“Indrajit tak datang hari ini, ayahnya sakit”
“Masuk rumah sakit?”
“Kakinya keseleo. Agak parah, sih, Indrajit mengantarnya untuk diurut.”
Mata mereka tak pernah lepas dari adegan perang yang sedang berlangsung.
“Panas banget, ya, hari ini....”
“Kayaknya mau hujan kalau panas begini.” Sulaeman meneguk botol air mineral.
“Saya punya referensi baru, nih, Pak. Atasan saya meminjamkan buku ini.” Lika mengeluarkan kedua buku itu dari tasnya. Sulaeman melambaikan tangan ke arah panggung, memberi isyarat agar latihan break dulu.
“Kelihatannya dia pro gerakan feminis, ya?”
“Mungkin juga, hal itu sempat melintas dalam benak saya. Dia pria tapi menjadi pemimpin redaksi majalah wanita. Sebuah kontradiksi yang unik.”
“Sekarang banyak pria yang berpikir feminis, mengapa tidak?”
“Ada aliran feminis yang masih percaya pada lembaga perkawinan dan berusaha berbagi peran gender secara adil. Seorang feminis bernama Aquarini bilang, menjadi feminis adalah suatu proses panjang yang muncul dari berbagai rasa sakit dan kepahitan, serta ketimpangan yang berlangsung di dalam tatanan masyarakat baik di ranah publik maupun domestik,” ujar Sulaeman, lalu mengembuskan nafas panjang. “Sekelompok pria berusaha memahami dan berempati terhadap pemikiran-pemikiran ini.”
“Kalau begitu, Bapak termasuk penganut feminisme?”
Sulaeman tersenyum, sambil mengembuskan asap rokoknya.
“Bisa jadi. Kaum pria kan bisa saja jadi feminis!”
Giliran Lika yang tersenyum, sesimpul. Gerimis datang, makin kerap. Para penabuh gamelan bergegas mengangkut peralatan musik ke ruang tertutup. Begitu juga para pemain teater yang sedang break.
Dari balik jendela tampak hujan gerimis yang kian lebat mengikis malam. Lika duduk di depan televisi dengan semangkuk penuh... lagi-lagi... popcorn.
“Situasi ekonomi, beban hidup yang tinggi, wanita sebagai komoditas. Keadaan ini terbawa ke rumah. Ini mendorong terjadinya kekerasan terhadap wanita di rumah,” kata presenter talk show di televisi.
Lika meraih segelas air putih. Tenggorokannya yang kering menjadi lebih nyaman dan dingin. Peristiwa sebulan yang lalu melintas dalam benaknya.
Pagi itu di ruang bagian keuangan, tampak wajah-wajah sumringah dengan senyum ceria. Sisanya wajah setengah lega berbaur lesu karena harus rela menyisihkan sekian persen gajinya untuk membayar utang. Jangan-jangan ada yang gajinya minus? Di sela-sela kesibukan itu, Lika sempat menangkap adegan tak enak dipandang.
Tak jauh dari pintu, di sebuah sudut yang tak begitu terjangkau pandang, seorang pria kurus berkacamata tebal melakukan gerakan-gerakan erotis. Di depannya, gadis petugas resepsionis berdiri terpana. Pria itu melengkungkan kedua tangannya, seolah-olah sedang memeluk seseorang sambil menyorongkan mulutnya yang mengecup-ngecup. Dia pura-pura mencium gadis itu. Gadis itu diam saja. Hanya menepis tangan si pria dan tersenyum hambar.
Lika menghampiri mereka, lalu berkacak pinggang, mengernyitkan dahi, menatap pria itu tajam.
“Kamu bisa bersikap lebih sopan?” ujarnya, geram. ”Ini kantor! Nggak enak dilihat banyak orang. Kamu bisa menghargai wanita, ’kan?”
“Iya... ya... Mbak, maaf saya hanya bergurau....” Pria itu gelagapan.
“Bercanda, ya, bercanda, tapi yang sopan, dong. Apalagi, di depan umum,” Lika berpaling ke arah gadis itu.
“Dik, jangan mau diperlakukan seperti tadi. Ini pelecehan seksual. Disiuli saja sudah termasuk pelecehan. Kenapa Adik diam saja? Kalau dia berani berlaku tidak senonoh lagi, tampar saja.”
Semua pandangan tertuju pada Lika. Adegan satu scene itu membias, terlindas adegan rutin yang biasa terjadi saat para pekerja gajian, mengais rezeki dari perasan keringat dan pikiran selama sebulan penuh. Mereka lakukan semua itu demi keluarga atau sekadar menghidupi diri sendiri. Bila semuanya direnggut, adalah tekanan ekonomi yang bisa memperburuk situasi atau yang tak kita inginkan.
