Fiction
Pengejar Idola [1]

1 Jul 2014


Oleh: Ester Pandiangan

Terkadang Jo berpikir profesi sebagai penulis itu hampir sama dengan penyanyi yang mempunyai groupies. Penggemar akan rela melakukan apa pun demi idolanya. Mungkin Jo dan teman-teman penulisnya tidak punya magnet seksual sebesar penyanyi ngetop Ariel atau John Mayer. Justru sebagian besar dari mereka memiliki tampang pas-pasan dan tidak punya catatan sebagai penakluk wanita semasa sekolah dulu.
   
Namun, perempuan yang membaca karya mereka mudah terbius kata-kata, kalimat-kalimat indah yang dijahit sedemikian rupa. Perempuan-perempuan itu telanjur terpukau. Mereka telanjur menganggap para penulis adalah orang-orang dengan idealisme tinggi, tipe pemberontak yang ingin ditaklukkan.
   
Beberapa teman Jo menikmati posisi dipuja dan dikagumi banyak perempuan. Bahkan sebagian dari mereka memanfaatkannya untuk pemenuhan kebutuhan yang lain atau sekadar bermain-main.
“Sama-sama senang, Jo!” komentar Pring.
“Menyenangkan, lho, Jo, terkadang pembaca itu lebih pintar dari kita. Bercinta dengan mereka bisa menjadi brainstorming,” kata Wesa, antara membela diri atau bercanda.
   
Jo hanya tersenyum  mendengar cerita-cerita mereka. Tentang siapa-siapa yang sudah berhasil mereka taklukkan. Jo berusaha tak acuh, namun sesekali telinganya mendengar komentar-komentar vulgar yang membuatnya mengernyitkan dahi, sembari berusaha menepiskan khayalan visual akibat komentar-komentar yang didengarnya.

Jo tidak munafik atau sok suci. Dia hanya tidak seperti Pring atau Wesa yang sering menggunakan keterpesonaan perempuan untuk kesenangan pribadi. Bahkan, ada sebuah lelucon tentang Wesa yang diembuskan entah oleh siapa. Wesa sering menjadi pembicara dalam acara diskusi di kampus-kampus. Jadi, bila di hari pertama ada perempuan yang memanggilnya ‘Pak’ lalu di hari kedua balik memanggilnya ‘Mas’, itu berarti Wesa sudah berhasil mencuri hatinya.
   
Memang tidak semua dari mereka bercerita bebas tentang pengalaman semalam dengan salah satu penggemarnya. Ada yang diam saja, menganggap selingkuh kecil-kecilannya ini, ya, urusan pribadi, bukan untuk dijadikan topik hangat sembari minum bir.
   
Banyak teman yang menganggap Jo dingin, bermimik datar tanpa ekspresi. Jo hanya tertawa mendengar komentar mereka.
   
Nah, kan, tertawa saja kau tak punya ekspresi!” celetuk Wesa. Kalau sudah dikomentari begitu Jo menutup rapat bibirnya tanpa meninggalkan sedikit cekungan. Takutnya mereka berkomentar senyumnya hambar seperti roti tanpa selai.
   
Sejak kecil Jo memang lahir sebagai anak pendiam dan kurang aktif dalam kegiatan sekolah. Dia tidak suka tampil, apalagi menonjolkan diri. Jo lebih suka berkutat di kelas dengan buku di tangan. Berdialog dengan buku jauh lebih menyenangkan ketimbang mengobrol tanpa ujung dengan teman-teman di kantin. Menulis jauh lebih mengasyikkan daripada mendiskusikan bagian-bagian tubuh perempuan, seperti yang dilakukan teman-teman prianya, di kamar mandi sambil merokok.
   
Bisa jadi inilah yang membuat Kintari tidak betah dengannya. Di usia pernikahan yang menginjak lima tahun, mereka bercerai.
    “Jo, masih banyak hal yang lebih penting daripada buku-buku bodohmu itu….”
Perkataan Kintari tidak semenyakitkan fakta kalau dia akan meninggalkan Jo. Selama hidup bersama Jo sudah kenyang dengan komentar-komentar pedas Kintari tentang profesinya sebagai penulis.
    “Jo, berhentilah berkhayal, menginjaklah pada bumi, kau bisa mencari pekerjaan yang lebih layak dengan ijazah kuliahmu itu….”
    “Kau di luar sana berteriak-teriak mengkritik pemerintah, tapi tidak ada nasi di rumah untuk anak dan istrimu makan. Itu adalah kebodohan paling menggelikan yang kutahu setelah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa-mahasiwa meminta menurunkan Pak Tua itu dari kursinya!”
    “Berhentilah bergaul dengan teman-teman penulis itu Jo, apa kau tidak lihat betapa bertolak belakangnya kehidupan mereka? Mencoba meluruskan pikiran pemerintah, namun tak mampu menahan libidonya.”
   
