Fiction
Peria [1]

30 Jun 2015


Seporsi nasi putih bersanding mesra dengan dua potong tempe goreng dan sayur peria. Menu makan siang itu tersaji dalam kotak plastik bergambar Hello Kitty. Inilah hadiah spesial dari Mas Bramantyo di hari ulang tahunku. Suamiku terkadang memang ajaib.  
Peria sering disebut pare, sayur ini akan mengingatkan masa lalu kita yang pahit dan penuh cobaan. Namun, berkat kebersamaan, rasa cinta, dan perjuangan, akhirnya kita bisa melewati masa-masa pahit sebagai kaum paria. Seperti asin garam yang telah meluluhkan pahit pare.

Begitulah siraman rohani dari Mas Bramantyo setelah mengecup keningku sambil menyerahkan hadiah seperangkat menu makan siang. Sepertinya filosofi itu lebih cocok untuk hari ulang tahun ketujuh pernikahan kami, dua bulan lagi. Namun, karena terkejut dengan hadiah yang cukup aneh itu, perasaanku jadi campur aduk tidak keruan.

Hatiku seperti sayur peria yang diiris tipis-tipis, ditaburi garam dan diremas-remas. Jujur saja, di hari ulang tahun ke-33 ini, aku mengharapkan hadiah yang sangat spesial dari Mas Bram. Cincin atau kalung berlian, smartphone canggih, jalan-jalan ke luar negeri, atau kejutan manis lainnya. Maksud hati mendambakan cincin berlian, apa daya mendapat sayur peria. Namun, aku berusaha tersenyum dan menyembunyikan kegundahan rasa.

Bagaimanapun juga, aku harus menghargai usaha Mas Bram untuk menyiapkan semua ini. Bagi orang yang tak suka memasak, pasti butuh perjuangan berat saat harus bergulat dengan bumbu dapur, sayur, minyak, dan penggorengan. “Dari subuh Bapak menguasai dapur,” begitu laporan dari Bi Inah.

Memang Mas Bram sosok yang ulet. Tak salah kalau dulu semasa mahasiswa aku jatuh hati kepadanya. Ajakannya menikah  usai wisuda pun aku iyakan, padahal kami belum memiliki pekerjaan tetap. Rumah tangga kami rintis dari nol. Mulai dari tinggal di rumah kontrakan sempit di pinggiran Stasiun Depok, hingga sekarang memiliki rumah di sebuah perumahan cukup elite. Segala suka duka kami lalui bersama.

Tak hanya menyiapkan bekal makan siang, Mas Bram juga menyiapkan sarapan untukku dan Intan, buah hati kami. Namun, menunya lebih simpel: mi instan goreng dan telur ceplok yang tampilannya tak meyakinkan. Pasti proses menyiapkan sayur peria terlalu banyak menyita waktu Mas Bram di dapur.

“Kok, kotak Hello Kitty punya Intan dipakai buat bekal Mama, sih?” protes Intan.
“Hari ini Intan pake kotak bekal punya Mama, ya. Jadi, di hari spesial ini  Intan bisa ingat Mama terus, sementara Mama ingat Intan terus,” kata Mas Bram sambil mencubit pipi Intan.
“Terus Papa ingat siapa?” tanya Intan. Aku terbatuk mendengar pertanyaan Intan yang polos. Buru-buru kuminum air putih sebelum tersedak.
“Ingat Intan dan Mama, dong,” kata Mas Bram, sambil memeluk pundak kami berdua.
Sekarang kotak bekal itu tergeletak di samping laptop di atas meja kerjaku. Belum ada niat untuk menyentuhnya. Perasaanku sedang diombang-ambingkan pertanyaan bagaimana Mas Bram bisa punya ide memberi hadiah sayur peria. Tak ada gelagat aneh dari Mas Bram beberapa hari ini.

