Fiction
Perempuan Penunggu Malam [8]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

“Tidak mungkin.”

“Mungkin. Hanya kau yang tahu jawabannya.”

Aku terperangah menatap Radite. Ujung bibir Radite tertarik ke atas. Bukan senyumannya yang lazim.

“Karena kau, Perempuan Penunggu Malam.”

Aku ingat benar, Penjara datang setelah kematian ibuku. Dia memasang wajah duka untuk kematian ibuku. Tetapi, dia tidak memasang duka untuk kematian perasaanku. Dia muncul tiba-tiba saat senja berwarna biru tua. Aku mempersilakannya masuk. Dia duduk, bukan di kursi yang biasa ia tempati. Ia sengaja mengubah kebiasaan, seakan dia mau menghapus jejak masa lalu.

“Aku baru tahu ibumu meninggal. Aku turut berduka.”

Aku mengangguk. Kami terdiam. Aku menunggu ia memberikan alasan mengapa ia menghilang dan tak datang pada hari yang telah kami sepakati. Tetapi, ia tak bicara. Tubuhnya yang gelisah lalu berdiri.

“Aku harus pulang. Sebentar lagi petang. Tak ada kendaraan keluar dari desa ini.”

Kau tak akan keluar dari sini, ujarku dalam hati. Tetapi, berbeda dengan kalimat yang keluar dari bibirku.
“Kamu mau minum yang hangat? Aku buatkan dulu teh untukmu.”

Dia mengangguk. Mukanya sedikit ngeri. Mungkin ia melihat kemarahan tersembunyi di wajahku. Tak lama aku menyuguhkan teh. Dia menghirupnya takut-takut.

“Terima kasih tehnya, aku harus pergi.”

“Kamu tidak ingin bercerita apa-apa, kenapa kamu tidak datang pada hari pernikahan yang kita sepakati?”

“Aku minta maaf. Tapi, aku rasa minta maaf pun percuma.”

“Karena itu, kau sama sekali tidak meminta maaf.”

“Kamu cantik. Semua lelaki di sini menginginkanmu. Kamu bisa mendapatkan penggantiku dengan mudah.”

Betapa gampangnya dia mengalihkan, kini dia membicarakan tentang kecantikanku yang memesona. Bahwa aku akan baik-baik saja. Bukan tentang pengkhianatannya. Tiba-tiba tubuhnya limbung, matanya terlihat mengerjap. Tidak fokus.

“Kamu meracuniku?”

Aku memegang sendok yang ujungnya telah aku tipiskan, setipis anak pisau. Alat yang mudah untuk mengorek. Dia terhuyung menuju pintu.

“Aku tak salah menilaimu. Kau cantik! Tapi, kau gila! Aku tidak bisa menikah dengan perempuan gila seperti kamu!”
Penjara terjatuh beberapa langkah menuju pintu. Tubuhnya merayap di lantai. Dengan beberapa kali langkah, aku lebih dulu sampai ke pintu. Pintu tertutup, dia menjerit. Tetapi, alam berpihak padaku, karena mendadak hujan turun dengan lebat. Kilat dan guntur bersahutan. Suaranya tertelan raungan alam. Aku lantas membalikkan tubuhnya yang tengkurap di lantai hingga telentang. Mukanya terlihat amat takut. Aku memainkan sendok tipis itu ke dadanya.

“Aku tahu kamu tidak punya hati. Makanya aku tidak akan mengorek hatimu keluar. Tetapi, karena mata, kamu berkhianat padaku. Maka aku akan ambil matamu….”

Penjara berteriak ketakutan. Aku menindih tubuhnya yang lemas, lalu menghujamkan sendok ke kelopak matanya. Kanan dan kiri. Penjara melolong.

Aku tak ingat apa-apa. Tiba-tiba aku telah berada di taman dekat kuburan sedang menggali lubang. Tubuh Penjara telah dingin, karena air hujan dan kematian. Lalu, aku sorong tubuhnya ke lubang. Aku menimbunnya dengan tanah dan menanam bunga. Sejak itu aku kerap ke taman itu, mengguyur bungaku. Bunga yang tumbuh di atas kuburan Penjara. Orang-orang makin jarang datang ke taman itu. Berita yang kudengar, sering terdengar suara laki-laki melolong kesakitan.

Aku tak pernah mendengar suara laki-laki menjerit. Tetapi, aku kerap merasa kelopak bunga itu seperti mata. Mata Penjara.
Malam makin larut. Aku terpaku di kursi. Tiba-tiba peristiwa masa lalu itu terbentang begitu saja. Hanya dengan satu kalimat: karena kau, Perempuan Penunggu Malam. Radite menatapku iba. Dia merengkuhkan tangannya ke bahuku. Tubuhku yang dingin mulai menghangat. Aku ingin menangis, tetapi tak ada air mata yang jatuh dari bola mata.

“Kau tidak takut padaku?”

“Aku mencintaimu. Cinta mengalahkan rasa takut.”

“Aku pembunuh….”

“Penjara telah membunuhmu lebih dulu. Dengan semua pengkhianatannya.”

Kami berpelukan. Tiba-tiba terlihat bayangan banyak orang di sekitar. Ternyata Paman Radite dan beberapa orang desa memasuki ruangan. Kami melepaskan pelukan.

“Radite… mari kita pulang.”

“Pulang? Jangan karena kau pamanku, kau bisa mengaturku seenaknya!”

Radite mendekat padaku, ingin memegang tanganku. Paman Radite memberi isyarat dengan sudut matanya. Orang-orang desa memeganginya. Radite mengamuk dalam bekapan mereka. Radite mengamuk seperti kesetanan. Tetapi, tenaganya kalah dibanding belasan tenaga orang desa. Mereka membelenggu tangan dan kaki Radite. Aku hanya tercekat memandang kejadian itu berlalu di hadapanku. Suara Paman Radite menggelegar memecah malam.

