Fiction
Pertemuan [1]

21 Sep 2014


Ini perjalanan. Langit masih biru. Hujan malu-malu turun di depan pojok sana. Trotoar yang menjadi tempatnya memijak masih basah, warnanya jadi menua. Beberapa kendaraan lewat tergesa-gesa, terkadang menggodanya dengan cipratan nakal. Untung tak sampai mengotori blusnya yang kali ini berwarna putih bersih.

Sesekali digerak-gerakkan kakinya dengan gelisah. Dihelanya napas panjang. Ujung sepatunya mungkin sedang menjadi objek yang menarik baginya, berulang-ulang dipandanginya. Dia memandang jam tangannya dengan kening berkerut, seolah-olah dia tengah memikirkan jawaban dari soal matematika yang paling rumit.

Penjual kacang rebus sibuk melayani pembelinya. Gerimis sedikit banyak terkadang memberikan keuntungan baginya. Asap yang menguar dari hamparan kacang rebusnya, terkadang menarik para pengendara dan pejalan kaki untuk mampir dan membeli dagangannya barang lima ribu atau sepuluh ribu. Paling tidak, saat hujan tumpah begini, dagangannya lebih terlihat menarik daripada es krim berbagai warna yang dijual di toko-toko.

Pembelinya datang silih berganti. Pergi setelah mendapat sekantong kacang rebus hangat lengkap dengan asapnya yang juga bisa dibawa pulang. Perempuan di ujung sana masih saja berdiri di tempat yang sama. Sesekali dengan ekor matanya, dia menangkap bayangan  taksi yang silih berganti berhenti di depan perempuan itu. Dua jam berlalu, perempuan itu tak juga beranjak.

Hamparan kacang telah banyak menyusut. Gerimis hampir berhenti. Jalanan  makin sepi. Diliriknya perempuan di ujung sana, masih tetap berdiri di sana. Tak ada waktu baginya untuk berlama-lama memikirkan perempuan itu. Anak istrinya di rumah telah menanti kepulangannya.

***

“Iya Nak, kamu tidur sekarang, jangan nakal!” terdengar suara laki-laki dewasa menenangkan anaknya.
Seorang anak perempuan dengan wajah bulat berumur tiga tahun memasang wajah cemberut. Dia menarik-narik ujung baju tidurnya yang berwarna merah muda.
“Ayah sudah berusaha menelepon mama kamu, tapi tidak bisa. Sekarang kamu tidur, besok pagi Ayah telepon mama kamu lagi. Ayah harus kembali ke kantor!” katanya tegas.

Ditutupnya kamar anak perempuan itu. Tampaknya kali ini dia telah benar-benar tidak peduli anaknya mau tidur atau tidak. Kesibukannya yang luar biasa  mungkin telah sedikit mengurangi naluri kebapakannya. Hanya satu yang ada dalam pikirannya, ia harus segera memacu kendaraannya  menuju kantor. Sekretarisnya yang cantik telah menunggunya untuk suatu urusan.

***

Skripsinya kini benar-benar telah terbengkalai. Tak ada semangatnya untuk menemui dosen pembimbingnya, bahkan untuk sekadar ke kampus pun tak sekali pun terlintas dalam pikirannya. Kepulan asap rokok menjadi biasa di kamarnya akhir-akhir ini. Berita pernikahan kekasihnya dengan orang lain menjadi pangkal yang mengguncang dunianya.
Pertemuan siang tadi sungguh tak biasa. Di parkiran sebuah gedung yang menjadi pusat perbelanjaan di kotanya, ia bertemu dengan kekasihnya, lebih tepatnya mantan kekasih. Tahi lalat di sudut bibir mantan kekasihnya membuatnya tak perlu merasa asing dengan sosok yang pernah mengisi hidupnya.

Tak banyak yang dia katakan, hanya pesannya, bila mantan kekasihnya masih mencintainya, temui dia di pantai tempat dahulu mereka biasa bertemu untuk minum es kelapa muda. Mantan kekasihnya tak mengiyakan dan juga tak menolak, ekspresi wajahnya terlalu datar untuk bisa diartikan.