Seperti biasa, Jo hanya terdiam  tiap kali Kintari memuntahkan kekesalannya. Namun, suatu kali kata-kata Kintari sangat dan sangat melukai hati Jo. Membuat Jo mendadak amnesia, apa benar Kintari, perempuan yang sama yang dia bawa ke penghulu untuk mengucapkan ijab kabul? Perempuan yang sama yang memeluknya ketika novel pertamanya dicetak ulang untuk kedua kalinya?
   
Perempuan yang memberikan seks terhebat, karena memang cuma Kintari yang pernah tidur dengannya. Perempuan yang selalu mengucapkan, “Hati-hati di jalan, sukses, ya!”  tiap kali dia melangkahkan kaki ke penerbit. Perempuan yang selalu mencium layar laptop-nya, sebelum tanda send ditekan  tiap kali dia mengirimkan cerpen ke media.
   
Tapi, satu kalimat dari Kintari benar-benar melukai hatinya. Membuat dia memutuskan sudah saatnya dia mengakhiri ketidakcocokan mereka. Bila dia terus- menerus mengalah, harga dirinya sebagai laki-laki bisa diinjak-injak. Dia membulatkan tekad ketika Kintari entah sengaja atau tidak  berujar, “Enggak malu, ya, penghasilanku lebih besar, padahal kau kepala keluarga?”
   
Cess!! Rasanya ada sesuatu yang menusuk tajam tepat di jantungnya. Memecah urat-urat pembuluh darah, merusak sistem kerja otot jantungnya. Mendadak dia gagal jantung! Sesuatu yang sangat dia kenal, keluar dari tubuhnya. Sesuatu yang hangat, sesuatu yang beberapa tahun lalu direkatkannya erat di hatinya. Hanya dengan sebaris kalimat sesuatu itu meruap bagaikan uap. Terbang ke langit-langit. Semudah itukah cinta menghilang?
   
Semenjak Kintari pergi membawa anaknya, Jo tidak punya cinta lagi. Tapi, ketiadaan cinta tidak membuat dia kehilangan semangat untuk menulis. Meski dia sudah kehilangan ciuman keberuntungan yang dulu didaratkan perempuan terindah di layar laptop-nya.

Semua mendadak berubah ketika dia bertemu Lokita. Mereka bertemu di peluncuran buku Wesa di salah satu kafe di Kemang. Postur dan paras perempuan berambut pendek ini mengingatkan Jo dengan Irshad Manji, penulis perempuan yang beberapa waktu lalu menggelar diskusi di Pasar Minggu. Wajahnya setenang danau. Cukup manis, tomboy, tidak cukup membuat insting lelakinya bergetar. Atau, jangan-jangan memang tidak ada lagi perempuan yang membuat Jo tertarik?
   
Dia tersenyum, mengulurkan tangan, “Mas yang menulis….,” dia menyebut salah satu novel yang dibuat Jo setelah berpisah dari Kintari. Jo mengangguk dengan senyum, yang selalu dibilang Wesa dan Pring, roti tanpa selai. Mendadak danau tenang itu riuh. Sorot matanya yang tajam membulat, mimik wajahnya seperti anak kecil yang dikasih balon. Dengan antusias dia kembali menyalami tangan Jo, lalu mengungkapkan kata-kata yang sudah sangat sering Jo dengar dari pembacanya.
    “Wah… saya sampai menangis ketika membaca novel Mas….”
    “Saya paling suka dengan dialog terakhir di novel ini….”
         
Seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, Jo hanya mengangguk dan tidak memberikan perhatian sepenuhnya. Pikirannya terpecah-pecah. Apakah es buah di meja sana masih ada? Lama sekali acara ini, apa dia tidak usah saja ikut Wesa dan teman-teman minum bir usai acara?
          
