Fiction
Perca [2]

17 Sep 2012

<<< Cerita Sebelumnya


USAI KUBAYAR PENAT dan beban karena perjalanan, kubasuh seluruh tubuh. Rampung salat Asar, kubawa kaki membuka dan melewati setiap tirai pembatas antar masing-masing ruangan. Dari sekian sisi dan sudut, tidak ada ruang sempit atau kosong, meski kebanyakan tampak menganggur. Juga tak satu pun ruangan yang perabot-perabot utamanya berdiri tanpa ditemani pemanis yang lain. Aku masih ingat, awal pertama kumulai bisnis ekspor kerajinan kayu Bali, empunya rumah ini yang menyewa jasaku untuk mencarikan furniture-furniture tertentu berkualitas tinggi yang masuk dalam garis seleranya. Sekarang sudah kutemukan di mana masing-masing diletakkan.
“Tante Ru, udah kusiapin jeruk hangat kesukaan Tante,” ucap Uti, menyambutku tepat saat menginjak lantai dapur. Setelah meletakkan nampan di atas rak, Uti menggandengku menuju gelas jeruk hangat di serambi belakang.
“Perabot baru, ya?” tanyaku spontan, begitu sampai, sembari meraba meja marmer tempat berdiri dua gelas jeruk hangat kami. Meja dari batu pualam putih itu ditemani empat kursi kayu jati dengan alas duduk dari rotan sederhana.
“Baru dibeli sekitar satu bulan lalu.”
“Beli di mana? Sepertinya ini barang antik.”
“Dari Mbah Sasmito,” jawab Uti pendek, sambil membuka tutup gelas. Lalu meneguk isinya hingga bersisa kurang dari setengah tinggi gelas.
Kuketuk-ketuk dan kuraba-raba lagi permukaan meja marmer itu. Keras, dingin dan luar biasa halus. Kerangka kursinya pun tak kalah halus seperti habis diamplas. Berkayu jati, warna cokelat muda tanpa pelitur, dan tak ada motif ukir. Tampaknya sudah berusia puluhan tahun, sebab kaki penyangga meja dan kursi-kursi yang menemaninya terlihat sudah berumur. Selain warna kayunya, rotan yang dianyam sebagai alas duduknya pun sama pudar dan pucat.
Rumah seumur jagung ini berisi barang-barang baru. Menurutku hanya satu perabot ini yang berbeda status. Ada sesuatu yang memaku pandanganku padanya. Sejak awal kutemukan tadi, seperti ada magnet yang menyatukan pandanganku dengan bagian pusar meja. Membuatku ingin tahu lebih banyak. Bisa kutanyakan lebih lanjut pada si empunya nanti.
Air jeruk buatan Uti kuteguk beberapa kali untuk menyela rasa penasaran. Perpaduan rasa manis dan asamnya kurang pas di lidahku. Lain dengan bikinan sendiri. Apa pun itu, yang dikerjakan atau dibuat dengan tangan sendiri memang lebih memuaskan, termasuk minuman. Lagi pula, si Uti, bocah manja itu, sejak kapan belajar membuat minuman sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara seretan sandal. Kutengok melalui teralis jendela yang bervitras ringan tembus pandang. Mbak Sum muncul dari depan membawa satu cething nasi lengkap dengan lauk-pauk dan gulai kambing. Nasi hajatan. “Dapat berkat dari Mbah Sasmito,” ia mengabarkan. Lalu menyiapkannya di atas meja makan di dapur untuk makan malam kami nanti.
Tiba-tiba Mbak Titin juga datang. Ia sudah berpakaian dan bersisir rapi. “Sudah cantik, Mbak?” sapaku. Seingatku dulu, waktu matahari tergelincir di ujung langit barat, beliau baru kembali dari kandang.
“Jangan berlama-lama di luar. Mari masuk,” jawabnya cepat. Kutelan kembali pertanyaan lain yang buru-buru ingin kutanyakan padanya tentang meja itu. Aku dan Uti berdiri membawa gelas kami masing-masing. Kami masuk ke dalam, menghampiri dapur, mengepung meja makan untuk sekadar duduk menghabiskan isi gelas. Mbak Titin cepat-cepat mengunci pintu penghubung dapur dengan serambi belakang, lalu mengunci teralis besi. Kurasa ini hal yang tak biasa. Aku ingin tanya lagi, tapi nampaknya ia sedang waswas tentang sesuatu.
