Fiction
Pertemuan Evaluasi [1]

11 Jan 2013



Aku tetap jomblo, but I’m very happy.
Aku percaya, His time is perfect.

Pertemuan semacam ini seharusnya menyenangkan bagi mereka bertiga. Seperti pertemuan yang biasa mereka lakukan setiap sebulan sekali. Pertemuan yang selalu diadakan di pusat kuliner atau belanja yang menarik. Selalu diwarnai canda dan kegembiraan melepas rindu setelah ketiganya berpisah seusai lulus kuliah.
Suasana bakery café yang hangat dan santai, sofa-sofa empuk tempat bersandar, harum aroma kue yang menyergap hidung, seharusnya membuat mereka nyaman. Tapi rasa tegang terasa kuat. Agenda pertemuan kali ini lain dari biasanya.

Pertemuan ini adalah sebuah pertemuan evaluasi atas apa yang pernah mereka tulis setahun yang lalu.
“Oke, ini catatan resolusi kita di tahun lalu,” Karin mengeluarkan tiga lembar kertas dari sebuah amplop cokelat dan membagikannya kepada dua sahabatnya. Kedua sahabatnya terkesan mendapati catatan mereka yang masih begitu rapi seperti saat mereka buat setahun lalu. Tidak pernah salah memercayakan sebuah dokumen pada Karin. Profesinya sebagai asisten pengacara terkenal membuatnya begitu cermat menata semua jenis dokumen.

“Uh, aku tak sanggup membacanya. Konyol sekali….” Lena buru-buru meletakkan kertas yang baru dipegangnya itu di samping piring kecil berisi potongan strawberry cheese cake. Ia memilih sibuk mengaduk-aduk milkshake-nya.

“Ayolah…, kita harus menghadapinya bersama. Menghadapi segala kekonyolan dan kegagalan kita,” Bertha memilih tetap menekuni kertas di hadapannya. Padahal, selama setahun ini dia hafal betul isi catatan yang ditulisnya tepat setahun yang lalu itu.

“Ya, jujur saja, kita semua pasti sudah sangat hafal isinya. Bahkan, kita pasti mengingat isi catatan satu sama lain,” Karin berusaha realistis. Dia pun turut meletakkan kertas yang dipegangnya. Sekarang dia sibuk menyendokkan tiramisu melewati bibirnya yang dilapisi lipstik keluaran terbaru sebuah pabrik kosmetik Prancis.

“Baik, langsung saja pada evaluasi. Apa yang salah dalam catatan ini? Mengapa kita tidak bisa mencapai target yang telah kita tulis?” Bertha, seperti biasa, mulai memimpin pertemuan ini. Tidak pernah ada yang mengangkatnya menjadi pemimpin, tapi semua setuju kebijakan kata-katanya memang pantas membuat yang lain mengekor. Itu pasti karena banyaknya buku yang dibacanya. Mungkin juga seperti itulah seorang penulis. Selalu tampak bijak.

“Tidak ada yang salah. Hanya… konyol! Uh, ke mana perginya semua pria di dunia ini? Kenapa kita masih jomblo?” Lena memasukkan potongan-potongan cheese cake-nya dengan agak kasar ke dalam mulut.

“Menurutku, tidak ada yang salah dengan kita. Kita wanita setia, cerdas, sukses….” Karin memandang sahabat-sahabatnya bergantian. Lena yang sukses dengan usaha desain interior yang dirintisnya sejak lulus kuliah. Bertha yang sudah merilis novel-novel best seller, dan sekarang menjadi editor di sebuah penerbit.

“Mungkin kita terlalu sukses. Mungkin kita membuat pria takut pada kita,” Bertha menyeruput teh hijaunya. Menikmati sensasi pahit yang mengikat lidahnya.
“Lalu, haruskah kita berpura-pura menjadi wanita bodoh untuk memikat pria? Kenapa pria lebih suka wanita cantik yang bodoh? Supaya lebih mudah dipermainkan?” Lena tampak emosi.