Ending yang bagus untuk cerpen yang sedang ditulisnya kurang menarik, bagusnya diganti apa, ya? Semua silih berganti ketika perempuan di depannya ini berceloteh betapa dia sangat sangat menyukai karya-karya Jo.
   
Seperti penguntit, Lokita selalu ada di mana Jo ada. Lokita selalu hadir di  tiap diskusi, pertunjukan seni yang dihadiri Jo. Lama-lama Lokita berhasil mencuri perhatiannya. Dan lama-lama dia mulai merasakan hatinya menghangat. Sepertinya sesuatu yang dulunya hilang itu kembali kepadanya.
   
Lokita tidak sekadar groupies yang mengikuti idolanya. Terkagum-kagum dengan karya penulis lantas menganggap penulis seumpama manusia setengah dewa, padahal Jo berani menjamin separuh dari keseluruhan karya penulis, botol kecap semua.
   
Untunglah Lokita tidak seperti itu. Meski terkadang sifatnya kekanak-kanakan, Lokita teman diskusi yang menyenangkan. Terkadang dia seakan tahu seluruh isi dunia ini, tapi tak jarang juga dia seperti bayi yang baru keluar dari rahim ibunya. Hal-hal tentang Lokita tidak terduga, membuat Jo serasa naik roller coaster. Jo selalu bahagia  tiap melihat Lokita ada di acara yang ia datangi. Dadanya serasa penuh dengan gumpalan kebahagiaan. Seperti balon yang penuh dengan udara.
   
Terkadang perasaan ini begitu mengimpitnya. Membuat dia menderita sendiri. Dia ingin meledakkan perasaannya, tapi ada perasaan takut, apa yang terjadi setelah balon itu pecah? Berulang kali dia ingin menyatakan perasaannya, tetapi selalu tertahan di lidah. Seperti ada benang-benang tak kasatmata yang terjahit mengatup rapi bibirnya.    
   
Jo yang selama ini hanya mengenal satu perempuan dalam hidupnya mendadak seperti seseorang yang belum pernah jatuh cinta. Gugup, ragu, dan gagu. Ketika dia berhasil mengumpulkan energi dan keberanian untuk menyatakan, Lokita tidak pernah muncul lagi. Dia menghilang begitu saja. Lokita seperti angin yang berembus, tidak ada yang tahu ke mana dia pergi.
   
Jo lagi-lagi kecewa ketika untuk kesekian kalinya dia tidak menemukan Lokita hadir di acara diskusi mingguan yang ia ikuti. Wajahnya murung dan tidak ada gairah. Pun, sudah beberapa minggu ini cerpen dan novelnya telantar tak terselesaikan. Buntu. Dia tidak menemukan ending yang tepat untuk tulisannya.
   
Cinta ini sungguh berbeda. Saat dia berpisah dari Kintari tidak membuat idenya tersendat, tidak kehilangan iramanya menulis. Lokita beda, perempuan jelmaan Irshad Manji ini merusak iramanya. Dia kehilangan not dan nada. Mengenal Lokita menjadikan dia buta huruf. Ternyata kemurungannya disadari oleh Pring.
“Kenapa Jo, kok, suntuk, nih, seperti Wesa saja kau kulihat,” tegur Pring.
“Memang Wesa kenapa?”
          
Pring tertawa, “Ah, seperti kau tidak mengenalnya saja, biasa bertengkar dengan pacarnya….”
         
Jo mengerutkan dahi. “Maksudmu istrinya?”
Pring tergelak, “Ha…ha…ha… bukaan… pacar. Kalau istilahmu groupies… tapi kali ini beda… si Wesa sudah kecantol sama perempuan ini….”
         “Memang siapa?”
   
Jawaban Pring seperti bola bowling yang dijatuhkan bertubi-tubi ke badannya. Potongan-potongan cerita mendadak tersusun dengan rapi. Pertemuan yang rutin. Diskusi yang selalu cair dan berimbang. Pengetahuan yang tak pernah putus.
   
Mendadak Jo merasakan sesuatu yang baru-baru ini mengisi hatinya lamat-lamat menguap, dia merasakan kehampaan yang sangat dia kenal. Lagi-lagi Jo merasakan kekosongan di hatinya. Dia kehilangan cinta, tapi dia menemukan ending untuk cerpennya.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?