Fiction
Perempuan Penunggu Malam [5]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Ibu seperti orang tua lain. Mereka seakan menanggung beban malu melebihi apa pun. Apa yang dilakukan Penjara seakan mencorengkan aib ke wajahnya. Apalagi, dulu semasa hidup, Ayah tidak pernah setuju hubunganku dengan Penjara. Beban yang ditanggung Ibu makin berat. Rasa malu serta perasaan mengkhianati Ayah, karena sikapnya yang mendukung hubunganku dengan Penjara.

Makin lama Ibu makin kurus. Dia seakan ingin mengakhiri hidup dengan penyiksaan pelan-pelan. Ibu memilih tidak makan, tidak minum. Ibu juga memintaku untuk menutup jendela, pun di siang hari. Ibu malu bertemu tetangga. Dia kehilangan muka. Harga diri. Ruangan rumah kami menjadi pengap, saat matahari sedang terik-teriknya. Seakan tak ada celah untuk cahaya dan angin masuk ke dalam. Hanya saat malam, aku bisa mencuri-curi membuka salah satu jendela di ruang depan, karena Ibu telah tertidur di kamarnya.

Angin malam kesetanan masuk ke dalam ruangan. Perlahan dingin merambat dari jendela ke dinding, ke pintu, ke lantai, ke perabot, ke langit-langit. Aku membeku di kursi, serupa patung perunggu tertimpa cahaya bulan perunggu. Terkadang aku tertidur di kursi dan terbangun, saat gemerisik daun menjatuhkan embun pada bingkai jendela. Aku mulai menandai waktu dengan pertanda alam. Aku menanggalkan almanak dan jam dari dinding. Aku melupakan tanggal, bulan, dan tahun. Jam, menit, serta detik. Karena aku ingat, Penjara menandai segala janji dengan bilangan waktu.

Pagi ini terasa alam berduka. Burung gereja tak bercericit seperti biasa. Kaok burung gagak dengan suara buruknya memenuhi sekitar rumahku. Kesadaranku datang terlambat. Ada yang pergi hari ini. Berkisar seputaran rumahku. Tapi, rumahku jauh dari tetangga. Dalam radius sekian kilometer baru terdapat perumahan. Aku tertegun. Gagak itu berputaran di wuwungan rumah. Ada yang pergi hari ini. Ibu.

Ibuku meninggal. Tubuhnya hanya tinggal tulang. Tubuhnya menyusut, begitu kecil. Demikian juga dengan kecantikannya yang hanyut termakan keriput. Aku tak bisa menangis. Tubuhku membeku di pinggiran tempat tidurnya. Terpaku di situ. Memegang lengannya yang dingin. Tak ada kekuatan yang menggerakkanku. Tiba-tiba terdengar orang ramai datang dan mendobrak salah satu pintu. Mereka menyerbu masuk ke rumah. Mereka takjub. saat menjengukkan kepala ke dalam kamar Ibu. Aku dan Ibu seperti pahatan kayu. Tubuhku yang kaku, lekat pada tubuhnya yang mengering seperti ranting.

Orang-orang desa menyerbu ke dalam rumah, karena curiga burung gagak berkitaran seputar rumah. Mereka sepakat ada yang tak beres di dalam rumahku. Mereka bahkan membuat upacara penguburan yang layak buat Ibu. Itu kali pertama, aku merasa membutuhkan orang-orang di desa itu….

Radite terpaku. Bibirnya bergetar membentuk kata maaf. Mengapa harus meminta maaf? Bukankah ia ingin tahu tentang masa laluku? Ia memegang jemariku. Yang terasa bukan perasaan hangat dan nyaman. Tangannya terasa dingin dan asing. Aku merasa masih banyak pertanyaan berkelebat di kepalanya. Masih banyak hal yang ingin ia tanyakan.

“Tetapi, kenapa kamu menarik diri dari orang-orang? Bukankah mereka tidak sejahat yang kamu bayangkan?”

“Ceritanya panjang.”

“Aku tak suka cerita panjang. Tapi, kalau cerita itu tentangmu, aku akan mendengarkan. Sepanjang apa pun….”

“Mereka bukan sekadar penggunjing. Tapi, penindas.”

Radite memandangku tak mengerti. Lelaki tak pernah memosisikan dirinya sebagai perempuan. Dia tak akan tahu, seorang gadis yatim piatu yang terdampar di negeri asing hanya akan jadi santapan serigala. Gadis itu tidak akan menjelma menjadi putri bagi seorang pangeran berkuda putih.