Sekarang ia telah berada di pantai itu. Duduk sendiri di deretan bangku tempat dahulu mereka menikmati kesegaran es kelapa muda. Ombak yang melambai-lambai di depannya, tidak membuatnya untuk sekadar datang dan menyapa ombak yang menggoda itu. Bangku yang diduduki telah menularkan rasa dingin ke tubuhnya.
   
Kali ini di depannya tak ada es kelapa muda, seperti beberapa tahun yang lalu. Hanya meja tak bertaplak yang kosong. Sepi tanpa satu pun penghuni di atasnya, entah itu hanya asbak rokok atau sekotak tusuk gigi.
   
Pantai makin gelap, lampu-lampu merkuri yang menyala seolah hanya sebagai hiasan, tak berdaya menyingkirkan pekat yang telah menjadi. Mungkin sama seperti hatinya sekarang. kesenangan semu yang tak sepenuhnya ia butuhkan.

***
   
Hujan telah benar-benar reda. Penjual kacang rebus di ujung sana telah lama pergi. Terbayang wajah anaknya, telepon genggamnya memang sejak tadi sore sengaja ia matikan. Ada saatnya dia ingin benar-benar memikirkan kehidupannya sendiri. Memperjuangkan kebahagiaannya, yang dia rasa telah lama direnggut dari hidupnya. Sejak dia dipaksa menikah dengan laki-laki yang baru dikenalnya.
   
Sebuah taksi berhenti di hadapannya, kali ini dia tak membuang kesempatan lagi. Dia menganggukkan kepala. Sudah saatnya dia melakukan apa yang ingin dia lakukan. Bertemu dengan laki-laki yang dicintai, di tempat dahulu mereka sering menghabiskan waktu berdua. Sepertinya menjadi sebuah pilihan yang melegakan.
   
Taksi melaju pelan, jalan-jalan yang dulu terasa familiar kini terasa mulai berbeda. Ada banyak sudut di kota ini yang menyimpan kenangan baginya. Sudut-sudut khusus yang dahulu menjadi saksi bisu perjalanan cintanya. Cinta yang dicabut dengan paksa, dan kini akarnya masih tertinggal jauh di kedalaman hatinya.
   
Mendekati pantai, jantungnya masih berdegup kencang. Ada getar yang tak biasa di dalam hatinya. Sama seperti ketika dulu dia pertama kali mengenal laki-laki itu, padahal sekarang usianya hampir kepala tiga. Dikuatkan kakinya untuk turun dari taksi.
    “Maafkan aku.”
    “Tak ada yang perlu dimaafkan sebenarnya. Toh, semuanya sudah telanjur terjadi. Kamu bukan seperti yang aku kenal beberapa tahun yang lalu. Gadis manis yang sanggup membuatku seketika jatuh cinta,” kata laki-laki di depannya dengan seulas senyum di akhir ucapannya.
    “Miranti, andai kau tahu cinta ini masih untukmu. Masih kusimpan utuh hanya untukmu. Sekian tahun aku menjaga kesucian cinta ini hanya untukmu," sambungnya.
    Miranti rupanya nama perempuan itu. Wanita cantik itu hanya menatap lurus ke depan. Seolah sedang berusaha menyelami deburan ombak yang sedang bergolak di hadapannya. Mencoba menerka apa yang disembunyikan oleh deburan ombak yang seperti tak lelah bergerak itu.

“Miranti!” kata laki-laki yang dulu pernah menjadi kekasihnya, memecah kesunyian.
Laki-laki berkulit putih itu menghela napas panjang. Jawaban Miranti bukan seperti yang ia harapkan. Sungguh, dari dulu ia ingin mengetahui apakah Miranti masih mencintainya atau rasa cinta yang dulu pernah mereka rasakan itu memang telah hilang bersama pesta perkawinan yang begitu meriah, batinnya perih. Paling tidak, kedatangan Miranti ke tempat itu telah menjadi suatu jawaban yang tak perlu diucapkan.

