Fiction
Perempuan Penunggu Malam [7]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Setelah sekian lama, aku keluar dari wilayah kekuasaanku. Kepala dan tubuhku terbalut kerudung panjang. Tak akan ada yang mengenaliku. Aku merasa seperti bayangan. Ada, tapi tidak terperhatikan. Seperti asap, melintas tapi sekilas. Radite menggandeng tanganku berjalan di pedesaan. Kami berjalan di pematang. Petak-petak hamparan sawah yang menghijau menyejukkan mataku. Beberapa orang menyapa Radite dan memandangnya heran.

Mungkin karena Radite berjalan bersama perempuan berkerudung yang menutupi dahi dan sebagian wajahnya. Aku tak tertebak.

“Orang-orang menatap kita.”

“Biar saja.”

“Lepaskan tanganmu. Kita jadi pusat perhatian.”

“Biar. Biar mereka tahu aku sedang jatuh cinta.”

Lalu aku sampai di sebuah pintu gerbang. Sebuah rumah besar beserta halaman luas, milik Paman Radite. Tapi, Radite tidak mengajakku masuk melalui pintu itu. Dia malah menarik tanganku, untuk berjalan ke samping menyusuri tembok yang mengelilingi rumah itu. Sampai pada bagian tembok yang ambrol. Tembok itu belum sempat diperbaiki, hanya ditutupi bambu-bambu yang disilang agar orang tidak seenaknya masuk.

Radite mengajakku menerobos bambu itu. Tak sulit. Lalu kami berjalan menuju bangunan rumah. Pada sayap kanan rumah terdapat semacam pendopo samping. Ada seorang yang sedang berlatih menari. Tak terlalu jelas. Makin mendekati pendopo, aku tahu siapa yang menari. Atri. Wajahnya ternyata lebih menarik dibanding dalam ingatanku. Aku menghentikan langkah, lalu aku melepaskan pegangan tangan Radite.

“Itu Atri, ‘kan?”

“Lalu kenapa?”

“Tidak enak. Pamanmu menjodohkan kalian. Atri mungkin mencintaimu.”

“Bagus, ‘kan? Biar dia tahu.”

“Aku tidak menyangka kamu bisa melakukan ini. Biasanya perempuan yang bisa kejam urusan perasaan. Lelaki lebih suka main belakang.”

“Aku hanya ingin dia tahu, bahwa aku mencintai seseorang….”

Radite menarik tanganku. Atri tampak sedang menari. Dia berkonsetrasi pada lagu yang mengalun dari tape recorder. Terlebih berkonsentrasi pada tubuhnya. Saat Atri berbalik tubuh, wajahnya terkejut menatap Radite.

“Mas….”

“Atri. Aku mau mengenalkan….”

Atri memandang Radite tak mengerti. Radite menoleh ke samping, tempat aku berdiri tadi. Tapi, aku sudah tidak ada. Radite memandangi tangannya, seakan tak percaya tanganku lepas dari genggamannya. Aku bersembunyi di balik pohon. Tanpa sadar, tadi aku berhasil melepas pegangan tangannya. Aku tak mau menyakiti Atri, dengan keterusterangan Radite.

Dari persembunyianku, aku dapat melihat Radite menoleh ke belakang mencari sosokku. Atri ikut mengedarkan pandang.

“Siapa yang Mas cari?”

“Tadi aku ke sini, dengan sese¬orang....”

“Aku tidak lihat siapa-siapa.”

Radite tampak agak kebingungan. Atri menuntunnya. Sikapnya amat lembut. Tapi, aku tak merasa cemburu. Aneh. Mengapa aku hanya cemburu pada Perempuan Penunggu Malam? Bahkan, bila Radite sekadar membicarakannya. Bukankah ia sudah mati? Mengapa aku harus cemburu pada perempuan yang telah terkubur dalam tanah?

Radite dan Atri duduk di lantai pendopo. Dapat kulihat pandangan perempuan yang jatuh cinta, seperti cara Atri memandangnya.

“Atri, aku mau buku itu kembali….”

“Tetapi, Ayah bilang, buku itu… kurang baik buat Mas.”

“Kurang baik? Kenapa tidak kamu bilang buku itu buku sesat? Buku setan!”

“Mas….”

“Apa kau mencintaiku?”

Mata Radite meredup. Kemarahannya hilang tertiup angin, dalam hitungan detik. Aku melihat dengan nyata, senjata laki-laki adalah rayuan. Hanya perempuan bodoh yang hanyut. Dan, itu bukan aku. Setidaknya aku yang sekarang.

Atri menunduk. Lelaki matang di hadapannya mungkin terlihat bagai dewa bagi perempuan muda seusia Atri. Dia tidak menjawab, tetapi cukup dengan bahasa tubuh, terjawab sudah pertanyaan Radite.

“Kalau kamu mencintai aku, tolong ambilkan buku yang disembunyikan Paman.”

Atri tampak ragu. Radite menekannya dengan halus. Pandangannya mengiba. Atri tersenyum terpaksa.

“Baik. Mas tunggu di sini.”

