Fiction
Perempuan Penunggu Malam [4]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Pada halaman pertama, terlihat sketsa tak jelas. Demikian juga pada halaman kedua, ketiga, seterusnya. Ternyata, bukan buku yang aku harapkan! Ini bukan buku harian seorang perempuan dari masa lalu. Ini hanya buku berisi coretan sketsa tak jelas, kalau bisa dibilang buruk. Hampir sepertiga buku dan isinya hanya coretan! Dengan kesal, aku menutup buku itu.

Matahari senja menerobos masuk, tepat menyorot ke bagian belakang buku. Jariku merambat pelan dan membuka buku dari belakang. Saat itu aku baru sadar, bahwa dari halaman belakanglah tulisan itu bermula….

Tulisan ini aku mulai sejak aku tinggal di rumah ini. Ayah meninggal karena bunuh diri. Dia hanya menyisakan sedikit tabungan, hingga aku dan Ibu memutuskan membeli rumah di pedesaan. Jauh dari kebisingan kota dan murah. Rumah ini jauh dari kata bagus. Kecil dan sederhana. Tapi, ada satu yang istimewa. Ada jendela-jendela menghadap ke jalanan. Aku tak akan menukarnya dengan apa pun….

Kalimat itu yang tertulis di halaman pertama. Berikutnya di halaman kedua, aku membaca kalimat berikut.
Beruntung aku mempunyai seorang Kekasih. Aku menyebutnya Kekasih. Nama tak lagi penting. Karena bagiku, ia segalanya. Ia Kekasih-ku. Kemarin ia baru saja datang, ia memberikan aku sepotong puisi yang ia tulis di sehelai kertas. Seperti ini:

Migrasi para burung, lintasi selat menuju benua baru. Seekor pelikan tertinggal di karang. Mungkin sayapnya terlalu lelah untuk terbang, mungkin ia mulai berpikir membuat sarang. Paruhnya menoreh sepanjang pantai, seperti ditorehnya kisah panjang, yang baru akan dimulai....

Menurutnya, puisi itu tentang perasaannya. Tentang hidup, saat ini, bersamaku. Ia telah lelah terbang tanpa tujuan. Ia ingin menikahiku….

Aku tak dapat menyembunyikan rasa bahagiaku. Perasaanku seperti terlempar ke langit, mengambang. Kakiku tak menjejak bumi. Karena aku tertahan di negeri awan. Mataharilah yang jadi waliku dan bulan adalah kereta pesiarku memetik bintang….

Lampu mati mendadak. Gelap pekat. Aku merambat menuju jendela. Desa pun gelap pekat. Beruntung bulan masih berbaik hati berbagi cahaya. Aku memandang lewat jendela. Tiba-tiba aku merasa menjelma menjadi perempuan itu. Perempuan Penunggu Malam yang sedang memandang lewat jendela….
Taman itu dekat kuburan. Tak banyak orang yang berani datang ke sini. Orang-orang lebih memilih perasaan takut hingga melewatkan pemandangan yang menakjubkan dan suasana ritmis yang tak terganti oleh apa pun. Entah sejak kapan aku mulai sering duduk di sini. Sebuah sungai kecil membelah taman dengan pekuburan. Aku biasa mencelupkan pergelangan kaki ke dalam sungai. Ikan-ikan kecil berebutan menciumi kakiku.

“Apa hanya ikan yang boleh mencium telapak kakimu?”

Radite telah berjongkok di sebelahku. Aku terperangah. Sama sekali tidak terdengar langkah kakinya. Rumput, ranting, dan tanah bersekongkol untuk mengaburkan bunyi.

“Siapa yang mau mencium telapak kakiku?”

Radite tertawa. Matanya hanya segaris. Garis pipinya tampak kukuh. Ingin kutorehkan perasaanku di sana, agar ia dapat merasakan degup ini. Radite dengan gerakan mantap menarik kakiku keluar dari dalam aliran sungai. Ia lalu membalut kakiku dengan syal yang tadi ia kenakan. Aku merasakan rasa hangat menjalar. Ia mengecup kakiku! Hasratnya menular. Ini terlalu cepat! Aku harus menghentikannya. Tapi, nalarku tak sejalan dengan perasaanku….

Tangannya menyibak rerumputan. Tumbuhan itu merunduk, mereka bersedia menjadi alas bagi tubuhku, bagi tubuhnya. Aku bukan sebatang kayu yang kaku saat burung pelatuk mematuki pokok pohonku. Tubuhku menggeliat seakan ada ratusan kupu-kupu dalam tubuhku yang ingin terbang ke luar. Tubuhku mengawang. Kupu-kupu dalam tubuhku membuatku mengambang, melayang. Tak ada yang sanggup menarikku ke bumi. Kecuali saat pagutannya berhenti….

