Fiction
Penantian Terakhir [2]

17 May 2012

<<cerita sebelumnya

Pagi hari aku terbangun oleh kicauan burung. Tubuhku masih terasa penat, setelah seharian kemarin menempuh perjalanan jauh dengan makhluk paling menyebalkan di dunia. Aku menempati sebuah kamar yang terletak tak jauh dari markas, sebutan untuk kantor. Aku tak tahu berapa luas keseluruhan tempat ini. Soalnya, kemarin aku belum sempat keliling.

Yang kutahu, di kompleks ini ada sebuah bangunan utama yang dipergunakan sebagai kantor dan ruang pertemuan. Di sayap kiri dan kanan ada bangunan tambahan yang berbentuk paviliun-paviliun. Ada yang dipergunakan sebagai tempat praktik dokter, ruang operasi, ruang pemulihan untuk memulihkan kondisi binatang-binatang yang sakit, dan kamar untuk karyawan pengelola tempat ini. Salah satunya adalah kamar yang kini kutempati. Aku beruntung, karena kamar yang kutempati terletak paling ujung, berbatasan langsung dengan pegunungan di latar belakang sana dan alam bebas.

Mas Rangga sedang duduk mengopi di ruang kerjanya, saat aku menemuinya. Aku sudah mandi dan menikmati sarapan yang kuambil sendiri di dapur. Di sini tak mengenal jam kerja. Setiap jam adalah bekerja. Karena, sewaktu-waktu ada saja binatang yang sakit dan membutuhkan pertolongan anak buah Mas Rangga.

”Bagaimana tidur semalam? Kuharap nyamuk-nyamuk hutan tak mengganggumu,” sapa Mas Rangga, begitu melihat kemunculanku.

”Enggak, kok, Mas. Aku tidur kayak orang mati semalam.”

Aku duduk di dekatnya. Tidak kulihat sosok makhluk menye–balkan itu. Di mana dia? Hei, kok, aku jadi penasaran padanya, ya? Ah, sudahlah. Buat apa memikirkan orang-orang yang membuat hati jengkel?

”Hari ini ngapain, Mas?” tanyaku. Aku tak terbiasa duduk diam, tak melakukan sesuatu.

”Kamu santai saja dulu, Ni. Apa mau lihat-lihat tempat penangkaran?” Mas Rangga menyahut dari balik palmtop-nya. Dia sedang asyik mengetik-ngetik sesuatu.

Tepat pada saat itu, seorang wanita masuk.

”Lin, kenalkan teman baru kita. Namanya Kania. Dia ini reporter sebuah harian ternama di Solo,” ujar Mas Rangga pada wanita itu. ”Ni, itu Linda. Dia bagian dapur dan logistik kita.”

Kami bersalaman. Lalu, dia berkata. ”Mas, hari ini logistik kita habis. Aku mau belanja.”

”Ni, kalau ingin kerjaan, ikutlah belanja ke desa bersama Linda!”

Aku pun melompat bangun dan mengekor Linda keluar dari kantor. Kami belanja dengan mempergunakan mobil kantor, sebuah pick up. Menurut Linda, mobil ini sangat praktis, karena dapat memuat banyak barang. Usai belanja, Linda mengajakku memasukkan barang-barang hasil buruan kami ke ruang pendingin. Setelah itu, dia membuat catatan di sebuah buku. Catatan itu berisi daftar barang belanjaan kami. Catatan itu nantinya akan di-input ke komputer dan dipergunakan untuk laporan pertanggungjawaban tiap bulan pada donatur.

Menurut Mas Rangga, yayasan yang dikelolanya mendapat dana dari tiga sumber. Semuanya dari negara-negara asing yang sangat peduli terhadap kelestarian satwa. Aku kadang-kadang gemas pada bangsaku sendiri, yang tak memiliki kepedulian terhadap satwa dan habitat satwa tersebut. Padahal, Tuhan sudah sangat bermurah hati menganugerahi Indonesia dengan flora dan fauna yang sangat unik, membuat negara-negara lain iri karenanya. Manusia yang diberi malah memanfaatkan seenaknya, tanpa pernah memikirkan apa dampak dari eksploitasi berlebihan tersebut terhadap kelang­sungan hidup selanjutnya! Untunglah, ada orang-orang seperti Mas Rangga, Linda, dan makhluk menyebalkan itu. Kalau tidak, entah apa jadinya negeri ini.

Usai input data, aku diajak Mas Rangga ke penangkaran. Loka–sinya kurang lebih 200 meter dari kantor pusat. Kami berjalan kaki menembus alam yang masih sangat asri. Tempat yang diceritakan Mas Rangga itu ternyata berupa tempat terbuka dengan banyak kerangkeng. Hampir di semua kerangkeng ada penghuninya. Kebanyakan harimau benggala. Tetapi, ada juga satu dua burung elang, beruang madu, dan rusa.

Dari semua makhluk itu, hanya harimau yang menarik perhatianku. Dari dulu aku selalu beranggapan harimau adalah makhluk paling menakjubkan di muka bumi ini. Ada empat harimau di dalam kerangkeng-kerangkeng terpisah. Keempatnya mengaum penuh semangat, begitu melihat Mas Rangga.

”Halo, Cantik!” Mas Rangga dengan cuek mengelus kepala salah satu harimau. ”Ini namanya Cantik, Ni. Yang di sebelahnya itu Seto.”

Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Mas Rangga dan detik itu juga aku langsung jatuh hati melihatnya. Makhluk itu luar biasa mengagumkan. Dia berdiri tenang di kandangnya. Bulunya yang keemasan dengan loreng-loreng hitam terlihat berkilat di bawah sinar matahari pagi, sementara sepasang mata hitamnya menatapku tajam. Tiba-tiba ia membuka mulutnya lebar-lebar dan mengaum dengan suara keras sekali. Aku tersenyum melihatnya.

”Halo, Seto, semalam kurang tidur, ya?” sapaku pada makhluk menakjubkan itu.

”Bukan begitu caranya berinteraksi dengan harimau!” sebuah suara mengejutkanku. Ternyata, makhluk menyebalkan itu! Entah sejak kapan dia berdiri memerhatikanku. Tinggi menjulang dan terlihat angkuh dengan setelan jas putih dan sepatu bot. ”Kau bisa diterkam, kalau caramu seperti itu!” ujarnya lagi. Uh, apa pedulinya?
Aku bangkit. ”Kupikir dia lebih tahu sopan santun daripadamu, makhluk yang mengaku sebagai makhluk paling superior di muka bumi ini!” balasku, tak mau kalah.

Sesaat kulihat ada senyum geli di sudut-sudut bibirnya. Namun, secepat itu pula, bibirnya kembali mengatup angkuh. ”Aku serius,” ujarnya, dengan mimik sungguh-sungguh. ”Di alam liar, harimau merupakan makhluk alfa dan makhluk lainnya adalah makhluk beta. Karena itu, mereka menjadi santapan harimau. Nah, bila kau ingin berinteraksi dengan harimau, kau harus tunjukkan bahwa kaulah si makhluk alfa itu. Bukan dia!” dia menjelaskan panjang lebar.

Aduh... rumit amat! Kupikir, metode itu lebih tepat untuk meng­hadapimu, bukan makhluk cantik ini. Kalimat itu nyaris meluncur dari mulutku, tapi kutahan. Selanjutnya, dia menerangkan tentang harimau.

“Di Indonesia ada dua spesies harimau, yaitu Panthera tigris sondaica atau lebih dikenal dengan nama harimau jawa, dan Panthera tigris sumatrae atau lebih dikenal sebagai harimau sumatra. Daerah persebaran mereka sesuai dengan namanya. Sayangnya, harimau jawa sekarang ini sudah punah. Jadi, spesies yang masih tersisa di alam sekarang ini tinggal harimau sumatra. Karena itu, kita harus menjaga kelestariannya supaya tak ikut punah seperti harimau jawa,” katanya, menerangkan, sementara aku hanya bisa mengangguk-angguk.

Dalam hati aku bertanya-tanya, siapa pria ini sebenarnya? Mengapa dia begitu paham tentang seluk-beluk harimau? Begitu besarnya kepeduliannya terhadap makhluk-makhluk cantik ini. Namun, sebaliknya, dia sama sekali tak peduli terhadap makhluk bernama wanita!

”Hei, rupanya kau masih di sini! Wah, kalau sudah ngobrol soal harimau dengan Mahesa, memang bisa bikin lupa waktu, Ni!”

Mas Rangga tiba-tiba muncul dan menepuk bahuku. Aku tersenyum. Diam-diam senang, lantaran akhirnya aku tahu nama makh­luk menyebalkan ini. Mahesa. Hmm... nama yang aneh. Kalau tidak salah, artinya banteng jantan. Pantas saja dia senyum-senyum waktu itu! ”Ahe, ada telepon buatmu dari Jakarta!” ujar Mas Rangga.

”Makasih, ya, Mas!” ujarnya dan bergegas menuju kantor.

Aku bertanya-tanya, siapa gerangan yang menelepon di siang bolong begini. Pasti mahal sekali. Hanya orang-orang istimewa yang mau melakukan hal sebodoh itu. Siapa? Kekasihnya? Ya, ampun! Kok, aku jadi memikirkannya, sih? Tidak. Bukankah aku sudah bersumpah akan melupakan semua jenis pria di bumi ini? Tidak, tidak ada cinta dan pria dalam hidupku!

”Kasihan Mahesa, tiap menit selalu dikontrol ayahnya. Untung hanya ayahnya. Seandainya kekasihnya ikut ngecek, aku yang pusing!” ujar Mas Rangga, seolah dapat menebak pikiranku. ”Yuk, ke ruang pemulihan, Ni. Kita lihat bagaimana kondisi Rimba. Rimba itu anak macan yang kami temukan nyaris mati, karena induknya mati dibunuh pemburu. Nanti Ahe biar menyusul ke sana,” kata Mas Rangga, seraya menggandeng tanganku.

”Memang dia itu siapa, sih, Mas?” tanyaku, tak dapat menyembunyikan rasa penasaranku.

”Kamu belum berkenalan dengan dia? Ya, ampun, kupikir kalian sudah berkenalan. Dia itu dokter hewan yang bertugas di sini! Bukan karyawan tetap, sih. Dia senang di sini, karena tempat dan kesibukan di sini menjadi terapi baginya untuk melupakan masa lalunya yang pahit. Tunangannya meninggalkannya demi pria lain yang jauh lebih kaya,” kata Mas Rangga.

Oh... aku manggut-manggut. Jadi, dia dokter hewan? Jadi, dia pernah disakiti wanita? Pantas, dia sekasar itu!

Penulis:  Astrid Prihatini WD
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2006



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?