Fiction
Pelangkah [1]

27 Jun 2013

Aris Triana

Undangan ungu muda ini cantik sekali. Pikirku, siapa pun yang menerimanya akan berpendapat sama. Kertasnya dari material pilihan yang menebarkan bau wangi aroma lavender. Selera Anggun memang bagus. Kulipat lagi dan membungkusnya dengan plastik seukuran sama. Setumpuk yang lain menunggu untuk ditempel nama penerima. Tentu saja harus hati-hati sekali dalam mendata dan menuliskan nama, apalagi gelar calon undangan. Banyak yang sensitif mengenai hal ini. Dan aku, tak mau keluargaku mendapatkan masalah. Sekadar sindiran halus bahwa kami kurang teliti pun, aku hindari.

Kalau dipikir, gelar sepanjang apa, tak begitu penting. Aku sendiri, di belakang namaku biasanya dipaketkan dengan dua buah gelar, hasil belajar bertahun-tahun. Tapi, buatku, itu bukanlah sebuah esensi. Diundang ke sebuah acara sudah merupakan kebahagiaan buatku. Artinya, yang punya hajat mengingatku sebagai sejawatnya, saudara, atau paling tidak, aku ada dalam daftar pertemanan mereka.
   
Mungkin aku yang terlalu sinis menilai mereka itu. Gelar keagamaan atau pendidikan yang diwajibkan disematkan di belakang nama. Nyatanya, aku sama sekali tak pernah meninggikannya. Bahkan, saat ini, dua gelarku itu lebih menjadi sebuah pemberat langkahku. Kabarnya, beberapa pria takut mendekatiku karena minder dengan gelarku itu. Ah, malas sekali tiap kali semua tuduhan mengerucut ke sana. Perjuanganku menamatkan jenjang S-2, siapa, sih, yang tahu? Ibu, aku yakin bangga padaku. Dan Anggun, sangat terbantu sampai ia dapat memiliki apa saja yang dia inginkan, yang bisa kupenuhi, termasuk pernikahannya ini.
   
Aku mendengar banyak pendapat negatif tentang kelajanganku. Biasanya berkisar pada topik terlalu sibuk bekerja, terlalu keras belajar dan mengejar gelar, terlalu fokus menumpuk materi, dan sederet ‘terlalu’ yang lain. Ya, aku maklum dengan pemikiran mereka. Setidaknya sampai kemarin saat Anggun bertanya tentang pelangkah yang aku inginkan.
   
Pelangkah. Sejujurnya, tak pernah terlintas dalam pikiranku, memintanya dari Anggun. Sungguh, aku bahagia melihat adikku satu-satunya akan menikah. Anggun memang sudah sangat siap, dan merencanakan ini sejak lama.   Aku tahu sekali, Anggun selalu menepati target-targetnya. Lulus di usia 23, bekerja, lalu menikah di usia 25. Ideal sekali, bukan?
   
“Sudah memutuskan, Mbak? Mbak Astri mau pelangkah apa, katakan saja Mbak, jangan sungkan ya.” Pertanyaan yang entah sudah diulang keberapa kalinya, dan aku masih belum punya jawabannya. Bagaimana aku akan meminta sesuatu yang akan menjadi syarat pernikahan adikku sendiri, sedangkan aku sangat merestui langkahnya ini? Desakan Anggun membuatku berpikir keras. Dan lagi ia memohon. Dalam hidupnya belum pernah aku menyaksikan Anggun demikian ingin memberiku sesuatu. Menurut Ibu, sebaiknya aku menyebutkan sesuatu, agar lega hati Anggun. Setidaknya itu adalah ungkapan terima kasihnya padaku. Terima kasih yang tulus atas semua perjuanganku untuknya. Ah, aku masih belum juga menemukan benda apa yang akan aku minta kepada Anggun.
   
Sedari kecil, aku dan Anggun selalu membagi mimpi-mimpi kami. Kepergian Bapak yang tiba-tiba di sore yang gerimis bulan Maret itu, begitu memukul kami. Kami terbiasa mengandalkan Bapak sebagai pencari nafkah tunggal. Saat perusahaan tempatnya bekerja mengabarkan tak ada tunjangan pensiun untuk kami, semua begitu tidak terprediksikan. Ibu harus pontang-panting mencari pinjaman untuk biaya ujian akhir kami.
   