Kutatap wajah Uti yang duduk di depanku. Ia mengangkat alis. Kulirik Mbak Titin, dia menjawab dengan tarikan dan dengusan napas panjang. Tatapan matanya menunduk menatap gelas dalam sela-sela sepuluh jarinya yang bersilang. Ada beban untuk berterus terang. Tak kupaksa. Mungkin saatnya belum tepat. Atau barangkali ia tak menemukan bahasa yang pas untuk menerangkan. Bisa juga karena tak paham perkaranya dengan benar. Salahku bertanya pada orang yang tidak tepat.
Perlahan mengabaikan rasaku, atmosfer senja terasa menghampiri kulit ari. Dinginnya menembus pori-pori kulit. Gemercik air kali berpadu nyanyian jangkrik dan belalang pohon mendampingi damai dan tenteramnya senjakala. Dari balik gebyog yang mengurung kami, sayup-sayup terdengar lantunan qoriah dari musala terdekat. Sedikit menenangkan dan mengobati kerinduan pada alunan Quran yang dua tahun terakhir tak pernah menyapa telingaku. Sejenak kuhanyutkan pikiran dalam syair-syair indahnya. Tapi, ia mendadak lenyap dari pendengaranku. Suara burung hantu menenggelamkannya. Dalam keremangan senja dari tempatku duduk, tampak burung hitam itu hinggap di dahan pohon sukun. Ia masih terus berbunyi. Beberapa saat disambung dengan jeritan kelelawar yang beterbangan di sekitar rumpun bambu belakang pagar.
Tiba-tiba angin berembus kencang. Pohon-pohon bambu bergoyang hingga berbunyi kriek berulang-ulang, meniup-niup vitras di balik teralis. Menumbuhkan pikiran yang tidak-tidak dan menyentuh bulu kudukku. Sementara Uti beranjak membenahi vitras itu, aku berdiri meninggalkan dapur, beriringan dengan kumandang azan magrib. Perlahan senja digiring menuju malam pekat.
Marmer Tua
Coba kalau di Bali, banyak hal yang lebih bermanfaat dan produktif yang bisa kukerjakan. Tidak begini. Apa pun dilayani. Berpangku tangan adalah sesuatu yang paling kubenci. Sejak kecil Bapak mendidikku keras. Demi cita-cita yang kugantungkan di langit sana. Demi kemajuan. Sebab keadaan ekonomi keluarga dulu tidak semapan dan semakmur sekarang. Bahkan, saat belajar di Jakarta, aku kerja paruh waktu. Kubiayai sendiri kuliahku. Membagi jam kuliah dan kerja secermat mungkin. Tak beda halnya Mbak Titin. Akhirnya kerja keras kami memang berbuah manis. Tapi, beginilah kesenjangan antara kehidupan sekarang dan masa lampau. Semua yang memanjakan itu tak menyenangkan. Selagi bisa kutangani sendiri, ya, kutangani sendiri. Perlahan kusyukuri nikmatnya kemandirian. Aku khawatir, lama-lama di sini bisa jadi pemalas.
Seperti malam ini. Pegal-pegal terasa lagi. Padahal, hanya semalam perjalanan. Dan aku sudah beristirahat seharian. Tidur yang selama itu belum pernah kunikmati selama hidup di Bali. Mobilitas yang tinggi menahanku untuk lebih sering terjaga. Walaupun begitu, badanku selalu fit. Tapi, di sini, kok, tidak. Meski hanya bersantai, suplemen makanan yang biasa kutelan tiap hari tak kukurangi. Mestinya vitalitasku sekarang tak beda dengan saat ‘berhabitat’ di Bali. Apalagi iklim dua tempat itu tak berlainan. Siang sama sejuk. Malam juga sama dingin.