“Jangan terlalu sinis dan menggeneralisasikan sesuatu,” Bertha mencoba meredam gejolak emosi Lena.

“Biarkan saja. Dia masih sakit hati ditinggal  Ronald yang pergi bersama model cantik itu,” Karin menyeringai menggoda Lena.

“Aku tidak sakit hati. Aku bersyukur!” Lena membalas godaan Karin dengan senyum penuh percaya diri.

“Yah…paling tidak kalian sempat punya pacar setahun ini. Karin bahkan hampir bertunangan. Hanya aku yang awet menjomblo. Parahnya, tidak satu pun bukuku yang terbit tahun ini. Kacau….”  Bertha pun kini menjatuhkan kertasnya di samping piring kecil berisi muffin dengan warna cokelat yang menggoda.

“Ah, sudahlah….” Karin melambaikan tangannya. Seakan ingin menghalau kenangan masa lalunya. Menghalau bayangan Yudha yang kini mungkin telah berstatus tunangannya bila saja dia tidak memutuskan mundur sebelum Yudha datang ke rumahnya untuk melamar.
“Mungkin standar kita yang terlalu tinggi tahun lalu. Coba kita turunkan sedikit target kita,” Bertha mencoba menawarkan solusi. Karin dan Lena hanya menatap catatan mereka dari kejauhan.

Bertha bingung dengan kebisuan dua sahabatnya. Apakah mereka tengah meratapi kegagalan kisah cinta mereka, atau justru tidak mengerti maksud perkataannya.
“Maksudku, misalnya Karin. Tak perlu menargetkan pria yang dapat menjadi suamimu harus sudah mempunyai rumah. Atau kamu, Lena, tak perlu menargetkan calon suamimu harus lulusan S-2,” Bertha berbicara sepelan mungkin.

Bertha waspada supaya usulnya tidak menyinggung kedua sahabatnya.
Karin dan Lena masih terdiam. Bertha  makin bingung.
“Lalu, bagaimana denganmu, apa kamu juga menurunkan standarmu?” Karin memecah kesunyian itu dengan mengajukan pertanyaan pada Bertha.

Sekarang Bertha yang terdiam. Dia menatap kertasnya dalam kesunyian. Kesunyian yang tak berlangsung lama karena tiba-tiba Bertha menyambar kertas tersebut dan merobek-robeknya. Karin dan Lena terperanjat.

“You know what? Aku tak peduli lagi dengan target pria calon suamiku. Aku tak akan menulis apa pun. Aku tak akan membuat target apa pun. Aku tak mau menatap setiap pria yang mendekatiku dan memindai mereka dengan berbagai macam target ini.”
Tak ada kemarahan dalam suara Bertha. Senyum di wajahnya menunjukkan bahwa dia puas dengan apa yang dilakukannnya.

Lena yang pertama kali tersadar dari keterkejutannya. Dia pun segera meraih kertas di hadapannya dan merobek-robeknya. Sama dengan Bertha, dia pun tersenyum puas.
“Peduli apa dengan segala target ini. Kalau sudah waktunya, pasti Tuhan akan mempertemukan,” dengan gaya dramatis, Lena terus merobek kertasnya menjadi serpihan lebih kecil.

Hanya Karin yang masih beku menatap lembaran kertas di hadapannya.
“Karin, kamu tak perlu melakukan apa yang kami lakukan. Lakukan sesuai hatimu sendiri,” Bertha memegang tangan Karin.
Karin masih terpaku pada kertasnya. Karin bukan sedang mempertimbangkan apakah dia harus merobek kertas itu atau tidak. Pikiran Karin terseret pada keputusan yang pernah dia buat tentang Yudha.

Dia mundur sebelum dilamar Yudha karena apa yang telah dituliskannya di atas kertas itu. Yudha pria baik dan bertanggung jawab. Ia memang masih merintis bisnis agen perjalanannya, tapi dia tipe pekerja keras.

