Fiction
Pitaloka [4]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Gerimis malam terlihat jelas tersorot lampu. Lurus menghunus serupa jarum, berpen¬daran tersentuh cahaya. Lika mereguk isi gelas plastiknya hingga tandas. Angin berderai mempermainkan gerimis yang tak juga usai.

Wawancara berlangsung lesehan di salah satu sudut ruang pameran. Firman Shabri, seorang pematung terkenal, duduk bersila di depan Lika. Ada beberapa pengunjung. Dua orang murid Firman sedang membuat patung dari tanah liat ditemani anak lelakinya yang berumur 20-an.

“Dalam pameran tunggal kali ini, Anda masih mengusung tema wanita. Mengapa Anda sering menjadikan wanita sebagai tema sentral dari karya-karya Anda?”

Firman berpikir sesaat sambil mengelus-elus kumisnya yang lebat.

“Wanita identik dengan keindahan, suatu inspirasi yang tak ada habisnya bagi saya.”

“Anda juga melihat sisi lain dari wanita?”

Firman menatap lekat. Ada keliaran yang tersembunyikan di dalam matanya.

“Saya suka wanita yang cerdas dan sensual seperti Anda.”

Lika merasa jengah dengan ucapan dan tatapan pria itu.

“Maksud saya, adakah sesuatu yang patut dicermati dalam sosok wanita, selain keindahan fisik dan pesona ragawi?”

“Ya, seperti saya bilang barusan, cerdas!” matanya tak lepas memandang Lika. “Wanita cerdas menumbuhkan sensasi sendiri untuk dituangkan dalam sebuah karya. Bagaimana kita menafsirkan peran wanita dalam masyarakat yang masih berpandangan sempit tentang wanita. Saya ingin memberi penafsiran yang lebih bernas tentang wanita. Ada kekuatan tersembunyi di balik lekuk indah tubuhnya. Seperti Anda, misalnya.”

Sambil bicara, Firman menyentuh lengan Lika. Halus Lika menjauhkan tangannya dari jangkauan pria itu. Firman penasaran, tubuhnya bergerak maju. Lika bergeser, mundur.

“Apakah Anda memilih tema lain untuk karya patung Anda dan mengapa cenderung menggunakan media logam?”

“Tidak, saya fanatik memilih figur wanita sebagai inspirasi terbesar karya saya. Hasil penafsiran dan kontemplasi saya tentang kehidupan dimanifestasikan dalam sosok wanita. Saya akan tetap konsisten dengan hal ini,” Firman menghela napas sesaat. “Media logam saya gunakan karena media ini yang paling tepat untuk menerjemahkan unsur-unsur kekuatan wanita dalam karya saya.”

“Anda bicara bahwa wanita mempunyai nilai-nilai yang lebih esensial dari sekadar pesona ragawi, tetapi karya-karya Anda belum menyentuh hal tersebut. Anda lebih mengedepankan unsur erotisme dan eksploitasi lekuk tubuh wanita, daripada unsur lain yang memperjelas eksistensi wanita. Mengapa demikian?”

“Bila Anda seorang pria, tentu saja tidak akan bertanya seperti itu. Anda akan satu pemikiran dengan saya.”

“Sebaliknya, bila Anda bisa berempati terhadap wanita, Anda tentu akan lebih bisa menghargai sesuatu yang lebih berarti dari sudut pandang berkesenian Anda,” sanggah Lika, cepat.

“Saya hanya memanipulasi pandangan saya agar menghasilkan sebuah karya yang komunikatif. Ah, kecerdasan Anda membuat saya makin bergairah,” ujar Firman, sambil menyentuh punggung tangan Lika.

Lika tersentak, lalu duduk mundur. Firman maju dan mencoba memegang lengan Lika. Lika mundur, Firman mendekat lagi. Lika mencoba bersikap profesional dan mengabaikan keisengan Firman.

“Komunikatif macam apa yang Anda maksud di sini?”

“Seperti yang sedang kita lakukan. Sayang, kita terlambat bertemu, kalau saya masih muda tentu Anda tak akan menolak saya.”

Firman mencolek lengan Lika, gadis itu terkesiap. Mereka saling bertatapan. Waktu bagai sekam yang siap meletupkan bara.

“Kalau Anda mencolek lagi, saya tampar,” ancam Lika.

Pria itu tersenyum mengejek.

“Hmm... saya suka wanita galak, membuat saya lebih terangsang. Pukul saja keras-keras, dulu saya pernah jadi petinju, kok.”