Sore itu Indrajit, Lika, dan para pemain lain duduk lesehan melingkar. Dua remaja datang membawa nampan yang penuh dengan makanan dan minuman.
“Oke, kita break dulu sebelum masuk ke sesi berikut.”
Sulaeman mengamati Lika yang sedang sibuk sendirian. Gadis itu sedang berusaha menusukkan sedotan pada tutup gelas plastik air mineral.
“Sini saya bantu.”
“Makasih. Katanya, wanita harus mandiri?” goda Lika.
“Begitu, ya? Bukan perkara kayak gini, dong? Mandiri itu bisa eksis menjadi diri sendiri, tidak tergantung pada pria. Bisa menunjukkan bahwa dirinya punya kekuatan untuk menata hidupnya sendiri.”
“Ini kan salah satunya. Sedotan ini harus bisa menembus tutup gelas plastik ini. Saya akan berusaha dan harus berhasil melakukannya.”
Sulaeman tertawa, mengambil gelas lain dan langsung menusuknya.
“Sudahlah, minum yang ini. Dari tadi berkutat terus dengan sedotan itu. Kamu haus banget, ’kan? Wanita harus belajar dari pria tentang bagaimana teknik menusukkan sedotan!”
Lika menolak, lalu mencari sedotan lain yang lebih tajam. Mencoba menusuk dan berhasil.
“Saya bukan wanita independen kalau untuk minum saja harus ada pertolongan kaum pria. Pria juga harus belajar menerima kemandirian wanita.”
“Belajar menerima, saling mengisi. Begitu kan maksudmu?”
Lika hanya tersenyum dan menatap Sulaeman.
“Pitaloka itu cantik dan mungkin senyumannya semanis senyummu. Dia cerdas dan punya sikap yang jelas sebagai wanita. Apalagi, di zamannya, wanita cenderung diperlakukan tak lebih dari pemuas hasrat kaum pria. Cuma jadi pelengkap, jadi penyem¬purna pandangan sempit para penganut paham patriar¬ki, yang merasa bahwa pria adalah makhluk yang paling kuat. Dominasi yang menyesatkan banyak orang untuk berpikir bah¬wa para pria berhak menguasai wanita dan nasibnya berada dalam genggam¬an mereka.”
“Saya pikir, di zamannya Pitaloka, wanita masih mendapat keleluasaan untuk menunjukkan kemampuan dirinya. Bahkan sebelumnya, ibunda Hayam Wuruk, Tribuana Tunggadewi, jadi pemimpin negara. Mereka meretas dominasi kaum pria untuk menjadi raja. Artinya, emansipasi sudah ada jauh sebelum Kartini hadir di bumi ini.”
“Seorang raja bisa punya selir lebih dari 50 orang. Ini jelas-jelas sudah membuktikan bahwa mereka dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan seksual sang raja. Mereka tugasnya cuma melayani raja, bersolek, beranak. Tak ada pekerjaan lain yang bisa mengaktualisasi mereka.”
“Oke, kalau kita pandang dari sudut itu. Di sisi lain, poligami sang raja melindungi wanita juga….”
“Jadi kamu setuju poligami?” tukas Sulaeman.
“Nggak juga, saya lebih suka poliandri!”
Sulaeman terbahak. Angin bertiup agak kencang. Lika merapatkan jaketnya.
“Coba saja kalau raja itu sembarangan berhubungan dengan wanita. Kasihan, ’kan? Mereka benar-benar hanya pemuas nafsu, tanpa kejelasan status jadi istri atau selir. Anak hasil perbuatan haram itu akan ada di mana-mana. Bagaimana kalau mereka sudah dewasa berebut takhta. Pasti makin ribet, ’kan? Tapi, kalau terkoordinasi begitu, raja tidak sembarangan pilih wanita dan secara politik lebih aman. Lagi pula, keturunan raja jadi jelas, dari selir yang mana. Dan, masalah pewarisan takhta, sudah ada aturannya sendiri.”
“Memangnya kamu mau jadi selir raja atau istri kedua?”
“Jelas tidak, dong. Saya berusaha objektif. Dalam konteks seperti itu mungkin poligami masih bisa diterima. Musuh nomor satu kaum wanita mungkin poligami, ya? Atau, segala macam yang berhubungan dengan soal kesetiaan kaum pria. Kartini saja tidak berdaya saat suaminya menikah lagi.”
“Ketidakseimbangan peran antara pria dan wanita akan menjadi PR yang tak pernah selesai. Ketimpangan itu selalu saja terjadi. Sementara emansipasi dide¬ngungkan dan kaum feminis bangkit, ada bagian lain di dunia ini yang tetap patuh pada paradigma yang menganggap kaum wanita warga kelas dua.”
Penulis: Kathrin