Fiction
Perca [1]

17 Sep 2012

Rumah Besar
AKU PULANG. Pulang ke rumah Mbak Titin yang luas bangunannya 1.000 m², yang tampak menjulang tinggi dan besar di tepi kali di tengah persawahan di dusun kecil Kecamatan Lebaksiu. Bapak dan Ibu sedang di sini, maka untuk sementara aku juga. Beberapa hari kemarin, saat aku masih di Bali, Bapak bilang untuk langsung menuju kemari.    
Sebelumnya sempat terjadi pertengkaran antara aku dan Mbak Titin di telepon. Gara-gara aku tak mau pulang. Pentingkah pulang, wong tiap hari saja video call. Bapak, Ibu, dan beliau bisa menyaksikanku di layar handphone-nya. Bocah ndableg (anak bandel), bahkan beliau mengataiku begitu.
“Pulang!” pintanya, untuk yang kesekian kali. Mendengung dan panas di telingaku.
“Benar-benar belum bisa,” responsku, mengulangi jawaban yang sudah-sudah. Aku benci diatur-atur. Meski aku adiknya, bukan berarti harus mematuhi perintahnya. Dikiranya aku tak punya urusan yang lebih berarti.
“Kamu benar-benar lupa sama Jawa?!” volume suaranya naik.
“Tidak. Masih banyak yang wajib kuurus, Mbak.”
“Pulang!”  tegasnya lagi. Seperti kala kecil dulu, saat menjemputku paksa karena terlalu lama bermain di rumah tetangga. Kesal beralasan, aku diam. Toh, kami berbeda ruang. Beliau tak bisa mencubit atau bahkan menampar. Nyinyir sekali kakakku itu.
“Sampai kapan tak menjenguk keluarga? Sudah lupa sama yang melahirkanmu, yang membersihkanmu setelah buang air? Tadi malam Ibu menangis lagi,” lanjutnya, masih dengan intonasi tinggi. Atas nama Ibu, paksanya. Menangis sekadar rindu padaku? Barangkali hanya taktik agar aku mau pulang. Tapi, membayangkan wajah Ibu berurai air mata, kemarahanku terkulai juga. Perlahan bongkahan batu dalam hatiku meleleh. Tapi, janji dalam hati, ingin kubalas dengan tak pulang lebih lama lagi, andai beliau membohongiku.
Itu terjadi hanya saat kami marah-marahan. Sama seperti saat masih bocah. Tapi, hari kemudian saat kukabari aku mau pulang, beliau tak lagi melewatkan sapaan kehormatan dan kasih sayang untuk saudara mudanya, ‘Dik’.
“Maafkan Mbak, Dik. Kami memang rindu padamu. Sekali-sekali kamu tengok tanah leluhur kita.” Aku diam. Kami diam beberapa detik. Biar beliau saja yang bicara. Meski sementara, rasanya belum rela meninggalkan Bali.
“Beberapa hari ini kuminta Bapak dan Ibu tinggal di sini. Ada sedikit masalah di rumah. Jadi kamu nanti tinggal di Lebaksiu juga,” lanjutnya, dua hari sebelum pesawatku lepas landas dari Ngurah Rai. Padahal, Bapak lebih dulu bilang begitu. Kakakku satu-satunya membangun hidup dan keluarganya di tanah leluhur kami, di bagian kecil Kabupaten Tegal itu.
“Ada masalah yang harus diselesaikan,” lanjutnya, sebelum memutus komunikasi nirkabel kami dengan memberi penekanan pada kata kedua. Seolah persoalannya itu tak bisa disela. Barangkali beliau khawatir kalau Bapak dan Ibu kuminta pulang ke Pati, kampung di mana kami dibesarkan. Entah hal apa yang wajib lekas dirampungkan, sampai-sampai butuh menghadirkan Bapak dan Ibu segala. Tapi, baiklah, sekalian berjumpa dengan dua keluarga.