Hanya saja, pria itu belum mempunyai rumah sendiri. Salah satu syarat yang dituliskan Karin dalam kertas itu. Tidak ada rumah dan ketakutan akan masa depan keluarganya adalah alasan utama Karin memutuskan mundur.

Cinta? Jangan tanyakan lagi, rasa itu masih melekat kuat di hati Karin. Air mata kerinduan masih sering menitik di pipinya sejak dia mengasingkan diri dari Yudha.

“Kita memang telah melakukan hal konyol…. Kita akhiri saja pembicaraan tentang daftar calon suami impian ini. Kita pesan satu kue lagi, dan mari ngobrol tentang hal-hal yang menyenangkan,” akhirnya Karin membuat pernyataan sikap. Karin tidak merobek-robek kertasnya. Hanya meremasnya pelan dan melemparkannya begitu saja di meja.
“Setuju. Satu porsi kue lagi. Peduli amat dengan kalori…. Let’s have fun with these cakes,” Lena tampak bersemangat. Dia segera memanggil pelayan kafe.

Lena memesan sepotong cake red velvet, Karin menambah lagi porsi tiramisu, dan Bertha memilih satu cup puding cokelat vanilla untuk mendinginkan suasana hatinya.
Sekarang mereka bertiga terlihat antusias merencanakan sebuah proyek baru, yaitu mengubah potongan dan warna rambut mereka.

***
Karin memasukkan semua file yang telah disusunnya sejak pagi tadi ke dalam sebuah map. Dia puas. Semua telah siap saat nanti bosnya pulang makan siang dengan klien, walau dia harus merelakan diri terkurung di ruang kantornya selama jam makan siang.
Karin memejamkan mata sejenak. Berusaha mengistirahatkan sebentar mata dan pikirannya. Minggu-minggu terakhir ini begitu sibuk. Beberapa klien dengan kasus berat harus ditangani bosnya. Belum lagi kesibukan dan ketegangan dalam kehidupan pribadinya sendiri.

Karin merindukan saat-saat santai. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Setelah membuka agendanya, ia tersenyum samar dan meraih ponselnya.
“Ya, Karin…,” sebuah suara lemah menyambutnya di seberang.
“Lena, kamu sakit?”
“Yah… biasalah…habis muntah.”
“Oh, kamu baik-baik saja?”
“I’m fine…. Entah mengapa, orang menyebutnya morning sickness. Bagiku, ini all day sickness.”
“Tapi kamu masih kuat, ‘kan?”
“Ya, aku harus memaksakan diriku kuat. Aku sedang ada proyek mendesain kafe. Pelanggannya agak rewel, tapi termasuk royal juga.”
“Jadi, apa masih ada waktu untuk pertemuan evaluasi di bakery café, besok?”
“Pertemuan?”
“Ya, tentang daftar calon suami impian kita. Dulu kan memang kita tidak membuat resolusi atau target apa pun. Tapi, kita sepakat bertemu setahun lagi untuk melihat perkembangannya.”
“Ah, kamu cermat sekali! Layak jadi asisten pengacara top. Aku yakin beberapa tahun lagi kamu bisa jadi pengacara top sendiri.”
“He…he…he…. Sudahlah. Apa kita jadi bertemu? Tapi, kalau badanmu masih terasa lemah, kita bisa tunda kapan saja….”
“Aku, sih, tentunya senang bertemu kalian. Tapi badanku memang masih terasa lemah. Aku mengerjakan desain di tempat tidurku. Aku juga tidak yakin tahan mencium aroma roti di bakery café itu. Jadi, kalau mau bertemu jangan di bakery café, ya, di rumahku saja. Kita bikin pesta rujak, oke?”
Karin terkikik. Lena pun terbahak.
“Oke, nanti coba aku hubungi Bertha.”
“Nah,  dia itulah most wanted person-nya. Sibuknya minta ampun. Nggak tahu ada di kolong langit mana dia sekarang.”
“Iya, aku juga susah kontak dia. Kucoba, deh….”
“Oke, wish you luck!”
“Oke…. Salam buat si kecil, ya… juga buat Pandu.”
“He… he… he…. Sering-sering telepon, ya, Rin. Mualku langsung hilang kalau sudah ngobrol sama kamu.”
Karin terbahak.
“Halah…. Bye….”
“Bye.”