Atri bergegas masuk ke bagian dalam rumah. Radite langsung berlari ke halaman dan mencariku. Aku bersembunyi sedapat mungkin. Aku tak ingin rencanaku gagal berantakan, gara-gara Atri cemburu. Buku itu harus kembali ke tanganku.

Aku bersembunyi di balik pohon beringin. Sulur-sulurnya yang bergelantungan menyentuh wajahku. Radite berjalan sedemikian dekat. Aku terpojok, aku tak mungkin keluar dari persembunyianku. Aku takut Atri melihatku. Tiba-tiba terdengar suara Atri dari pendopo.

“Mas!”

Radite menoleh, lalu berlari mendekati Atri. Aku menghela napas lega. Radite merebut buku itu dari tangan Atri. Mukanya bersemangat, matanya berkilat-kilat.

“Buku ini….”

Radite membuka halaman demi halaman buku itu, seakan takut kalau buku itu palsu.

“Mas, Mas janji. Mas tidak akan ke rumah itu lagi….”

Aku tercenung. Atri melarang Radite menemuiku lagi. Saat itu aku marah. Rasanya ingin kujambak rambutnya, lalu kugantung bersama dengan sulur pohon beringin!

“Kamu tidak bisa mengaturku!”

“Ini demi kebaikan Mas….”

“Kamu pikir kamu tahu yang terbaik buat aku? Apa yang terbaik buat aku? Menikah denganmu?”

“Aku tidak memaksa….”

“Kamu tidak memaksa menikah denganmu, tetapi kamu memaksa aku tidak datang lagi ke rumah di atas bukit itu!”

“Perempuan itu….”

“Ternyata benar. Penduduk sini semuanya penggunjing! Termasuk kau! Seharusnya kalian malu. Mengasingkan perempuan itu.”

“Perempuan itu? Mas tidak tahu nama perempuan itu?”

Radite terdiam. Dia baru sadar bahwa dia tidak tahu namaku. Dia hanya memanggilku, kamu. Aku juga baru sadar. Aku tak tahu siapa namaku.

“Mas, sebaiknya Mas masuk ke dalam. Penduduk sini sedang rapat. Mereka mengkhawatirkan Mas.”

“Aku harus pergi. Dan terima kasih atas buku ini.”

Radite berjalan cepat. Aku tak peduli lagi Atri akan tahu kehadiranku. Toh, buku itu sudah ada pada Radite. Aku keluar dari balik pohon beringin. Kami bergandengan. Atri membelalakkan matanya. Aku tak dapat menerka makna tatapannya.
Kami telah sampai kembali ke rumahku. Aku merasa amat lega. Seakan aku baru saja keluar dari hutan belantara, yang makhluknya bisa saja menerkamku kapan saja. Aku menyuguhkan teh hangat dalam cangkir bercorak padma. Radite membaca buku itu. Mulutnya berkomat-kamit.

“Apa kau telah sampai pada halaman, bikuni yang mencungkil mata?”

“Sudah.”

“Apa maksudnya?”

“Ini bukan tentang bikuni. Ini tentang Perempuan Penunggu Malam. Baginya mata adalah petaka. Seseorang terjerumus karena penglihatannya.”

“Petaka? Seperti apa?”

“Seseorang berkhianat karena mata. Mencintai karena mata. Berselingkuh karena mata. Mata harus dilenyapkan.”
Aku bergidik. Demikian juga dengan Radite. Lamat-lamat terdengar suara malam. Radite membuka halaman berikutnya.

“Apa kau tidak berpikir, Perempuan Penunggu Malam itu buta?”

“Aku pernah melihatnya sewaktu kecil. Dan ia tidak buta.”

“Tapi, buku ini. Kapan buku ini ditulis? Mungkin buku ini ditulis setelah kau pindah dari sini.”

“Kamu pikir Perempuan Penunggu Malam mencungkil matanya?”

“Mungkin.”

“Aku kan tadi sudah bilang, ini bukan tentang kisah bikuni itu. Ini kisah Perempuan Penunggu Malam. Baginya bukan matanya yang membawa petaka. Tapi, mata sang kekasih. Karena matalah sang kekasih berkhianat. Aku rasa, Perempuan Penunggu Malam memang mencungkil mata. Tetapi, bukan matanya, tapi mata kekasihnya.”

Aku terkejut atas uraian Radite. Radite menatapku puas seakan ia bisa menerjemahkan buku catatan itu. Aku tak membayangkan Perempuan Penunggu Malam mencungkil mata kekasihnya dengan kuku jarinya yang panjang dan berlumuran darah.

“Lalu, tentang menanam bunga. Mengapa orang desa berbisik dan mengintai? Kecurigaan apa yang ada di benak mereka?”

“Perempuan Penunggu Malam tidak menanam bunga. Ia mengubur mayat, lalu menanam bunga di atas kuburan itu agar orang-orang tak curiga.”

“Perempuan Penunggu Malam mengubur mayat? Mayat siapa?”

Radite memandangku aneh. Aku tak mengerti cara pandangnya. Aku merasa ia ingin menguliti hingga ke akar jiwaku.

“Mayat sang kekasih.”

“Perempuan Penunggu Malam membunuh kekasihnya?”

“Ya.”


Penulis: Anggoro
Pemenang Penghargaan Sayembara Cerber femina 2008




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?