Jadi, tadi malam, begitu mendarat di Soekarno-Hatta, aku langsung bertolak ke Gambir untuk sampai di Stasiun Tegal. Sekarang, tepat pukul enam pagi kujejakkan kaki dan kuhirup kembali atmosfer segar di pekarangan rumah kayu klasik yang rimbun dengan pohon sukun di Dusun Lebugawang.
Bapak berdiri di ambang tangga. Mengembangkan senyum, memamerkan gigi taring kirinya yang tinggal sebiji. Ibu menuruni satu per satu anak tangga, menghambur ke halaman. Menyambutku. Rupanya, mereka menantiku di teras depan sejak mobil belum masuk ke halaman.
Langkahnya bersemangat, mata pun hanya tertuju padaku. Kurendahkan badan saat tepat di hadapannya. Kurebut tangan kanan Ibu, dan kuletakkan di ujung hidung dan bibirku. Lalu kusambut uluran kedua lengannya dengan pelukan rindu pula. Kurasakan degup jantung Ibu dan kembang kempis dadanya. Bahkan, sempat beberapa saat turun buliran air mata, menangisi putrinya yang egois dan keras kepala, yang terlalu mencintai dunianya sendiri.
“Lemakmu bertambah. Makin makmur rupanya kamu, Ndhuk,” kata Ibu, sambil mengelus-elus lenganku. Lebih dari dua kali Lebaran aku terlalu sibuk menaklukkan dunia hingga tak sempat liburan ke Pati. Tapi, rupanya Ibu awet muda. Meski tinggal beberapa bulan menginjak kepala enam, kulihat belum ada uban yang mengganggu rambut hitamnya. Masih lebat dan berkilau. Tapi, badannya lebih kurus. Sedangkan bapakku, lebih pas disebut bapaknya ibuku, alias kakekku. Rambutnya nyaris putih rata. Sejak pensiun, Bapak makin giat ‘ngantor’ di sawah. Saking sibuknya berjemur bersama tanaman padi dan tebu, sampai-sampai kulitnya hampir selegam Nelson Mandela. Cuma, Bapak lebih tampan dan hidungnya lebih mancung daripada pemimpin partai politik anti-apartheid itu. Ukuran tubuhnya masih segemuk yang dulu.
Keduanya lalu menggiringku masuk. Bapak membantu Mbak Sum menyeret koper yang baru kuturunkan dari mobil. Kudengar ada telapak kaki kecil berlari-lari dan berjingkat dari belakang.
“Tante Ru, Tante Ru, kok, udah nggak langsing lagi,” katanya, sambil memelukku, melingkarkan dua tangannya padaku dari belakang. Kubalikkan badan, ternyata benar si Uti. Barangkali ia merasa rangkulannya tak lagi lega seperti dulu. Ia lalu mencium tangan kananku.
“Oleh-olehnya mana, Tan?” Gadis muda berparas ayu itu bertanya sambil nyengir. Membuatku gemas. Kucubit kedua pipinya. Dua tahun tak bertemu, baru menginjak tingkat pertama di SMP ia tumbuh hampir menyaingi tinggi badanku.
Handbag kubuka dan kuambil sebuah kotak perhiasan kecil yang kubeli di salah satu art shop di desa di Kecamatan Sukawati yang sangat termasyhur dengan kerajinan emas dan perak berkualitas tinggi. Beberapa yang lain kuberikan pada Ibu, Mbak Titin, dan Mbak Sum. Spontan Uti mengucapkan terima kasih sambil berjingkat begitu menemukan bros cantik di dalamnya. Kami sempat bercanda, bercerita, dan melepas kangen beberapa saat sebelum Mbak Titin mengingatkannya untuk lekas siap-siap berangkat ke sekolah.
“Mas Igun masih di rumah sakit. Barusan dia menghubungi, masih ada beberapa pasien yang harus ditangani. Kamu istirahat dan mandi saja dulu. Kamarmu di sebelah kamar Uti,” kata Mbak Titin, sambil menyeret koperku yang lainnya menuju kamar. Aku meraih secangkir kopi panas yang baru saja dihidangkan Mbak Sum di meja. Kuteguk isinya hingga bersisa setengah. Dua tahun tak kemari, rupanya ia masih ingat seleraku.