Matanya yang cokelat tua memandang lekat. Ingin kucungkil bola matanya, agar orang terakhir yang dilihatnya adalah aku. Hingga dalam lamur kenangannya, aku yang paling cemerlang. Hanya aku yang bersemayam di benaknya. Hanya aku.

“Maaf….”

Mengapa lelaki harus meminta maaf saat mencium perempuan yang belum resmi jadi kekasihnya. Apa agar mereka terlihat alim dengan penyesalannya itu? Seakan kami perempuan adalah makhluk suci yang tak terciprati gairah. Bila kami sebagai perempuan berkeberatan, maka kami akan menendang pangkal paha lelaki sebagai bentuk pembangkangan. Aku memagut sepi yang terentang antara aku dan dia. Dia gelagapan seakan terseret ke kedalaman arus sungai. Nyaris terbenam. Dapat aku lihat belalak matanya.

“Jangan berhenti…,” lenguhnya.

Aku tahu, sejak detik itu dia akan mengabdi.

“Apa kau selalu melewatkan sepimu di taman itu?”

Kini kami telah berpindah ke teras rumahku. Daun suplir melambai tertiup angin. Seekor capung kuning terbang mendadak.

“Kau tahu, sungai itu membelah taman dan kuburan. Kadang-kadang aku membayangkan, kalau aku melompati sungai itu, aku masuk ke dunia lain. Kematian.”

Wajah Radite tampak keruh. Ia tak suka aku membicarakan kematian. Apa yang ia takutkan? Bukankah kita semua akan mati. Dan, kebanyakan sendirian. Seperti saat kelahiran. Radite masih terdiam.

“Kau kenapa? Apa ada ucapanku yang salah?”

“Kenapa kau sering ke taman itu?”

“Maksudmu?”

“Aku ke sana bukan karena kebetulan.”

Aku mengerutkan dahi.
“Aku tahu kamu sering ke sana, sebelum kamu bercerita tadi, maka aku sengaja menemuimu di sana.”

“Kau tahu, sebelum aku cerita?”

“Ya.”

Pandangannya melembut. Tetapi, situasi tidak mengizinkan aku leleh karena tatapannya itu.

“Jangan sering ke sana, kau tahu orang desa membicarakan engkau….”

“Membicarakan aku?”

“Mereka bilang, kamu sering ke taman bercakap dengan arwah.”

Aku tertawa. Sakit. Ternyata keputusanku menarik diri dari dunia luar justru memberi mereka peluang untuk bercerita buruk tentang aku.

“Ya. Aku memang bercakap dengan arwah. Itu ritual yang harus aku lakukan.”

Radite menatapku dengan mulut terbuka. Wajahnya yang pucat saat itu adalah potret dirinya yang paling buruk.

“Arwah tidak pernah bergunjing. Hanya wujud mereka yang menyeramkan. Tetapi manusia, seperti orang-orang desa tidak dapat terbaca hatinya. Mereka hanya menampilkan wajah ramah mereka. Palsu.”

“Mereka tidak bergunjing. Mereka hanya mempertanyakan apa yang kamu lakukan….”

“Apa kamu setuju dengan mereka? Bahwa aku bercakap-cakap de¬ngan arwah?”

“Kamu tidak bisa bersembunyi dari orang….”

Aku menatapnya tak mengerti. Mendadak aku mendapati sosoknya samar. Sesamar bayangan. Aku tak mengenali sosoknya.

“Kamu tidak bisa lari dari masa lalu….”

“Apa yang kau tahu tentang aku?! Apa yang kamu dengar dari celotehan para penggunjing itu?”

“Kamu tidak pernah bercerita tentang masa lalumu….”

“Kamu mau tahu?”

Dia mengangguk. Mendadak mataku panas.

Aku harus menceritakan hal paling menyakitkan dalam hidupku. Penjara membiarkan aku menunggu. Penjara tak datang pada hari pernikahan kami. Aku bukan perempuan bodoh yang menunggu dengan kebaya pengantin, apalagi menyebar undangan. Aku duduk di depan jendela menunggunya. Itu mungkin tetap sebuah kebodohan. Tetapi, siapa pun bisa menjadi orang paling bodoh, bila berhubungan dengan cinta. Tak peduli usia, juga jenis kelamin.

Aku tak khawatir akan diriku. Aku justru mengkhawatirkan Ibu.


Penulis: Anggoro
Pemenang Penghargaan Sayembara Cerber femina 2008


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?