Firman mencolek pinggang Lika, refleks Lika menampar pria itu dengan sangat keras, lalu berdiri. Firman tersungkur, kacamatanya terjatuh, Lika memungutnya. Wajah Firman merah padam, dia sama sekali tak menyangka Lika akan melakukan tindakan secepat itu.

“Saya bilang, jangan sentuh saya,” sergah Lika. “Saya menghormati Anda sebagai seniman senior dan narasumber saya, tapi jangan coba-coba melakukan hal tidak sopan seperti ini.”

Firman bergerak mundur, perlahan, mengangkat kedua tangannya. Anak Firman yang sedari tadi terpana akhirnya bangkit menghampiri mereka.

“Jangan dekat-dekat,” bentak Lika kasar. Pemuda itu mengurungkan niatnya.

“Maaf. Saya mohon maaf, saya hanya bercanda....”

“Bercanda Anda sudah kelewatan.”

Firman bergerak mundur, Lika menahan langkahnya sambil membuang napas. Seorang satpam melintas tidak jauh dari mereka.

“Saya bisa melaporkan perbuatan Anda pada polisi dan wajah Anda akan menghiasi semua koran yang terbit di kota ini. Anda memang berada di waktu yang tepat, saat kasus pelecehan seksual sedang jadi sorotan masyarakat....” Suara Lika pelan dan tajam.

Sekelompok anak sekolah bergerombol memasuki ruang pameran. Lika berbaur dengan mereka, meninggalkan Firman Shabri yang masih kehilangan kata-kata untuk bicara.

Latihan sudah dari tadi selesai. Lika duduk sendirian, sambil menikmati pemandangan Bandung menjelang malam. Lampu-lampu mengerlip nyala, rumah dan gedung-gedung samar bentuk. Hanya berupa siluet yang saling menumpuk, kota ini sudah makin sesak, Lika menghela napas. Ia merenungi beberapa kejadian yang dialaminya. Keberadaan kaum wanita di zaman serba canggih seperti ini, belum juga menjadi lebih baik.

Sulaeman duduk di sebelah Lika.

“Belum pulang? Tumben, biasanya pulang cepat, apalagi kalau dikejar deadline, itu kaki seperti punya roda.”

“Ah, sedang ingin santai, pekerjaan saya sudah beres.”

“Santai atau santai? Wajahmu tegang begitu.”

Lika tersipu. Sulaeman sibuk mencari korek api di saku kemeja dan celananya. Tidak ada. Lika tersenyum lega, untuk beberapa saat ia akan terbebas dari asap rokok.

“Senang, ya, saya tak bisa merokok? Punya sesuatu yang menarik untuk diceritakan?”

Pancingan Sulaeman mengena. Lika membuka mulutnya.
“Apa yang dilakukan Pitaloka di akhir adegan memang mewakili ketidakberdayaan kaum wanita untuk mempertahankan eksistensinya....”

“Dikatakan tidak berdaya bisa saja, mungkin yang lebih tepat itu sebuah perlawanan secara parsial, tapi bicara global. Meski semua itu harus dia bayar dengan nyawanya sendiri, itu menjadi simbol abadi perlawanan kaum wanita terhadap dominasi kaum Adam dan otoritas politik yang tidak mengenal kesetaraan gender.”

“Saat melihat kenyataan bahwa dengan mudahnya pria merendahkan kaum wanita, memperlakukan kami layaknya sebuah benda pencipta kesenangan, saya merasa sia-sia, karena saya sama tidak berdayanya dengan mereka. Saya ingin seperti Kartini, Pitaloka, atau siapa pun yang berpikir bahwa wanita bukan sekadar benda bernyawa yang bisa diperlakukan sesukanya.”

“Kalau tidak salah dengar, saya menangkap kegetiran yang sangat. Seakan-akan kamu menjadi bagian dari ketidakberdayaan itu.”

“Lebih tepat lagi, jadi korban!”

Sulaeman tercekat dan berkata dengan nada khawatir. “Tapi, kamu tidak apa-apa, ’kan...?”

Lika menggeleng pelan. “Orang itu mencolek pinggang saya, lalu saya tampar dia dengan keras!”

“Hmm... syukurlah kalau begitu.”

Lika menceritakan apa yang ia lakukan terhadap pria yang mengganggu gadis resepsionis di kantornya. Sulaeman terbahak. Malam makin pekat. Suara serangga malam makin kerap.


Penulis: Kathrin




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?