Fiction
Penantian Terakhir [6]

17 May 2012

<< cerita sebelumnya

Bagaimana? ia minta pendapatku begitu masakannya matang.

”Enak!” kataku, mantap.

Dia menunduk dan menghadiahiku kecupan. ”Aku akan jadi kokimu terus, jika kau mau jadi istriku!” bisiknya.

”Ardi, ini saatnya makan dan bukan waktunya untuk merayu!” aku pura-pura marah, meski hati ini berdebar senang.

”Aku serius. Dua bulan lagi, aku ditarik lagi ke Jawa dan aku ingin menikah. Menikah dengan gadis Solo yang kukenal tujuh tahun lalu.”

”Widuri?” godaku.

”Dengan wanita yang kini berdiri di depanku!” ujarnya riang, sambil menatapku tajam.

Kurasakan pipiku memanas. Sungguh aku senang mendengar kalimat itu. Tapi, untuk menikah? Aduh, jangan sekarang. Hatiku masih porak-poranda.

”Beri aku waktu untuk menjawabnya. Oke?” aku memutuskan.

Sebagai jawabannya, dia mengangguk dan sekali lagi memberiku kecupan mesra di kening.

Penyelidikanku nyaris menemui jalan buntu, kalau saja aku tak mengenal seorang Ardi! Suatu siang, saat aku selesai berbelanja keperluan bulananku, seseorang menghampiri dan menyapaku.

”Mbak Nia... aduh, susahnya mencari Anda! Apa kabar, Mbak?” ujarnya ramah. Sangat ramah.

Ia pria setengah baya berperut sangat buncit. Aku ingat. Dia yang menerimaku di perusahaan kayu asal Jakarta itu. Salah satu karyawan di situ, yang dengan pongahnya berkata tidak bisa menerimaku, tanpa surat keterangan dari universitas. Kini dia sedang tersenyum manis padaku. Dunia sudah terbolak-balik rupanya.

”Kabar baik, Pak,” kataku, sambil mengangguk.

”Mbak, saya nggak enak, nih, pada Anda. Kalau Mbak Nia sejak dulu bilang bahwa Anda adalah calonnya Pak Ardi, tentu akan saya bantu sepenuhnya!” ujarnya.

Apakah sangkut pautnya Ardi dengan ini semua? Apakah Ardi menelepon pria ini? Rasanya, mustahil! Ardi tidak tahu proyek penelitianku.

Sebelum aku sempat berkata apa-apa dia sudah memberiku sege­pok kertas. “Yah, saya rasa, seluruh penduduk desa ini sudah tahu siapa Mbak Nia. Sepertinya, hanya saya yang tak tahu! Maaf, ya, Mbak. Ini, data yang Mbak butuhkan. Semoga lekas selesai skripsinya. Dengar-dengar, Pak Ardi sudah tidak sabar ingin segera mempersunting Mbak Nia,” ucapnya, sambil tersenyum.

Setelah itu dia meninggalkanku begitu saja. Aku hanya bisa terbe­ngong-bengong, seperti orang yang tiba-tiba mendapat undian ratusan juta. Ardi? Apa peran Ardi di sini? Tapi, terserahlah! Yang penting, aku memperoleh apa yang kubutuhkan. Aku pun kembali ke kantor dan menelitinya sampai larut malam. Bingo! Ini yang kucari!

Kuserahkan data itu pada Mahesa, sambil berkata, ”Ini hasil kerjaku! Kalau kau anggap ini hanya main-main saja, terserah!”

Dia tampak terperanjat mendengar kata-kataku. Namun, aku tak peduli pada reaksinya. Dengan pongahnya kutinggalkan dia dengan setumpuk data dan ulasan yang kutulis.

Meski aku masih heran dengan insiden siang kemarin, aku tak hendak menanyakannya pada Ardi. Aku juga tak menceritakan kejadian itu. Sebaliknya, aku justru ingin tahu, ada apa di balik ini semua. Aku berniat mencari jawabannya di rumah dinas Ardi.

Di akhir pekan, Ardi biasanya mengajakku ke rumah dinasnya. Setelah makan siang, biasanya dia akan pergi ke kantor sebentar. Saat itulah aku beraksi. Aku masuk ke ruang kerja Ardi. Di situ ada berkas-berkas dan komputer. Aku memeriksa berkas-berkas itu, tidak ada apa-apa. Hanya laporan kejadian kriminal biasa.