Ada yang ganjil. Rasanya lubang hidung menyempit, dan paru-paru mengerut. Napas terasa berat. Bahkan, badanku pun serasa dibebani sesuatu. Ingin gerak, tapi badan berat. Jadi malas mengerjakan apa pun. Maunya cuma bersantai dan bermalas-malasan. Tiap kali menyentuh majalah, beberapa saat hasrat untuk membacanya lenyap. Sebentar-sebentar menguap. Coba menghindari kantuk dengan menyalakan teve, tapi lekas bosan. Tak ada program yang menarik. Kucoba buka notebook. Barangkali bisa terhibur dan melek lagi dengan musik dan video favorit yang kusimpan di dalamnya. Tapi, lagi-lagi nihil. Kantuk justru menjadi-jadi. Kandil-kandil kristal yang menggantung di langit-langit ruang keluarga yang sedang menyala berkilauan pun tak mampu melebarkan bukaan kelopak mataku. Sebenarnya sudah kurasakan atmosfer yang berbeda sejak awal kuinjakkan kaki di sini tadi pagi.
Sementara aku mengeluhkan kondisi fisikku sendiri, dari ruang keluarga ini kudengar Mbak Titin sibuk bercengkerama dengan dua orang tamunya yang perangkat desa di ruang tamu. Ramai di luar, tapi sepi di sekelilingku. Uti belajar serius di kamar. Namun, saat kuintip, kepalanya sudah berayun naik turun. Di ruang ibadah, Bapak dan Ibu masih tampak khusyuk  dengan wirid-nya. Tasbih hijau berputar perlahan di tangan kanannya.
“Kamu betah sekali di Bali? Nggak pulang-pulang. Tega sekali sama keluarga.” Tahu-tahu Mas Igun menepuk pundakku dari belakang. Cukup mengejutkan, membuat mataku melek. Belum sempat mengobrol dengannya sejak tiba dari rumah sakit sore tadi.
 “Sorry, Mas. Memang sudah lama aku tak bersilaturahmi kemari. Beberapa tahun terakhir ada peningkatan ekspor kerajinan. Juga kerapnya acara pameran di luar negeri.” Mas Igun hanya mendengus.
“Hey, kamu makin makmur rupanya,” katanya terkejut, waktu memperhatikanku lebih dekat. “Sedikit lebih berisi daripada yang dulu. Sudah banyak gizi ternyata.” Selorohannya membuatku tertawa. “Bagus. Menurutku penampilanmu sekarang lebih menarik daripada dulu. Terlalu langsing itu nggak cantik, seperti orang penyakitan. Malah dulu kukira kamu cacingan,” lanjutnya. Komentar seorang dokter tak lepas dari bahasa kesehatan. Tapi, pujian itu membuat tawaku lebih renyah.
Usai berbincang sekadar melepas kangen, aku lalu bertanya tentang meja marmer putih. “Meja itu kami beli dari Mbah Sasmito. Awalnya kami tak menginginkannya, tapi beliau menawarkan. Katanya sedang butuh uang. Jadi langsung kami beli tanpa tawar-menawar. Kasihan, beliau tak punya sanak saudara,” terangnya.
“Berapa harganya, Mas? Sepertinya itu barang lawas,” kataku, tanpa perlu kucari tahu lebih lanjut siapa Mbah Sasmito.
“Tiga juta rupiah. Memang. Lawas sekali. Katanya meja itu diperoleh puluhan tahun yang lalu dari seorang pembesar negeri ini, waktu beliau menjadi tangan kanannya. Kalau bukan karena kebutuhan yang sangat mendesak, meja itu takkan dijualya, walaupun beliau tak punya ahli waris.”
Aku mengangguk ringan. Mungkin, selain untuk mendapatkannya butuh perjuangan, benda itu menyimpan kenangan tersendiri bagi penjualnya. Jadi, terlalu berharga untuk jatuh ke tangan orang lain. Ingin kutanyakan lagi tentang pengabdian yang pernah diberikannya dulu, namun lekas kutepis pikiran itu. Bukan kebutuhanku memperhatikan yang begini. Lagi pula, sejak dulu aku hanya butuh belajar tentang bahan dasar, ukuran, wujud, dan tingkat kesulitan pembuatan suatu kerajinan untuk menilai kualitas dan menentukan kelayakan harganya. Penilaianku berkisar nilai ekonomisnya saja. Barang lawas begitu, kalau di tanganku, pasti kujual dengan nominal rupiah yang jauh lebih tinggi. Marmer putih dan   pucat itu memiliki nilai eksklusivitas. Orang awam tak pernah berpikir bahwa seperangkat meja usang itu barang langka, jadi incaran para kolektor mebel antik dan sudah sangat susah dijumpai. Makin tua, makin jarang, makin tinggi nilai dan harganya.