Aku kira Mas Bram sedang menyiapkan rencana besar di hari ulang tahunku. Ternyata, semua biasa-biasa saja. Entah siapa yang memberi bisikan pada Mas Bram untuk memasak sayur ini. Tak adakah pilihan hadiah yang lebih berharga? Ah, entahlah. Namun, dari sisi kejutan, hadiah dari Mas Bram memang mengejutkan, bahkan membuat shock.
Sambil menyelesaikan pekerjaan kantor, sesekali kulirik bekal makan siang hadiah Mas Bram. Aku juga harus menjawab ucapan selamat ulang tahun yang bertubi-tubi merasuki akun Facebook, WhatsApp, dan Twitter. Di zaman canggih, media sosial akan memberi tahu siapa saja yang berulang tahun hari ini.

Mbak Leni teman sekantorku hanya tersenyum saat mengintip sayur peria olahan Mas Bram. “Bukannya ngajak candle light dinner atau jalan-jalan ke Paris, eh malah dimasakin sayur pare. Pahitnya, tuh, di sini,” katanya, menggodaku. Ah, harusnya aku tidak curhat ke Mbak Leni.
Menjelang waktu makan siang, teman-teman sekantor mendatangi meja kerjaku. Sudah menjadi tradisi di kantor ini, siapa yang merayakan ulang tahun, pasti akan ditodong rame-rame.
“Selamat ulang tahun Bu Marketing Manajer. Makan siang di mana kita?” kata Fitri, sekretaris kantor yang supercentil. Dia memang terkenal sebagai juru lobi urusan traktir-mentraktir.
Kulirik menu makan siang yang sudah menunggu sentuhan, sementara teman-teman sekantor sudah menanti jawaban. Hadiah dari Mas Bram membuat hati dan lidahku termangu di persimpangan.
--- oOo ---

Kotak bekal Hello Kitty masih tergeletak di samping laptop di atas meja kerjaku. Bukan maksud hati untuk tak menyentuhnya. Namun, perut ini rasanya sudah tak ada sela lagi untuk menampung makanan atau camilan. Kalau melihat menu makanan yang menggoda selera, terkadang aku sering kalap.

Provokasi teman-teman dan bisikan dari Mbak Leni ternyata menggoyahkan keteguhan lidahku. “Bekalnya dimakan nanti sore aja. Kasihan teman-teman, tuh. Kalau makan-makannya besok, sudah enggak pas momennya,” bisik Mbak Leni memberi masukan. Akhirnya kami meluncur ke rumah makan Dapur Simbok yang terkenal maknyus, tak jauh dari kantor.

Sebenarnya, aku ingin menjaga agar tak banyak makan, yang penting teman-temanku senang dan kenyang. Namun, kelezatan nasi gudeg Yogya, sambel goreng krecek, telur pindang, ayam suwir, dan sambal membuat pertahanan perutku goyah. Belum lagi kesegaran es dawet ireng. Rasanya seperti mendamparkan hati ke kampung halaman.
Eh, potongan kue ulang tahun kejutan dari teman-teman lupa diabsen. Belum lagi camilan kue tradisional. Hasilnya, perut jadi kekenyangan, sementara ada satu tugas yang harus diselesaikan: menghabiskan bekal masakan Mas Bram. Sebenarnya, kalau aku buang di tempat sampah, Mas Bram tidak akan tahu. Namun, rasanya tak enak menyia-nyiakan masakan pemberian suami. Apalagi kata orang tua, jangan suka membuang-buang makanan, enggak baik, nanti bisa kualat.

Belum sempat menetapkan sikap, sebuah pesan dari Mas Bram masuk ke WhatsApp.
“Bagaimana rasanya, Mam?”
“Untuk koki pemula, rasanya tak mengecewakan.”
“Pasti Mama sekadar memuji saja, biar Papa senang.”
“Benar, kok, memang enak.”
“Pastinya, dong, kan dimasak dengan penuh cinta.”
Maaf Mas Bram, aku tak bermaksud membohongimu. Semoga nanti sore aku bisa menghabiskan sayur peria masakanmu. Sepertinya, aku perlu obat pencahar untuk mengosongkan isi perutku.
--- oOo ---