Kulanjutkan bercengkerama dengan Ibu. Akhirnya bisa kutatap lagi paras sederhana wanita yang amat kucintai ini. Hari ini aku pulang padanya, walau sebagian besar kesediaanku karena paksaan Mbak Titin. Sejak awal, beliaulah yang paling menginginkan kepulanganku. Katanya, sejak malam kedua di rumah ini, Ibu sering kali bermimpi bertemu seorang wanita yang rupa dan posturnya persis denganku. Siapa lagi kalau bukan aku, kata Ibu. Karena tak hanya datang sekali dua kali, itu jadi momok yang menghantui pikirannya berhari-hari. Sebab, dalam mimpinya badanku kurus dan layu. Meski telah kujelaskan keadaanku baik-baik saja, dan bahkan bisnisku pun maju, beliau tetap memintaku pulang. Seorang ibu punya firasat tajam tentang anaknya, tegasnya lagi.
Kukabarkan lagi hal yang sebenarnya dan sama, tentang diri dan bisnisku. Napas Ibu berangsur lega. Setidaknya yang selama ini dikhawatirkan hanya prasangka semata. Dengan mata cokelat yang sudut-sudutnya tampak mengeriput, Ibu menyapu seluruh lekuk raut wajahku. Lama, hingga membuatku trenyuh. Seakan aku mendengar keluhan dari hatinya tentang anak perempuan yang malas pulang menengok tanah tumpah darah gara-gara  larut dalam karier dan terlalu enjoy dengan uangnya ini. Maafkan aku, Ibu, kataku dalam batin. Beliau lalu melepas tatapannya seolah menjawab kata maafku, jangan kau mengulangi lagi.
SUNGGUH AKU BERSYUKUR dibesarkan dan dididik dalam keluarga yang demokratis ini. Bapakku, yang lahir dan besar di Lebugawang,  meskipun pria desa, beliau berpola pikir modern. Dengan keterbatasan ekonomi keluarga, beliau membanting tulang demi menyekolahkan Mbak Titin dan aku. Dan ibuku begitu gemi (hemat) dan telaten dalam menggunakan uang. Gaji pegawai negeri Bapak sekadar cukup membiayai hidup keluarga sebulan. Biaya sekolah dari hasil memeras keringat di ladang padi dan tebu.
Tak hanya pendidikan yang memadai, keduanya juga memberi kami kemerdekaan untuk menemukan jati diri sendiri sebagai anak manusia. Tak seperti umumnya orang tua di desa yang lekas menikahkan anak perempuannya setelah lulus SMP atau SMA. Setelah lulus S-1 di Jakarta, aku merantau sambil meneruskan S-2 di Denpasar. Kata Bapak, bila ingin mandiri dan maju, harus berani tinggal jauh dari keluarga dan kampung halaman seperti beliau dulu. Awalnya, Ibu membantah karena kami perempuan. Perihal kemandirian dan kemajuan, antara laki-laki dan perempuan sudah setara perolehannya, tandas Bapak lagi. Entah bagaimana itu bisa tumbuh dalam pikirannya. Padahal, menurut cerita Mbak Titin, saat ini lulusan sarjana di desa kelahiran Bapak ini bisa dihitung dengan jari. Begitu juga di kampung kelahiran Ibu di Pati, yang notabene profesi kaum perempuannya adalah buruh.
