Fiction
Perempuan Bernama Riska [2]

6 Mar 2012

<<< Cerita Sebelumnya

SETAHUN SEBELUMNYA
Sabtu malam, Bowo berkenalan dengan Riska di suatu pesta ulang tahun. Bowo duda dengan dua anak, pejabat di suatu instansi pemerintah. Riska janda tanpa anak, pengajar di perguruan tinggi swasta. Bowo duda karena istrinya meninggal, sedangkan Riska pernah bercerai.

Bowo menyukai Riska, terutama karena Riska tidak punya anak, sehingga dari segi materi tidak akan membebani Bowo. Selain itu, menghindari penolakan dari anak-anak Bowo. Menu­rut penilaian Bowo, Riska enak sebagai teman bicara. Apalagi, mereka punya kesamaan hobi, yaitu musik.

Riska menyukai Bowo, meskipun usianya cukup tua, karena Bowo itu baik, penuh perhatian, dapat mengimbangi pemikir­an Riska yang usianya relatif muda. Tentu saja, menurut perkiraan Riska, dari segi materi, Bowo adalah duda yang mapan.

Beda usia Bowo dan Riska cukup besar. Usia Bowo 56 tahun, Riska 35 tahun. Mengetahui usia Bowo yang hampir sama dengan usia ibunya, semula Riska hanya ingin berteman saja, untuk mengisi waktu luang. Ia menganggap Bowo sebagai teman untuk menghilangkan rasa sepi dan kesendirian, sebelum menemukan pria yang tepat untuk menjadi suaminya. Namun, setelah menjalin hubungan selama lima bulan, ada rasa ketertarikan Riska pada Bowo lebih dari sekadar pertemanan.

Dalam suatu pembicaraan, Bowo memberi tahu Riska, mes­kipun dia pejabat pemerintah, dia bukan termasuk orang yang kaya. Bowo mengatakan bahwa penghasilan dan tabungannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sederhana. Riska menganggap ucapan Bowo hanya sekadar basa-basi. Ada juga orang kaya yang tidak mau mengatakan bahwa dirinya kaya. Menurut Riska, mana ada pejabat pemerintah eselon satu yang tidak kaya.

Meskipun hubungan Bowo dan Riska berjalan lancar, kadang-kadang timbul rasa bimbang di hati Bowo, apakah Riska orang yang tepat untuk mendampingi dirinya yang sebentar lagi akan memasuki usia pensiun? Apakah beda usia yang begitu jauh antara dirinya dan Riska tidak akan menimbulkan masalah? Apakah setelah dia pensiun dan punya banyak waktu untuk di rumah, Riska tidak bosan selalu bertemunya?

Riska merasa tidak menemui kesulitan berhubungan dengan orang setua Bowo, terlebih karena sikap Bowo yang penyabar, dan ada kalanya romantis. Mereka berdua dapat saling menyeuaikan diri, tidak terlihat adanya kejanggalan satu sama lain.

Suatu ketika, saat Bowo dan Riska jalan-jalan di mal, Riska berkata, “Mas, orang-orang itu kalau melihat kita pasti bertanya-tanya, kita ini pasangan suami-istri atau bapak dan anak?”

“Ah, biarkan saja. Biar mereka bingung sendiri. Kamu sendiri malu nggak bergandengan tangan denganku?”

“Ya, enggak, dong,” jawab Riska, sambil tertawa. Ia malah mempererat pegangan tangannya ke lengan Bowo. “Sebetulnya, yang salah itu kamu. Cari istri, kok, beda usianya jauh sekali”

“Bukannya kamu yang salah? Kok, mau-maunya dengan orang tua seperti aku!”

Setelah menjalin hubungan sekitar lima bulan, Bowo melamar Riska. Bowo pikir, makin cepat menikah makin baik, untuk menghindari fitnah dan pembicaraan orang, karena predikat duda dan janda. Semula Riska keberatan. Riska merasa belum siap untuk menikah. Namun, setelah beberapa kali Bowo meyakinkan Riska, akhirnya Riska setuju untuk menikah siri dahulu. Nanti, tiga bulan kemudian baru meresmikan pernikahan mereka lewat KUA.

Atas permintaan Bowo, Rika setuju bahwa setelah menikah mereka tidak akan tinggal di rumah Bowo. Bowo tidak ingin kamar tidurnya yang banyak menyimpan kenangan manis ketika hidup bersama almarhumah istrinya, dimasuki wanita lain. Permintaan Bowo untuk tidak tinggal di rumahnya, justru sangat menguntungkan Riska. Bagi Riska, kalau dia harus tinggal di sana, ia malah khawatir, seandainya di kemudian hari terjadi sesuatu dengan Bowo, akan timbul masalah dengan anak-anaknya. Riska kemudian meminta pada Bowo, agar setelah menikah dapat memiliki rumah atas namanya sendiri, sebuah rumah untuk ditempati mereka berdua.