Aku beralih ke komputernya. Aduh... ada password! Aku mencoba semua hal yang kuingat dari diri Ardi, yang bisa menjadi password. Aku memeras otakku. Pikirkan kata sandi yang sederhana! Ardi tidak mungkin membuat password yang sulit diingat! Lalu... pikir­an itu tiba-tiba merayapiku dan membuatku merinding. Pelan, aku menuliskan panggilan kesayangannya padaku: Puteri. Dadaku berdegup kencang dan... ah! Aku menjerit senang saat tak muncul tulisan access denied di layar.

Jemariku bergetar menyusuri file demi file. Ugh, banyak sekali. Aku membaca cepat. Waktuku hanya 30 menit. Cepat! Aku gugup dan dihantui rasa bersalah, karena seumur hidup belum pernah aku membaca dokumen pribadi seseorang! Dan... ini dia!

Aku nyaris kena serangan jantung, ketika melihat data itu. Laporan truk-truk yang keluar-masuk membawa kayu dari tiga perusahaan. Kuambil flash disk yang sudah kupersiapkan dari kantor dan mengopi data-data itu. Nanti, nanti di kantor saja aku memeriksanya! Yang penting, aku dapat datanya dulu! Semua data yang kubutuhkan kukopi. Untungnya, aku bisa menyelesaikannya sebelum Ardi pulang.

Aku matikan komputer dan kuredakan deburan jantungku dengan segelas es sirup. Kunikmati minuman itu di beranda belakang, sambil menatap kebun dan jemuran pakaian Ardi. Kukompres dahiku dengan gelas yang terasa dingin, sambil berdoa semoga tak ada yang aneh dengan data itu.

Tak lama kemudian, kudengar deru mesin mobil Ardi memasuki halaman. Aku menunggu, sambil berpikir, siapa kamu sebenarnya, Ardi?

Malamnya, di kamarku, aku ngebut mempelajari data-data yang kuperoleh dari komputer Ardi dan mencocokkannya dengan data milik tiga perusahaan kayu yang beroperasi di sini. Angkanya cocok. Hanya satu perusahaan yang angkanya tidak cocok. Jumlah yang tercatat di komputer Ardi, jauh lebih banyak daripada jumlah yang tertera di laporan perusahaan itu.

Aku tertegun, mengapa ada selisih seperti ini? Mungkinkah Ardi keliru meng-input data? Kalau keliru memasukkan angka, tidak mungkin selisihnya sampai sebesar ini.

Oh, Tuhan, apa-apaan ini?

Saat aku membuka-buka buku laporan milik perusahaan dari Jakarta itu, sesuatu terjatuh. Kupungut perlahan. Ada beberapa lembar kuitansi. Ada tulisan yang membuatku makin tertegun: ’Telah diserahkan kepada AH.’

Keningku berkernyit. AH siapa? Ardiansyah? AH. Angka yang tertera membuatku geleng-geleng kepala. Ada tanggal dan tahunnya. Aku bisa melacaknya di rekening Ardi! Masalahnya, bisakah aku mencuri lihat buku tabungannya? Pasti bisa!

Aku kemudian memfotokopi kwitansi itu dan menyimpannya sendiri. Entah kenapa, untuk temuan baru ini aku enggan melaporkannya pada Mahesa. Berhari-hari aku mencoba mencuri lihat rekening tabungan Ardi. Jika dia pergi meninggalkanku sendirian di rumah, aku langsung beraksi, menggerataki seluruh isi rumahnya.

Rasa bersalah benar-benar menderaku kini, karena aku seperti mata-mata di sarang musuh. Aku manusia paling munafik di dunia. Di depan Ardi aku adalah kekasih yang baik, namun di belakangnya aku seperti musuh yang sewaktu-waktu siap menikamnya dengan pisau.

Perjuanganku tak sia-sia. Aku berhasil menemukan buku tabungan Ardi. Benda itu tersimpan di lemari pakaiannya, di antara tumpukan pakaiannya yang terlipat rapi. Hati-hati aku mengambil benda itu. Ada dua buah buku dari dua bank berbeda. Aku memeriksanya cepat.

Untuk yang satu ini aku sangat berterima kasih pada Tuhan, karena dikaruniai daya ingat yang luar biasa tajam. Sehingga, aku bisa ingat pasti tanggal-tanggal dan jumlah uang yang tertera di kuitansi. Tanggal dan jumlah itu tertera di buku tabungan Ardi!

Aku nyaris pingsan melihatnya. Apa-apaan ini? Uang apa ini? Kukembalikan buku itu ke tempatnya semula. Detik berikutnya aku mulai dikuasai kecurigaan, siapa sebenarnya Ardi? Mengapa aku masih saja belum bisa memercayainya? Mungkinkah instingku ini benar?


Penulis: Astrid Prihatini WD
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2006



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?