Dulu, sebelum Mbak Titin menjadi pengusaha terkaya di Lebaksiu seperti sekarang, beberapa tahun sebelumnya beliau bekerja di sebuah perusahaan gas alam terbesar di Indonesia di Riau. Namun, saat posisinya telah melejit dengan gaji selangit, beliau memutuskan untuk keluar dari zona nyamannya, keluar dari perusahaan. Lalu membuat kandang-kandang ayam pedaging di atas tanah seluas tiga hektare berisi lima puluh ribu ekor ayam dengan omzet ratusan juta rupiah tiap kali panen. Kerja keras Bapak dan Ibu berhasil. Aku pun memiliki kepuasan batin dan kemantapan tersendiri. Mereka telah membuatku bangga sebagai perempuan. Sayangnya, jam terbang tinggi membatasi intensitas bertatap muka dengan mereka. Malah Ibu pernah menyarankanku pulang dan merintis usaha di Jawa karena beliau telah merasa kehilangan satu putrinya.
Ibu bangun dari duduknya dan menyilakanku bersantai sendiri. Kemudian melenggang ke dapur dan meminta Mbak Sum menyiapkan air mandi hangat buatku. Sambil menunggunya, kuluangkan waktu untuk  cuci mata dengan rupa-rupa ornamen cantik dari kayu yang bergantungan di dinding di sekelilingku.
Kuperhatikan rumah besar ini masih butuh beberapa manusia lagi untuk mencukupi volume ruangnya. Bertambahnya dua orang, dan satu lagi aku, masih belum seberapa untuk mengurangi ruang kosong di dalamnya. Putri tunggal Mbak Titin pun tampaknya tak banyak menyita ruang untuk bermain. Pada jam-jam tertentu rumah besar ini kosong bila kebetulan Mas Igun kerja di rumah sakit, Mbak Titin mengontrol kerja karyawan di kandang ayam, dan Uti bersekolah.
Usianya baru empat tahun, tapi sudah sempurna isinya. Baik luar maupun dalam, penampilannya seperti rumah lawas. Bahkan ornamen-ornamen kayu yang bergantungan di dinding, dan patung-patung kayu yang beberapa darinya kubawa dari Bali menambah kesan horor pada rumah yang enam puluh persen berdiri dengan kayu jati ini. Meski tak bergaya joglo atau limas, tapi gebyog, saka, rusuk, langit-langit, kusen pintu dan sebagian besar perabot berukir motif swastika yang termasyhur dari Jepara cukup mencerminkan kuatnya spiritualisme kejawen si tuan rumah. Tak hanya Jawa, tapi sebagian patung-patungnya juga mewakili Bali. Dengan hadirnya aura Bali, setidaknya aku bisa merasakan atmosfer rumah sendiri.
Sambil menikmati kopi, kulemparkan pandangan pada sekujur ruangan ini. Pemanis ruangannya bertambah banyak rupanya. Lampu meja kuningan dengan aksen batu beraneka warna berdiri cantik di atas meja berukir sederhana di sudut ruangan yang belum kulihat saat terakhir kali aku kemari. Juga beberapa jambang bunga besar dari tembikar yang dari dalamnya tersembul   aneka bunga dalam karangan yang serasi berdiri manis mendampingi bufet teve. Ada lagi gambar Prabu Kresna yang diwayangkan pada kulit sapi utuh berpigura kayu mahoni ukir digantung di dinding depan ruang kamar Mbak Titin. Satu yang terakhir itu pasti dibawa dari rumah keluarga di Pati.
Lalu kurebahkan tubuh di atas single sofa tepat di depan arca Wisnu terbang menunggang garudanya. Di hadapanku inilah benda interior yang paling menghabiskan tempat di ruangan ini. Arca kayu setinggi dua meter produk Desa Sebatu yang kukirim dari Bali tiga tahun lalu itu berdiri gagah merajai ruangan ini. Kuperhatikan torehan, cukilan, dan pahatannya dari ujung cakar garuda hingga ujung mahkota sang dewa pemelihara, dari badan hingga ujung-ujung bagiannya masih tampak utuh sesempurna saat aku membelinya dari Pak Nuraga dulu. Sepertinya, lapisan peliturnya pun belum ada yang tergores.