“Mereka menawarkan bantuan. Tapi, meminta imbalan.”

“Mereka? Siapa?”

“Laki-laki desa ini.”

Radite tampak berpikir. Rautnya berubah cemas sekaligus geram. Seakan ia baru saja menemukan sisi lain tentangku, yang tidak terbayangkan.

“Laki-laki desa ini! Mereka meminta imbalan… tubuhmu….”

Suara Radite terdengar pilu. Mungkin dia pikir, dia telah tahu hal itu secara utuh. Dia salah.

“Sebagian tubuh. Sisanya menginginkan cinta.”

“Cinta? Mereka menginginkan kau jadi kekasih atau istri mereka… itu lebih baik.”

Radite masih menggumam. Aku memandangnya iba. Mungkin yang ada di kepalanya sebuah pertanyaan baru. Mewakili ego lelaki, apakah aku tidur dengan mereka. Tapi, Radite terdiam. Mukanya terlihat terpukul.

“Kau pikir, aku tersanjung karena mereka meminta imbalan cinta?”

“Bukankah itu lebih bermartabat dibanding meminta imbalan tubuhmu?”

“Mereka yang menginginkan tubuhku hanya menindasku saat itu saja. Mereka yang menawarkan cinta akan menindasku selamanya. Laki-laki tak mengenal cinta. Mereka menggunakan kata cinta, untuk menutup berahi mereka. Aku tak mau jadi budak mereka. Karena aku yang menentukan cinta.”

Suasana hening. Wajah Radite berubah menjadi kanak-kanak yang ingin dilindungi. Dia memancing naluri keibuanku. Tapi, aku sedang tak ingin lelaki itu bergayut pada rengkuh dadaku.

“Kamu yang menentukan cinta, pada Penjara.”

“Ya. Aku yang menentukan cinta, pada Penjara.”

“Apa kamu juga menentukan cinta… padaku?”

“Ya.”

Radite menghela napas lega. Aku rasa ia sebenarnya tak peduli akan perasaanku pada Penjara. Ia hanya ingin tahu posisinya.

“Bagaimana dengan Penjara? Apa ia tidak pernah menemuimu lagi?”

“Pernah. Sekali.”

“Kapan?”

“Setelah Ibu meninggal.”

“Lantas? Apa alasannya tak datang pada hari yang kalian sepakati? Benar ia punya kekasih baru di kota?”

“Dia datang untuk minta maaf.”

“Karena meninggalkanmu?”

“Dia merasa bersalah karena Ibu meninggal. Itu pengakuannya. Dia juga bilang kalau ia punya calon istri di kota.”

“Kurang ajar!”

“Saat itu, dia akan menikah seminggu lagi.”

Radite memandangiku iba.

“Aku salah menilainya. Dulu aku pikir, ia malaikat yang tinggal bersama para setan dan pendosa di neraka. Ternyata ia iblis. Lingkungan akan membentuk seseorang jadi domba, serigala, atau dubuk. Seekor domba tak mungkin tinggal di antara serigala, dia pasti akan mati dimakan beramai-ramai.”

“Dia beradaptasi. Hanya itu yang bisa membuatnya bertahan tinggal di penjara.”

“Kamu membelanya?”

“Aku mengasihaninya. Dia bodoh karena mengabaikan perempuan seperti kamu.”

Aku tertawa. Sempat-sempatnya lelaki merayu dalam situasi seperti ini. Radite memegang jemariku.
“Apa saat itu, terakhir kali kamu bertemu dia?”

“Itu terakhir kali aku melihatnya.”

Sebenarnya aku ingin bercerita tentang buku harian Perempuan Penunggu Malam. Tapi, aku merasa, sebagian dirinya menyangsikan aku. Entah apa. Aku tak bisa terbuka pada orang yang masih menyangsikan aku. Maka aku meneruskan membaca buku harian Perempuan Penunggu Malam. Kisahnya amat memilukan. Masih banyak cerita yang memilukan, tapi entah mengapa kisahnya menarik rasa empatiku. Aku menempatkan dirinya pada diriku. Tentang kesetiaan dan sakit hati.


Penulis: Anggoro
Pemenang Penghargaan Sayembara Cerber femina 2008



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?