Menjelang pukul empat sore, pesan dari Mas Bram kembali menyambangi  WhatsApp.
“Pas enggak, Mam?”
Aku tersenyum. Sepertinya Mas Bram belum puas dengan jawabanku tadi. Jangan-jangan dia tahu kalau aku belum menyantap masakannya. Lagi-lagi aku harus berbohong.
“Tentu saja pas. Terima kasih, ya, Papa emang penuh perhatian.”
“Syukurlah, Papa takut kalau kekecilan. Waktu beli, Papa takut salah ukuran.”
Jadi Mas Bram tidak memasak, tapi membeli sayur peria itu? Tapi, warung makan mana yang pagi-pagi buta sudah buka. Kok, ada kata ‘salah ukuran’ segala. Kalimat dari Mas Bram membuatku bertanya-tanya. Apakah Mas Bram takut mengiris perianya terlalu tipis?
“Papa ada-ada saja, ngiris pare saja pake penggaris.”
“Bukan irisan pare, Mam, tapi hadiah ulang tahun dari Papa?”
“Sayur pare tadi, ‘kan?”
“Bukan hanya sayur pare, Ma.”
“O, iya ditambah dua potong tempe plus nasi putih.”
“Ih, Mama meledek Papa. Bukan itu, Ma. Tapi benda bulat. ”
“Benda bulat apa, Pa?”
“Cincin berlian, Ma. Masa  Mama tidak menemukannya.”
“Cincin berlian yang mana, Pa?”
“Cincin berlian yang Papa masukkan ke dalam sayur pare. Ceritanya buat surprise gitu. Ah, Mama enggak romantis.”
Seketika aku tercekat. Jadi Mas Bram ingin memberi kejutan dengan memasukkan cincin berlian ke sayur pare? Ah, kenapa aku tidak bisa membaca maksud tersembunyi dari hadiah Mas Bram.
“Jadi Mama tidak menemukan cincin itu? Waduh, jangan-jangan cincinnya tertelan, ya.”
“Ma… jawab, dong.”
Aku bergegas lari menuju dapur. Mudah-mudahan Mas Paijo menemukan cincin berlian pemberian Mas Bram. Sebelumnya, menu masakan Mas Bram berpindah tangan ke office boy kantor itu. Ide sekilas lepas saat melihat Mas Paijo melintas di dekat meja kerjaku. Waktu menunjukkan pukul tiga sore, namun perutku terasa masih penuh saja. Sementara aku takut sayur peria Mas Bram jadi basi.
“Mas Paijo, ini ada bekal makanan yang belum dimakan. Kalau mau buat kamu saja.”
“Beres Bu, kalau urusan makanan, mah, Paijo jagonya.”
Mas Paijo, dengan senyum khas,  menerimanya. Rasanya aku seperti diselamatkan oleh pahlawan kesorean. Sekarang aku hanya bisa berharap, semoga Paijo bisa mengamankan cincin berlian itu.
"Maaf Bu, kotak bekalnya masih basah, baru selesai saya cuci," kata Paijo begitu mengetahui kedatanganku.
"Enggak apa-apa, Jo. Waktu makan, apakah kamu nemu sesuatu?"
"Saya enggak nemu apa-apa, Bu. Cuma nasi sama dua potong tempe dan sayur pare."
"Bener enggak nemu apa-apa?"
"Bener, Bu. Cuma itu saja. Memang ada apa, Bu?"
"Waktu kamu makan sayur pare, apa kamu enggak menemukan benda logam?"
"Kalau itu saya enggak tahu, Bu, soalnya bukan saya yang makan."
"Terus yang makan siapa?"
"Maaf Bu, tadi saya masih kenyang, jadi makanannya saya bungkus terus saya kasih pengemis di jembatan penyeberangan. Sayang Bu, daripada mubazir."
Jleb! Kesadaranku seperti tertindih dua karung peria. Seketika aku merasa sangat bersalah karena tak menghargai dan meremehkan pemberian suami. Gara-gara menyepelekan hadiah dari suami, persoalan menjadi rumit. Keringat dingin perlahan keluar membasahi punggungku. Aku disergap rasa cemas.
Mudah-mudahan pengemis itu belum pergi dari jembatan penyeberangan. Aku harus bergegas mencarinya.
"Jo, kamu harus ikut saya menemui pengemis itu."
"Memangnya kenapa, Bu?"
"Sudah cepat, jangan banyak tanya."(f)

************
Setiyo Bardono




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?