Memikirkan Lena menjadi terpikir betapa cepatnya waktu berlalu. Baru setahun lalu Lena duduk bersamanya. Merobek-robek daftar kriteria calon suaminya. Sebulan kemudian Lena bertemu Pandu.
Pandu bukan tipenya, sama sekali jauh dari kriteria. Seorang pria yang bahkan sarjana saja tidak lulus. Tapi, Pandu seorang yang ulet. Bisnis kuliner waralaba yang dibangunnya dari nol telah berkembang pesat.
Walaupun dia tidak fasih berbahasa Inggris,  dia memahami bahasa cinta untuk Lena. Sembilan bulan kemudian mereka menikah, dan kini Lena tengah hamil dua bulan.
Karin masih tersenyum memikirkan Lena saat dia menekan nomor ponsel Bertha. Karin bertanya-tanya apakah kali ini dia cukup beruntung dan tidak menjumpai layanan pesan suara lagi.
Bertha membenci ponsel bila gairah menulisnya sedang meletup-letup. Dia memilih membisukan ponselnya atau seenaknya pergi ke suatu tempat sunyi dan meninggalkan ponselnya di tempat tidur.
“Halo, Karin sayang….”
Karin tersenyum lega. Dia beruntung kali ini.
“Halo, Bertha, kamu sedang di mana sekarang?”
“Sedang di Ubud.”
“Ha? Ke Bali, kok, nggak bilang-bilang?”
“Ha… ha… ha…, maaf, ya…. Aku baru landing siang ini. Berangkatnya juga terburu-buru tadi pagi. Impulsif saja, tiba-tiba ingin ke Bali. Sekalian ketemu seorang produser yang mau memfilmkan novelku. Kebetulan dia sedang menggarap film di Ubud.”
“Sebentar…sebentar…. Sepertinya aku ketinggalan sesuatu yang penting. Novelmu akan difilmkan?”
“He… he…he….iya. Duh, sebenarnya ingin kubuat kejutan untuk kamu dan Lena, tapi sudah keceplosan….”
“That’s great, Bertha! Aku tahu novel terakhirmu pasti jadi best seller dan dilirik produser!”
“Ha… ha… ha…. Oke, aku tahu, kamu menelepon untuk mengajak ketemuan di bakery café, ‘kan? Pertemuan evaluasi?”
“Hah, bagaimana kamu tahu?”
“Lena baru saja SMS.”
Karin dan Bertha terbahak bersamaan.
“Nggak apa-apa kalau kamu tidak bisa….”
“Begini saja. Kamu yang catatin evaluasi diriku, ya.”
“Ha… ha… ha…. Oke. apa evaluasimu?”
“Aku tetap jomblo, but I’m very happy. Aku fokus pada hidupku dan puas novelku sukses tahun ini. Tentang calon suami, well…  aku tetap menunggu Tuhan memberikannya padaku. Aku percaya, His time is perfect.”
“Sip!” Karin tersenyum lebar. Senyum kekaguman pada sahabatnya.

Karin melihat sosok seorang pria melintas masuk ke ruangan itu.
“Ssst… Bertha, bosku datang. Sudah dulu, ya….”
“Tunggu oleh-oleh dariku, ya…. Setelah pulang kita adakan pesta  rujakan  di rumah Lena. Bye….”
“Oke. Bye….”
Karin memegang file yang telah disiapkannya sejak tadi pagi untuk segera diserahkan bosnya. Tapi, sebelumnya Karin dengan cepat mengetik sebuah SMS di ponselnya.
“Hun, nanti sore jadi fitting baju pengantin. Meeting di bakery café batal. Love you.”
Karin menekan nomor Yudha dan mengirimkan pesan tersebut.


***

                                                  Yunita Sri Handayani






 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?