untuk melindungi dirinya. Ada yang terbuat dari emas, besi, dan kuningan tergantung strata sosial. Mereka menyimpannya di tempat-tempat tersembunyi yang strategis, diselipkan di stagen misalnya,” tutur Indrajit. Ditariknya hulu kujang kecil itu kemudian disimpan di telapak tangan Lika.

“Coba hirup...,” ujarnya. Lika menuruti kata-kata Indrajit.

“Wangi. Aku, kok, jadi merinding, ya?”

“Itu karena kamu terlalu menghayati momen ini dan pemilik kujang ini bukan hal yang baru bagimu. Kamu sudah menjiwai sosoknya.”


Penulis: Kathrin




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?