Fiction
Pitaloka [5]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Seperti orang lapar melihat makanan, mata Lika menyambar buku-buku yang terpajang rapi. Toko buku itu tak seramai biasanya. Musik instrumentalia lembut mengalun. Seorang satpam berbaju preman bolak-balik mengitari rak buku, seakan-akan mencari sesuatu yang tidak ada. Lika menarik sebuah buku. Ada tangan lain mengambil judul yang sama.

Sambil membolak-balik halaman buku, pemilik tangan itu bersuara. “Hmm... kamu mau jadi feminis?”

“Memangnya, kalau membaca buku feminis, otomatis pemikir¬annya jadi feminis juga?”

Orang itu menoleh. Lika berusaha menyimpan rasa kagetnya, tak menyangka kalau pemilik tangan itu Indrajit.

“Sedikitnya, pasti ada pengaruhnya bagi yang membaca.”

“Cuma mencari referensi, kok, agar menjiwai apa dan bagaimana kaumku. Sekadar tambahan untuk menjiwai karakter Pitaloka.”

“Kenapa tidak membaca novel trilogi-nya Tasaro. Judulnya Pitaloka juga. Kukira itu yang lebih pas, lebih Timur daripada produk Barat yang kau baca.”

Mata Lika membesar. “Kamu pernah baca? Buku baru, ya?”

“Pinjam teman. Sudah lama juga, yang sekarang cetakan ke-....”

Lika langsung beranjak ke komputer database buku, meninggalkan Indrajit yang belum menyelesaikan kalimatnya. Lalu dia memanggil petugas untuk membantu mencari buku itu.

Tak lama kemudian, Lika muncul menenteng dua buah buku.

“Terima kasih, ya, informasinya. Biar cuma novel kesatu dan keti¬ga, lumayan aku jadi punya bahan.”

“Nanti kutanya temanku, mungkin dia masih menyimpannya.”

Lika tersenyum, menatap Indrajit.

“Terima kasih banget, ini sudah lebih dari cukup.”

Indrajit menikmati senyum Lika yang baru kali ini ditujukan padanya. Senyum paling indah dari gadis manis yang selama ini sering bersikap judes dan galak pada pria bernama Indrajit. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas yang sudah di depan mata.

“Sudah makan siang belum? Kita makan, yuk.”

Lika mengiakan. Tumben. Indrajit tak dapat menyembunyikan kegirangannya. Dan, siang itu menjadi sangat sejuk, meski di luar mentari garang dengan panasnya yang terik. Jalanan hiruk pikuk terperangkap kemacetan yang membosankan.

Ruang redaksi riuh seperti biasa. Malam akan menjadi panjang karena hari ini deadline. Beberapa orang menyeduh kopi pelawan kantuk. Belum lima menit Lika duduk, Pak Willy sudah ada di hadapannya. Mata pria tua itu begitu tajam, seakan memaksa Lika untuk bicara apa saja yang ingin didengarnya.

“Kenapa tidak cerita soal Firman Shabri itu pada saya?”

Lika tercekat. “Maksud Bapak hasil wawancara dengan pematung itu?”

“Apa yang kau alami, seharusnya diceritakan padaku!”

Lika mulai menangkap arah pembicaraan Pak Willy. Matanya nanar, mencari seseorang. Siapa lagi kalau bukan Edo yang membocorkan cerita itu, karena hanya pada Edo, Lika bercerita. Tapi, anak itu tak kelihatan batang hidungnya. Pak Willy memberi isyarat agar Lika ikut ke ruangannya.

“Seharusnya kau menceritakan kejadian itu, minimal kepada saya sebagai atasanmu, karena kejadiannya saat kau bertugas.”

“Saya mohon maaf, Pak.”

“Apa yang sering kita bicarakan belakangan ini ternyata menimpa dirimu. Ironis.” Pak Willy membuka tutup termos kecil.

“Tapi, kamu baik-baik saja, ’kan?” ujarnya, dalam kekhawatiran seorang ayah. “Biasanya suka teh manis, saya buatkan, ya?”

Lika hendak mencegah, tapi tangan kokoh itu sudah bergerak cepat. Mereka mengobrol sambil menikmati hangatnya teh tubruk ala Pak Willy.

“Insiden itu tidak serta-merta menciptakan stereotip bahwa semua pria mempunyai karakter yang tidak terpuji.”