Miranti mencoba memberi penjelasan kepadanya tentang pernikahannya yang mendadak, di luar kehendaknya. Dia tak bisa menolak pria pilihan ibunya, karena itu adalah permintaan yang diajukan saat ibundanya sakit keras. Ketika itu, Miranti merasa tak berdaya di hadapan ibunya.
Dia tak menanggapi perkataan Miranti. Membiarkan Miranti pergi, meninggalkan tangisnya yang seolah masih bergema pilu.

*

Pernikahan Miranti dulu bukan pernikahan yang dapat disebut biasa. Pernikahan yang terjadi ketika mereka berdua sebenarnya masih menjalin hubungan percintaan. Ketika mereka berdua menjelma bak Romeo dan Juliet. Sangat indah memang, nyaris tanpa pertengkaran yang berarti. Rencana masa depan pun telah mereka rencanakan saat itu.
Hari-hari yang terasa begitu indah, apalagi dulu mereka satu kelas ketika kuliah. Kemungkinan untuk bertemu  tiap hari menjadi sangat besar. Bisa dibilang mereka merupakan pasangan paling harmonis di kelas. Bertemu hampir  tiap hari  tak juga menjadikan mereka bosan satu sama lain, yang terlihat adalah rasa cinta yang makin menjadi.

Hari-hari indah mereka lewati berdua penuh canda dan tawa. Hari-hari manis yang menjadikan rasa cinta mereka kian kuat. Rian dan Miranti menjadi pasangan yang tak terpisahkan. Kebahagiaan adalah isi dari hari-hari mereka berdua kala itu.
Namun, Rian memang belum siap untuk bertemu dengan keluarga Miranti. Ia selalu berusaha menghindar ketika Miranti mulai membicarakan tentang rencana Rian untuk bertemu kedua orang tua Miranti. Dalam banyak hal, Rian merasa belum siap menghadapi kemungkinan itu. Baginya, ada fase pembuktian diri dulu yang harus ia capai.

Semuanya telah terasa begitu sempurna. Miranti yang cantik dan begitu pengertian, membuat Rian merasa tenang dan tak diburu-buru. Ia sendiri berusaha sedapat mungkin bisa cepat menyelesaikan skripsinya. Berpacu dengan waktu agar segera lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan. Setelah itu barulah ia siap menemui kedua orang tua Miranti, sekaligus untuk melamarnya.

Namun, suatu kali, Rian begitu kelimpungan ketika Miranti sama sekali tak bisa dihubungi.
Dia tak bisa menjumpai Miranti di rumah kosnya. Teman-teman dekat Miranti tak ada yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Miranti.
Akhirnya Rian memutuskan untuk menerima bahwa Miranti memang berada di kota kampung halamannya. Mencoba untuk mengerti tentang kepergian Miranti yang tak biasanya. Apalagi Miranti memang tak pernah sedikit pun bercerita tentang rencana kepulangannya.

Di tengah kegundahan hatinya, Rian tetap berjuang menyelesaikan skripsinya. Berjuang untuk menemui dosen pembimbingnya, walaupun harus menunggu di kampus seharian. Semua itu ia lakukan, semata-mata agar ia bisa segera lulus, bekerja, dan menikahi gadis pujaannya.
Hingga suatu hari, kenyataan yang sebenarnya pun mulai terungkap. Sebuah undangan berwarna biru muda yang menguarkan bau harum, diantarkan seorang teman Miranti ke tempat kosnya.

Pada mulanya Rian menyangka undangan itu adalah undangan pernikahan temannya, namun kali ini Rian salah duga. Itu adalah undangan pernikahan Miranti. Tentu saja bukan undangan pernikahan Miranti dengan dirinya.
Diiringi air mata yang jatuh berderai deras di pipinya, Miranti mencoba menjelaskan hal itu. Rian hanya terpana dalam keterkejutannya. Napasnya memburu ketika membuka undangan itu. Tangan Rian bergetar saat membaca isi undangan. Nama Miranti dipasangkan dengan nama seorang laki-laki. Tak ada yang terucap dari bibir Rian. Ia harus menerima kenyataan, cinta itu terlepas dari genggaman.(f)
 

**********

Lintang Dhian



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?