Fiction
Pitaloka [6]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Di benaknya melintas serpihan kenangan yang terkadang masih merajai benaknya. Kekasihnya yang kini entah berada di mana, hilang bersama pesawat yang ditumpanginya dua tahun silam.

Masa berkabung itu terlalu panjang, aku harus menata hari yang baru dan belajar menerima seseorang mengisi hari-hari berikutnya.

Aliran udara itu terdorong keluar. Bersama kenangan yang sudah selayaknya pupus bersama waktu. Lika menarik napas, mengumpulkan segala yang menggumpal dalam dada dan isi kepala. Membiarkan semua menjalari setiap milimeter tubuhnya, membiarkan bersenyawa dengan udara. Lalu diembuskannya, dibiarkan udara itu mengalir keluar melalui rongga mulutnya.

Sulaeman memberi aba-aba. Lika konsentrasi penuh. Latihan berjalan lancar, Sulaeman tersenyum dan mengacungkan jempol. Saat break, Lika dan Indrajit terlibat percakapan hangat dengan Sulaeman.

“Kamu benar-benar Pitaloka, deh, sekarang,” puji Indrajit, spontan.

Sulaeman tak berkomentar banyak. Bagi Lika, acungan jempol pelatihnya usai latihan tadi cukup mewakili apa yang ingin disampaikan pria separuh baya itu.

“Kamu perlu menjaga intensitas penjiwaanmu. Jangan sampai kehilangan irama permainanmu yang sudah mengalir itu.”

Sulaeman bergegas pulang. Tinggal Lika dan Indrajit. Tak ada satu pun kata yang terucap di antara mereka, sampai Sulaeman tak kelihatan punggungnya. Sampai beberapa saat kemudian.

“Kamu sudah sarapan?” suara Indrajit memecah kebekuan. Lika mengernyitkan alisnya.

“Makan siang maksudmu? Lagi pula, ini, kan, sudah sore, sebentar lagi gelap.”

“Ya, cuma tanya saja, sih, biar ada bahan pembicaraan.” Indrajit tersenyum, matanya menatap dalam.

“Ngomong-ngomong suatu saat kalau kita menikah gimana ?”

Gadis itu sama sekali tak menyangka kalimat akan meluncur begitu saja dari bibir pria di sampingnya. Beberapa jenak Lika tak mampu bersuara, sampai sebuah kekuatan terhimpun untuk mengucapkan beberapa patah kata.

“Tidak mungkin kau jadi kekasihku, apalagi menikahiku.”

Giliran Indrajit yang terkesiap, semesta kekecewaan mulai hinggap meruap di wajahnya.

“Kenapa?”

“Incest...,” ucap Lika, singkat.

Wajah Indrajit makin tak keruan, kakinya gelisah digoyangkan ke atas dan ke bawah berulang-ulang.

“Maksudmu...?”

Lika menghadapkan wajahnya pada Indrajit, matanya bersinar jenaka.

“Kau kan ayahku!”

Indrajit tersenyum garing, berusaha menahan perasaannya yang dikelabui.

“Oke, Pitaloka, aku ayahmu. Mulai saat ini kularang kau berpacaran dengan pria mana pun selain pemain teater yang pengusaha itu.”

Tawa Lika pecah, mimik wajah Indrajit tampak sangat lucu di matanya.

“Maksudmu, Indrajit? Pria yang hobinya makan?”

Kebekuan itu mencair, tawa mereka berderai lepas. Indrajit menikmati keceriaan yang mulai hadir di antara mereka. Meski Lika tak menjawab lamarannya tadi, ia berpikir itu soal nanti. Nikmati saja apa yang terjadi saat ini!

Pementasan teater Pitaloka mulai gencar dipublikasikan. Meski pementasannya masih sebulan lagi, tim publikasi sudah mulai merancang spanduk-spanduk yang akan dipampang di seantero kota.

Acara tumpengan yang dilanjutkan jumpa pers digelar di teater terbuka Gedung Kesenian. Usai selamatan yang dihadiri produser, latihan berjalan seperti biasa. Beberapa stasiun televisi membuat liputan langsung. Berlatih di bawah sorot kamera membuat para pemain punya energi berlebih untuk tampil sebaik mungkin.

Hari berikutnya wajah mereka menghiasi lembaran budaya media massa. Edo menurunkan artikel feature-nya di majalah Srikandi. Menurut Edo, Kelompok Teater Bulan Persegi menghidupkan kembali sosok Dyah Pitaloka untuk menggugat eksistensi wanita di zaman yang masih patriarkat ini.