Pak Willy mengaduk tehnya pelan-pelan. Lika memerhatikan dengan saksama bagaimana pria yang baik dan sabar itu menyeruput teh yang masih agak panas. Bunyi seruputan yang khas terdengar. Pak Willy sangat menikmatinya, Lika tersenyum. Tak mau kalah, ia pun meniru. Hmm.... ada kenikmatan yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata dan ini adalah sesuatu yang sangat sederhana.

“Mungkin kau sering menemukan orang-orang atau kejadian yang tak jauh berbeda. Tapi, tak perlu khawatir, masih banyak pria sopan dan bermoral yang memperlakukan wanita dengan santun dan penuh penghormatan.”

Lika tak menanggapi kata-kata Pak Willy. Ia sibuk dengan aktivitas barunya, dengan seruputan yang terdengar lebih keras bila bibirnya menyentuh tepian cangkir. Giliran Pak Willy yang memerhatikan kelakuan Lika. Merasa diperhatikan, pipi Lika agak memerah.

“Kau tetap wanita, Lika, suatu saat membutuhkan seseorang untuk melindungimu.” Suara Pak Willy mengalir sejuk.

“Jangan lupa, perasaan-perasaan itu akan muncul dengan sendirinya, bila kau menemukan orang yang tepat. Perasaan itu takkan mampu kau hindari.”

“Saya mengerti dengan apa yang Bapak sebut perasaan itu.” Lika membetulkan letak duduknya. “Mungkin Bapak benar, tapi saya belum memikirkannya. Saya hanya membiarkan hidup ini mengalir apa adanya.”

“Belajarlah menerima seseorang,” ujar Pak Willy, tanpa basa-basi. “Tak ada salahnya mulai menaruh harapan pada orang yang patut kau percayai.”

“Wah, jangan-jangan Pak Willy mau menjodohkan putra Bapak dengan saya!” Lika berusaha mencairkan suasana.

“Ah, anak saya perempuan semua....”

“Mungkin itu yang menjadikan Bapak lebih bisa memahami wanita.”

Lika meraih gelas teh manisnya, meneguk sedikit, sambil memandang ke arah Pak Willy. Pria itu menatap lurus, kembali ke topik pembicaraan semula.

“Saya memahami perasaanmu, tapi kita tak bisa membiarkan rasa kehilangan itu merajai kita. Ada yang lebih berharga daripada semua kenangan itu, yaitu apa yang ada di depan langkahmu.”

Lika mengerti, yang dimaksud Pak Willy itu adalah almarhum kekasihnya. Tapi, dia tak perlu tahu bahwa Lika juga kehilangan figur seorang ayah selama empat perlima masa hidupnya. Sejak ayah Lika meninggalkan mereka dengan segenap goresan luka yang belum pernah pulih hingga saat ini.

Bekas jahitan di wajah ibuku sudah cukup bercerita tentang apa yang terjadi semasa aku masih balita.
Hari Minggu, Lika bangun agak siang. Lampu ruang tengah apartemennya masih menyala, televisi pun masih bersuara. Sisa popcorn tadi malam tak berubah sedikit pun posisinya. Lika menggeliat. Perasaan sunyi tiba-tiba menyelinap di hati.

Ia melenguh dalam hati. Rasanya pagi ini capek banget. Hari berganti seperti daun-daun gugur, tanggal dan tak bisa tumbuh lagi.

Hmm.... sudah lama aku tak menelepon Bunda.

Ia beranjak dari sofa, membuka jendela lalu berjalan ke teras. Silau cahaya matahari membuatnya spontan memejamkan mata. Jalan raya di bawah sana masih sepi. Satu dua mobil melintas, beberapa orang jogging di trotoar.

Titik-titik embun sudah lama membias, seperti juga hari-hari dalam hidupku membias lepas tanpa terasa. Apa yang kucari selama ini? Ah... kenapa aku jadi sentimentil seperti ini.

Kemarin Shinta memberi kabar, anak pertamanya lahir. Laki-laki. Suaranya begitu ceria seakan dunia berada dalam genggamannya.

”Kapan kamu nyusul?” tanya Shinta, di sela-sela tawa renyahnya.

Lika tiba-tiba menjadi gagap, ada satu relung kehidupan yang belum juga dijamahnya.
Lika menghela napas. Ia tak boleh larut dalam situasi seperti ini. Jendela dibiarkan terbuka lebar. Televisi dimatikan, berganti alunan musik instrumentalia. Ia duduk bersila, memejamkan mata. Mengosongkan isi benak yang bergerumun. Mengatur helaan napas dan membiarkannya mengalir dalam setiap milimeter rentang tubuhnya.


Penulis: Kathrin




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?