Kesempurnaan wujudnya merayuku untuk menyelami sesuatu yang kasatmata pada benda seni ini. Kepakan sayap burung mitologis yang lebarnya mencapai satu setengah meter dan tingginya melebihi mahkota Wisnu itu memamerkan urat keperkasaan. Sepasang mata besarnya melotot dan menantang langit-langit seolah siap menerkam. Gagah dan ganas. Sedangkan senyum dan tatapan mata Wisnu pancaran welas asih dan kebijaksanaannya, seperti yang menjelma dalam diri Raja Airlangga. Demikian ekspresi yang tampak itu seolah benar tersimpan ruh yang memberi jiwa pada benda mati ini. Sebuah karya seni yang tiada cela.
Aku beranjak begitu cangkir di tangan kananku tinggal menyisakan ampas, mengalihkan perhatianku dari Wisnu dan tunggangannya.
Krekeg… krekeg…
Baru berjalan beberapa langkah, kutoleh kembali patung itu. Kudengar tadi ada suara. Sepertinya ada sesuatu yang bergerak. Sayapnya. Benarkah kepakannya tadi selebar ini? Seingatku tadi hanya selebar tujuh deret ubin. Sekarang hampir sepuluh deret. Kuangkat pandangan ke atas. Mata garuda itu melirik menatapku. Bukankah tadi ia melotot menantang langit-langit? Mata besar dan menonjol itu seakan mau melepaskan bijinya keluar. Kuperiksa, kusentuh dan kupegang-pegang patung itu. Kaku dan keras. Juga diam. Ia hanya sebuah arca kayu. Ya. Jadi, tidak mungkin bergerak. Barangkali karena capek, konsentrasi, mata dan telingaku jadi terganggu.
Kuputar lagi mataku, menyapu segala sisi ruangan hingga sudut-sudutnya. Satu ruangan ini sudah tampak kaya dengan benda interior. Belum lagi kulihat ruangan lain. Aku masih ingat, beberapa bulan yang lalu kukirim sepasang patung Rama-Shinta dari kayu cempaka tua. Belum kulihat di mana ia diletakkan. Tapi, tubuhku sudah cukup lunglai untuk memelototi isi rumah ini. Kuurungkan hasrat untuk menemukannya. Lalu kuhampiri jendela kaca yang diberi lis kayu yang menjadi jaminan sirkulasi udara sehat di ruangan ini.
Dari sini, tampak pohon belimbing manis dan jeruk bali yang cabang-cabangnya berlomba tumbuh mencapai ujung pagar. Keduanya menempati urutan runner-up yang mendominasi kebun setelah pohon sukun. Ada juga beberapa pohon pisang raja di tepi kolam ikan nila yang tidak lama lagi bisa ditebang dan dinikmati buahnya. Dari sini pun aku seolah melihat aliran air sungai yang bening di balik tembok beton setinggi dua meter yang memagari rumah ini. Gemercik airnya dua puluh empat jam menjadi musik latar yang mengiringi segala aktivitas kehidupan di sekitarnya.
DI LINGKUNGAN RUMAH ini, selain desir angin yang menyapa tetumbuhan dan kicauan burung-burung gereja, hanya gemercik air itu yang menampakkan adanya kehidupan lain selain yang di dalam pagar beton ini. Dulu, sebelum berpagar seperti sekarang, kampung seluas setengah hektare ini adalah kebun sukun, mangga, dan rambutan milik ibu mertua Mbak Titin. Kampung itu dibeli untuk membangun rumah impiannya, rumah yang berdiri megah di tengah-tengah lahan luas yang terbuka, seperti istana di negeri Barbie. Rumah besar yang kesepian. Selain posisinya di pinggiran kali dan di tengah persawahan, ia berjarak cukup jauh dari rumah-rumah warga lain. Bahkan, Mbak Titin membeli tanah orang lagi untuk membuat cabang jalan desa sebagai akses menuju rumah ini.