“Dulu, aku pikir kamu anak yang hebat. Imajinasinya begitu liar. Kamu mengarang cerita tentang Perempuan Penunggu Malam hingga seluruh anak desa ini begitu percaya. Walau banyak yang beranggapan ia pembual, aku berkeyakinan ia akan menjadi penulis cerita tenar. Nyatanya….”

Aku merasa dilecehkan. Dia berkata seakan Perempuan Penunggu Malam tidak ada! Hei, lihatlah aku! Paman Radite memandang berkeliling. Matanya tertuju padaku. Tetapi, ia tidak melihatku. Aku berlari di antara mereka. Tak ada yang melihatku! Aku tercekat. Hanya Radite yang bisa melihatku. Tangannya menggapai-gapai….

Aku baru sadar, aku telah lama mati. Aku Perempuan Penunggu Malam yang telah mati. Umurku 50 tahun lebih. Bukan 20 tahunan. Kecantikanku tak abadi. Aku terpukul menyadari bahwa aku adalah arwah.

“Kamu bercerita rumah ini mungil dan asri. Tetapi, kau lihatlah berkeliling….”

Rumah itu kini hanyalah rumah tua yang tak terurus. Banyak debu dan jaring laba-laba. Cangkir bermotif padma adalah cangkir yang patah gagangnya. Pada meja, terlihat sebuah buku. Paman Radite memegangnya. Dari tengah buku, terjatuh sebuah pensil.

“Jangan ambil buku itu! Aku akan membunuhmu, Paman!! Aku tidak main-main.”

Paman Radite membacanya sekilas. Mukanya terlihat sedih.

“Kau bilang buku ini buku catatan Perempuan Penunggu Malam, tetapi lihatlah! Lihat!”

Paman Radite membuka buku itu ke muka Radite. Radite mengernyit, tak mengerti apa yang dikatakan Pamannya.

“Kau yang menulis buku ini! Lihat tulisannya! Ini tulisan tanganmu! Kau menciptakan tokoh Perempuan Penunggu Malam. Perempuan Penunggu Malam tak pernah ada! Dia hanyalah khayalan dalam buku karanganmu! Dia tak pernah ada!”

Kata-kata itu menghujam dadaku. Seakan menusuk jantungku. Aku juga bukan arwah Perempuan Penunggu Malam. Aku bahkan tak ada. Aku hanyalah tokoh rekaan Radite. Aku ada di tulisan dan dalam pikiran Radite. Aku tak nyata. Benar-benar tak nyata….

EPILOG

Pada sebuah lorong rumah sakit. Paman Radite merangkul kakaknya, ibu Radite. Atri berdiri terdiam di dekat mereka dengan mimik sedih. Mereka bertiga berdiri di depan sebuah ruangan. Radite duduk menunduk di ruangan tersebut. Pandangan matanya kosong.

“Mbak mengirim Radite ke rumah kamu, biar dia bisa melupakan pacarnya…,” ujar ibu Radite pada paman Radite.

“Pacarnya tiba-tiba menikah dengan temannya. Dia tidak bisa menerima itu. Mbak pikir, kalau ia jauh dari Jakarta, tinggal di desa yang sejuk, ia bisa melupakan bekas pacarnya.”

“Mas Radite terobsesi pada kesetiaan,” ujar Atri, lirih.

Paman Radite menepuk bahu kakaknya itu. Ibu Radite tersenyum pahit.

“Di sana, Radite malah makin menjadi, Mbak. Setiap hari dia pergi ke rumah kosong di atas bukit. Dia bilang, ada yang tinggal di situ. Dia membawa buku yang katanya buku yang ditulis Perempuan Penunggu Malam. Padahal, aku tahu itu tulisan tangan Radite. Kami sempat mengurungnya sampai lima hari. Hingga ia berhasil kabur ke rumah itu lagi.”

Atri mendekati ibu Radite.

“Iya, Bude. Pernah sewaktu Atri latihan tari, Mas Radite datang. Katanya ia datang berdua. Tetapi, Atri tidak lihat siapa-siapa. Sewaktu berjalan pulang, ia seperti menggandeng seseorang. Tetapi, tidak ada siapa-siapa. Mas Radite juga sering ke taman dekat kali. Tempatnya menyeramkan, tetapi ia tak peduli. Dia malah menyirami bunga yang ada di situ. Atri sempat membuntutinya, tetapi sepertinya ia marah sekali pada Atri. Mas Radite bahkan menuduh Ayah mau menjodohkan Mas Radite dengan Atri. Padahal, Atri selalu menganggap Mas Radite kakak Atri. Atri tidak mungkin jatuh cinta padanya.”

Ibu Radite tak kuasa menahan air mata. Paman Radite dan Atri saling melempar pandang sambil menghela napas.

“Mbak, saya sudah suruh Radite untuk mengaji, biar pikirannya tidak kosong. Tadinya saya pikir dia kerasukan jin atau malah bercakap dengan jin. Ternyata, dia malah bermain-main dengan pikirannya sendiri. Dia menciptakan dunianya sendiri. Dunia imajinasi.”

Ibu Radite, paman Radite, dan Atri perlahan menatap ke dalam jendela kaca. Di dalam sana terlihat Radite menunduk. Tangannya tampak seperti sedang menulis di atas bangku. Tak ada kertas di sana. Bibirnya komat-kamit. Sesekali ia tersenyum. Mungkin Radite sedang menciptakan kisah yang lain dengan imajinasinya. (tamat)

Penulis: Anggoro
Pemenang Penghargaan Sayembara Cerber femina 2008



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?