Selama menjalin hubungan, Bowo telah mempertemukan Riska dengan anak-anak dan menantunya. Sebaliknya, rencana Riska untuk memperkenalkan Bowo dengan ibunya, dan adik-adiknya yang tinggal di Semarang, tak kunjung terlaksana. Bahkan, Riska belum memberi tahu keluarganya tentang hubungannya dengan Bowo. Bowo hanya diperkenalkan kepada kakak Riska yang tinggal di Tebet Barat. Itu pun Riska mengatakan bahwa Bowo hanyalah teman biasa.

Acara nikah siri antara Riska dan Bowo dilakukan pada bulan Oktober 2005 hari Minggu siang, di sebuah masjid kecil di dekat rumah Bowo. Dari pihak Bowo hadir kedua anak dan menantunya. Dari pihak Riska, tidak ada seorang pun yang tampak hadir. Persetujuan keluarga Riska hanya dalam bentuk surat yang mengatasnamakan pamannya, Dewanto. Bowo tidak pernah tahu dari mana Riska memperoleh surat tersebut. Ketika Bowo menanyakan ketidakhadiran keluarga Riska, Riska mengatakan bahwa mereka akan hadir nanti pada saat meresmikan pernikahan di KUA.

Setelah menikah, untuk sementara mereka mengontrak rumah dan menjalani kehidupan sebagai suami-istri. Bowo betul-betul menikmati hidup berdua dengan Riska. Bowo begitu mencintai dan menyayangi istrinya, sehingga apa saja permintaannya selalu dipenuhi. Meskipun bukan barang bermerek dan mahal harganya, frekuensi belanja Riska cukup tinggi.

Bowo juga punya tugas baru, yaitu antar-jemput Riska mengajar. Karena itu, Bowo jadi sering meninggalkan kantor. Bahkan, hari Sabtu dan Minggu, saat orang lain berlibur dan beristirahat, Bowo harus siap mengantar istrinya mengajar di kelas extension bagi para karyawan. Bahkan, tidak jarang Bowo harus menunggu beberapa jam di dalam kendaraan, kalau Riska mengajar di kampus yang lokasinya di pinggiran Jakarta. Namun, semua dilakukan Bowo dengan senang hati.

Riska sendiri memperlihatkan diri sebagai seorang istri yang mencintai suaminya, melayani dengan baik. Yang membuat Bowo terkesan adalah sikap Riska yang ramah dan bersahabat dengan anak-anak dan saudara-saudara Bowo.

Sabtu pagi, di bulan November 2005, Bu Puji hadir pada acara pengajian ibu-ibu di perumahan Ganesya, di daerah Pandean Lamper, Kecamatan Gayamsari, Semarang. Bu Puji bukan penghuni perum Ganesya, rumah Bu Puji malah agak jauh, sebelah barat perumahan Ganesya. Tapi, karena yang mengundang teman dekat, dan topik ceramah kelihatannya menarik, Bu Puji ingin hadir.

Ketika acara pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran selesai dan akan dilanjutkan dengan ceramah, Bu Sri yang duduk di sebelah kanan Bu Puji memperkenalkan diri dan menyalami Bu Puji. Sambil mendengarkan ceramah, mereka berdua terlibat pembicaraan tentang masalah keluarga. Ujung-ujungnya, pembicaraan menyinggung masalah anak-anak.

Dengan agak berbisik, khawatir mengganggu ibu-ibu yang lain, berkata Bu Sri, ”Anak saya dua, laki-laki, belum ada yang menikah. Yang tertua, Anton, usianya sudah 34 tahun, belum juga ada tanda-tanda untuk menikah. Padahal, saya sudah kepingin momong cucu.”

“Mungkin belum ketemu jodohnya,” kata Bu Puji.

“Mungkin juga. Ibu punya berapa putra?’

“Anak saya enam orang, perempuan semua.”

“Wah, Ibu beruntung punya enam orang anak perempuan. Punya anak perempuan itu berkah, Bu. Anak perempuan biasanya lebih sayang pada orang tua. Berapa yang sudah berkeluarga ?” tanya Bu Sri.

“Tinggal satu orang.”

“Wah, kebetulan. Bagaimana kalau kita besanan, Bu?”

Bu Puji tidak tahu apakah pertanyaan Bu Sri itu serius atau hanya bercanda. Karena itu, Bu Puji menjawabnya dengan bercanda.

“Monggo.... Jangan-jangan pulang dari pengajian saya malah dapat oleh-oleh calon menantu,” kata Bu Sri, tertawa. “Ya, siapa tahu. Kalau Tuhan menghendaki, kan tidak ada yang mustahil,” kata Bu Sri.

Seminggu kemudian, pagi-pagi Bu Sri bertamu ke rumah Bu Puji di kompleks perumnas Tlogosari, Kecamatan Pedurungan. Perumnas yang lokasinya berada di tengah-tengah antara jalan raya Soekarno Hatta itu cukup luas. Agak kesulitan Bu Sri mencari rumah Bu Puji. Perumahan yang dibangun dengan sistem blok, dan bentuk rumah yang hampir seragam, agak sulit dibedakan. Namun, setelah sopir bertanya pada tukang-tukang ojek yang mangkal di ujung jalan, akhirnya rumah itu bisa ditemukan.


Penulis: Adam Saleh


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?