“Maafkan Bapak yang tidak bisa menyambutmu di rumah sendiri.” Aku berbalik ke belakang. Bapak tiba-tiba datang menyela kenikmatanku. Lembut dan serak suaranya membendung tulus niatannya. Mendengarnya  dan melihat raut wajah tua pria yang mengalirkan darahnya padaku itu, tiba-tiba tumbuh rindu yang luar biasa melebihi saat kujumpa beliau pertama kali di depan halaman rumah besar ini tadi.
Aku menggeleng. “Tak jadi soal, Pak. Justru di sini sekalian berkumpul dengan keluarga Mbak Titin,” jawabku,  menatap lapisan kornea matanya yang putih kemerahan dan iris yang cokelat terang. Mata tua itu masih sama galaknya dengan dulu saat aku menantang beliau memarahiku gara-gara tanpa sengaja kupecahkan oncenya. Masih segar juga dalam ingatanku saat beliau menembangkan gending Maskumambang untuk meredakan tangisku acapkali ditinggal Ibu pergi, dua puluh lima tahun yang lalu, saat aku belum pandai mandi sendiri.
Sekilas tentang Bapak. Sebenarnya, hingga saat ini aku masih memendam tanda tanya tentangnya. Dulu beliau hijrah ke Pati (tanpa kutahu alasan sesungguhnya), lalu bertemu seorang wanita bunga desa, dan menikahinya. Kali pertama kuinjakkan kaki di tanah kelahiran beliau ini ketika resepsi pernikahan Mbak Titin dengan Mas Igun, putra kepala desa ini. Sebelumnya tak pernah mengajak kami berziarah ke makam kakek dan nenek kami, silaturahmi ke rumah saudara-saudara, kerabat-kerabat atau kawan-kawan sekolah beliau di tanah ini. Dulu pernah kutanya mengapa, jawabnya beliau anak tunggal lagi yatim piatu. Satu-satunya penerus darah Kawidjaja yang tersisa. Beliau hanya diam ketika kutanyakan lebih lanjut tentang keluarga atau leluhurnya. Tentang kawan-kawannya, Bapak menyingkir saat kutanyakan itu lagi.
“Bagaimana perjalananmu?”
“Alhamdulillah lancar, Pak.”
Bapak tak bertanya lagi. Beliau lalu berjalan menuju serambi belakang. Aku mengikutinya setelah cangkir kopi yang kubawa ke dapur direbut Mbak Sum saat kuraih spons untuk mencucinya.
“Sudah berapa hari Bapak dan Ibu di sini?” tanyaku.
“Hampir dua minggu,” jawab Bapak. Dua minggu. Tak biasanya mereka berdua betah tinggal selama itu di luar kota. Sebab, di kampung ada sawah dan kebun yang tak bisa ditinggal lama, yang harus diopeni. “Ada yang sedang mengganggu rumah ini dan seisinya,” lanjutnya, dalam sekali  embusan napas.
“Ehm, apa maksud Bapak?”
“Kakakmu sedang diuji oleh ‘barang halus’. Di rumah ini.” Kami biasa menyebut ‘barang halus’ untuk benda atau makhluk tak kasatmata.
“Datang dari mana? Siapa yang mengirim?” tanyaku. Sebab, lumrahnya ‘barang halus’ tidak datang dan menempati sebuah rumah sesukanya, kecuali rumah kosong atau rumah yang di dalamnya tak pernah dibacakan ayat-ayat suci. Tapi, di dalam rumah ini ada satu ruang ibadah yang tak pernah lalai disalati lima kali tiap hari.
Bapak hanya berdeham. Sesekali batuk. Sementara Bapak menyamankan tenggorokan dan membenahi suaranya, aku mengira-ngira alasannya sendiri. Memang rumah ini berdiri terlalu angkuh di antara rumah-rumah sederhana di dusun para buruh. Dan pemilik rumah ini terlalu sibuk untuk memperhatikan per jengkal rumah gedong yang kerap ditinggal kesepian. Jadi, bagaimana Mbak Titin tahu kalau  ada orang yang menimbun atau membuang sesuatu yang buruk di sekitar rumahnya? (Bersambung)

Cerita Selanjutnya >>>



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?