Dunia memang milik pria. Sejak Adam diciptakan, wanita dianggap simbol kelemahan yang menjerumuskan kaum pria. Memperdayakan para pria demi memuaskan keinginannya. Makhluk cantik itu memiliki daya persuasif yang membuat para pria melanggar sebuah tatanan yang harus ditaati, membuat mereka larut dalam sebuah dikotomi yang sempurna untuk menempatkan wanita pada sisi terpuruk yang paling buruk. Lalu, kenapa pria diciptakan sebagai makhluk perkasa yang tidak tahan godaan?

Waktu pementasan makin dekat. Lika memusatkan segenap perhatiannya. Bagaimanapun, ini sebuah kepercayaan besar yang diberikan pada dirinya. Menjadi pemeran utama sebuah pementasan teater bukan hal baru, tapi kali ini Lika merasa ada sesuatu yang menggerakkan dirinya untuk tampil semaksimal mungkin, sebisa dia lakukan.

Pitaloka memberi napas yang berbeda. Ia merasa ada sebuah perjuangan di dalamnya, suatu pencerahan yang dapat mengukuhkan eksistensi wanita untuk tampil menjadi dirinya sendiri di tengah arus globalisasi yang sudah merebak ke segala penjuru hati dan pemikiran.

Tulisan Edo dan para budayawan di media massa menjadi promosi gratis yang kian mendongkrak popularitas pementasan Pitaloka. Dua minggu sebelum hari pementasan, 75% tiket sudah terjual. Di rubrik Surat Pembaca sebuah harian, seorang penggemar teater menganjurkan agar Pitaloka tidak hanya dipentaskan dua kali dalam satu hari saja.

Kritikus teater terkenal, Arthur, dalam ulasannya menyebutkan banyak orang menantikan pementasan teater yang digarap serius seperti Pitaloka. Ia menulis, masyarakat berharap banyak agar pementasan ini memberi napas baru bagi perkembangan teater di tanah air. Sebuah paradigma baru yang akan memotivasi para pekerja teater untuk menghasilkan karya yang menggali budaya tradisional.

Empat orang tukang memasang billboard besar di halaman luar Gedung Kesenian, depan pintu masuk. Rentangan pipa-pipa besi saling bersilang itu, menjadi penyangga yang kokoh. Diperlukan angin sekaliber badai untuk merobohkannya.

Lika tersenyum sendirian, jemarinya bergerak menarik rem tangan. Dari kejauhan billboard itu tampak mencolok. Didominasi warna merah dengan latar siluet adegan perang antara pasukan Kerajaan Sunda dan laskar Kerajaan Majapahit, poster raksasa itu seakan sebuah magnet yang menarik rasa ingin tahu siapa pun yang melihatnya.

Di billboard, Lika melihat dirinya berkostum seorang putri kerajaan enam abad yang silam. Tak ada yang aneh di situ, seakan ia sudah sangat familiar dengan atribut seperti itu. Jangan-jangan dia reinkarnasi Dyah Pitaloka? Ah, segera ditepiskannya pikiran yang mulai meruak tak kenal ujung.

Aku tidak percaya reinkarnasi itu ada!

Para pemain sibuk mencoba kostum. Ada yang kedodoran atau kekecilan. Sesekali terdengar suara cekikikan, melihat penampilan temannya yang tampak lucu. Mereka jadi asing dengan penampilannya sendiri. Tapi, itulah risiko memerankan orang lain, harus menanggalkan segenap identitas diri untuk masuk ke dalam ’baju’ seseorang, sekaligus menjiwai pribadi dan pemikirannya.

Di ruang ganti, Lika mematut-matut diri di depan cermin besar yang berukuran lebih tinggi dari ukuran tubuhnya. Tidak ada satu alasan pun yang dapat menolak bahwa ia melihat sesosok wanita lain. Namun, ia bersikeras, dengan kostum seperti ini atau pakaian abad milenium pun ia tetap seorang wanita bernama Lika.

Tapi, jangan-jangan reinkarnasi itu benar-benar ada!

Lika menggumam sendirian. Bulu kuduknya serasa merinding. Ia menatap matanya sendiri.

Suara orang datang membuka pintu, membuyarkan percakapan batinnya. Lika menoleh sesaat ke arah pintu. Astaga, aku lupa menguncinya! Belum habis rasa kaget itu, seraut wajah muncul. Mata itu begitu lekat memandang. Senyumnya yang ia kenal, membuat Lika sedikit lega.


Penulis: Kathrin



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?