“Tapi anehnya, beberapa hari setelah meja itu di sini, rumah ini jadi nggak beres.” Kubenahi posisi dudukku, bersiap mendengarkan dengan serius. Kayaknya Mas Igun mau cerita tentang masalah yang dihadapi saat ini. “Rumah ini jadi horor,” katanya, dengan menenggelamkan kata terakhir. Lalu berhenti sementara untuk mengambil napas panjang. “Terkadang, pas aku bangun tengah malam, kudengar suara gedebugan, seperti orang berlarian dan berantem di belakang rumah. Malah sering kali tiap habis magrib, ada asap pekat masuk ke dalam rumah. Kakakmu yang pertama kali melihatnya. Entah dari mana asalnya, karena orang rumah tak ada yang membakar sesuatu. Asap itu masuk lewat teralis kayu,” cerita kakak iparku itu, sambil menunjuk ke arah jendela terbuat dari potongan kayu tidak tebal di atas dinding gebyog yang disusun seperti teralis.
Belum kubuang pandanganku darinya, tiba-tiba seekor kelelawar masuk melalui salah satu celah teralis kayu itu. Terbang berkitaran di dalam rumah. Seperti berotasi, mamalia bersayap itu berputar-putar di bawah langit-langit berulang kali dengan arah gerakan yang sama.
NIATKU PULANG KE JAWA adalah untuk melepas rindu. Demi Ibu. Dan cuma sebentar saja. Tak bisa dan tak mau lebih dari seminggu. Sebab, di Bali pekerjaanku menumpuk. Meski arsitektur tradisional rumah ini tak beda dengan rumahku di sana, dengan banyak ornamen  kayu dan arca-arca, tetap tak senyaman tinggal di hunian sendiri. Lebih-lebih hawa di rumah ini banyak makhluk halusnya (meskipun aku tak bisa melihat). Tapi, kondisi saat ini tak memungkinkan untuk meninggalkan mereka secepatnya. Ibu bilang berulang kali, saat seorang dari keluarga kita bermasalah, kita wajib turut andil menyelesaikannya.
“Kamu tahu, panen ayam terakhir kemarin hanya kakakmu yang berhasil. Padahal, rata-rata peternak lain di  kampung ini, seperempat dari jumlah bibitnya mati,” tutur Ibu, memberi tahuku.
“Lantas, bagaimana sikap mereka pada Mbak Titin, Bu?”
“Ada beberapa yang belajar padanya. Mbakmu pun tak sungkan menularkan ilmu. Tapi, ada salah seorang yang cemburu. Sepertinya, dia yang mengirim ‘barang halus’ itu ke rumah ini,” terangnya. “Itulah salah satu risiko jadi pengusaha. Kalau rugi, ya, ditanggung sendiri. Kalau berhasil dan dicemburui orang, ya, harus diatasi sendiri. Makanya, Ru, belajarlah dari kakakmu. Kalau nanti kamu jadi pengusaha, ya, jangan patah semangat. Orang berbisnis dan berusaha memang banyak cobaannya,” tutur beliau, seperti saat menjelang kuhadapi ujian sekolah dulu.
Benar saja kalau Mbak Titin butuh bantuan Bapak dan Ibu. Keberadaanku di sini pun membantunya. Seperti tadi sore, tiap malam habis magrib, kami sekeluarga membaca surat Yasin. Kami niatkan agar rumah dan seisinya ini terhindar dari godaan roh jahat. Makin banyak yang mengaji, makin afdal doanya.
Dulu aku sempat tak percaya kalau hal yang begituan ada. Memang sudah zamannya nuklir, bukan sihir. Tapi, pikiran itu berangsur-angsur terkikis. Sejak aku tinggal di Bali, tiap hari tidak pernah tidak kulihat sesaji di depan rumah-rumah. Tak kumengerti betul filsuf sesaji itu. Tapi, menurutku, baik sesaji Bali atau Jawa, itulah upaya harmoni terhadap alam seisinya. Ada alam nyata, ada pula alam gaib. Ada makhluk kasatmata, ada pula makhluk tak kasatmata. Wajib saling menghargai keberadaan masing-masing. Aku pun percaya adanya kekuatan gaib, yang semuanya itu bersumber dari Yang Mahakuasa. Tapi, kenyataan hidup di dunia tidak bisa lepas dari keberadaan oknum yang menyalahartikan dan menyalahgunakan kekuatan gaib, untuk merugikan atau mencelakai orang lain, misalnya.
“Apa kau merasa ada yang tak biasa dengan meja marmer di serambi belakang itu?” tanya Bapak padaku.
“Benar, Pak. Sejak awal kulihat, seperti ada yang ganjil dengan meja itu,” jawabku. Wujud meja marmer putih itu membayang dalam benakku.
“Mungkin lebih baik besok kudatangkan wong tuwa (‘orang tua’: orang sakti, orang yang memiliki kekuatan spiritual),” ucap Mbak Titin.
“Jangan dulu,” sergah Bapak. “Kalaupun ada yang menunggui, ia akan pergi sendiri kalau mendengar bacaan Yasin,” lanjutnya.
“Sudah beberapa minggu kita membacanya, tapi ia terus mengganggu,” sanggah Mbak Titin.
“Kenapa tak menanyakan pada penjual marmer itu saja dulu?” kataku, menengahi. “Barangkali saja meja itu horor dari sononya.”
Kulihat Bapak dan Mbak Titin saling bertatap pandang. Lalu Bapak menggeleng.
“Tak mungkin pula pengirimnya orang tua itu. Kalaupun benar ‘barang halus’ itu bersembunyi dalam meja marmer, barangkali ia cuma perantara. Orang suruhan saja,” kata Mbak Titin, tak sepakat juga.
“Lalu bagaimana? Jangan dibiarkan lama-lama. Selama kita tak melawan, seisi rumah ini akan terus dibuat malas bekerja dan sulit berpikir sehat. Lama-kelamaan guna-guna itu memperdaya kita. Kondisi ekonomi kita bisa hancur. Lihat si Uti, beberapa pekan terakhir hasil ulangannya jeblok gara-gara susah konsentrasi dan cepat mengantuk saat belajar. Lihat aku, tiap sore hanya beberapa gelintir pasien yang datang berobat. Padahal, sebelumnya minimal belasan. Lihat kamu, sudah berapa ratus ayam mati dalam sepekan?” Mas Igun mengucapkan dengan nada resah bercampur  marah.
Baiklah. Cepat-cepat kita datangkan ‘orang tua’ nanti,” jawab Mbak Titin.
ADA SESEORANG YANG berdiri mengintipku dari emperan rumah melalui celah teralis. Perempuan. Kutoleh dan kutatap pula ia. Entah apa yang kurasa. Kami hanya berpandangan. Sekian detik ia tak berkedip. Sekian detik ia membuatku terpaku. Sosok itu sepertinya sangat kukenal.
Ia lalu berjalan pelan-pelan mendekati daun pintu. Penampilannya jadi terlihat jelas. Rambut hitam berkonde. Berkebaya putih dan berkain batik motif sidomukti seperti pengantin. Jalannya mulus sekali. Sepertinya tidak berselop. Tidak pula bersandal. Kalaupun memakai, tapi tak terlihat karena kain tapihnya yang panjang hampir menyentuh lantai. Perlahan jarak kami makin dekat. Ia terus menuju posisiku berdiri di dalam dapur.
Sosok itu makin dekat. Dan benar, itu aku. Oh, bukan. Aku hanya satu dan berdiri menghadapinya. Tapi, siapa sosok itu? Dua sosok serupa saling bertatapan. Sosok yang serupa aku itu datang mendekati sosok yang aku sebenarnya. Tapi, tatapannya lesu sekali. Wajahnya sayu dan kusut. Ingin kudekati juga sosok itu, kulangkahkan kaki untuk menjemputnya. Kuraihkan tangan untuk menyentuh wajahnya. Tapi, ia justru mundur dan berbalik. Kupercepat langkah untuk mengejar dan menghentikannya. Dari daun pintu ia berbelok ke kiri. Heran, jalannya mulus sekali, tak kudengar bunyi derap langkah. Sampai di dekat meja marmer tua, ia kembali menghadap ke arahku. Lalu mundur lagi. Mundur dalam sekali kelebat, dan lenyap, menyisakan aroma dedaunan busuk. (Bersambung)

Cerita Selanjutnya >>>






 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?