Beruntung aku dan Anggun masih mendapatkan beasiswa. Beruntung lagi kerja kerasku belajar mendapatkan kursi di universitas terbaik di negeri ini. Kemudian semuanya berjalan. Biaya kuliah yang tidak sedikit, tambahan Anggun masuk SMA, membuat rasa tanggung jawabku sebagai anak tertua memantik. Dengan modal kemampuan bahasa Inggris yang sebenarnya pas-pasan, aku nekat memberikan les kepada anak-anak dosen di lingkungan universitas. Kemudian, beragam profesi aku jalani, sampai tak terasa  S-2 sudah di tangan. Pengorbanan yang setimpal karena akhirnya Anggun pun lulus cumlaude. Harga yang tinggi karena aku kehilangan masa-masa dekat dengan pria. Bahkan, teman saja aku hanya punya beberapa. Mereka ini yang mau mengerti, sedikitnya waktu yang bisa aku bagi bersama mereka, karena aku harus mengumpulkan uang untuk biaya ini itu sepanjang hari selama beberapa tahun yang sulit ini.
   
Sekarang, satu bebanku terlepaskan sudah. Seorang pria baik melamar Anggun. Aku sangat bahagia. Menyerahkan Anggun kepada Bagas  rasanya sangat melegakan. Latar belakang keluarga Bagas yang baik, pekerjaan yang mapan, dan ia begitu santun, membuat aku, terlebih Ibu, terharu saat menerima lamarannya. Dan Anggun, menurutku, sangat siap menjadi Nyonya Bagas. Apa lagi? Tanggung jawabku sebagai kakak tertunaikan sudah.
   
Gurat sedih dan prihatin di wajah Ibu, kian hari kian tidak bisa disembunyikan. Anak tertuanya ini, begitu diharapkannya menyusul sang adik menikah. Sebenarnya, diharapkan menikah lebih dulu. Tapi, anak sulungnya ini sepertinya sudah tidak menyimpan keinginan itu dalam kepalanya. Dahulu, Ibu sering menggodaku.
    “Ayo, cepet dikenalin ke Ibu calonmu, Mbak.”
    “Mas manajer di kantormu itu boleh juga, ya, Mbak. Ganteng, baik lagi.”
    Biasanya aku hanya tersenyum menanggapi candaan bernada harapan itu. Lama-kelamaan mungkin Ibu letih. Akhir-akhir ini, pandangannya demikian sayu saat menatapku bercanda dengan Anggun tentang pernak-pernik pernikahan yang tengah kami persiapkan. Tak bisa dibohongi lagi, ada getir dalam senyum Ibu. Aku pun  tak lagi punya kata-kata untuk menghiburnya. Ibu seperti sudah pasrah.
   
Ini adalah momen terpenting dalam keluarga kami. Aku tak ingin merusaknya dengan membahas kesedihan Ibu. Persiapan yang sangat banyak cukup membuat kami tak lagi punya waktu membicarakan aku. Sedikit saja celah, segera aku alihkan dengan membahas gedung, katering, baju, dan suvenir pernikahan.

Cukup membuat Ibu kembali cerah. Tapi, lagi-lagi masalah pelangkah kembali mencuat. Seperti didesak oleh Ibu dan adikku, di sinilah aku sekarang. Memegang bolpoin dan buku catatan, mencoba menjernihkan pikiran, membuat daftar barang yang aku inginkan. Lebih sulit dibanding menyiapkan materi presentasi untuk klien dari Kanada kemarin. Tiba-tiba, Anggun dan Ibu serupa Mr. Roghtside, manajer pabrikan smartphone asli Kanada yang angker itu. Aku menuliskan nama sebuah benda. Merek smartphone ternama. Tapi, kemudian kucoret. Sepertinya Mr.Roghtside begitu memengaruhiku hingga produk smartphone-nya masih mendekam di kepalaku. Konyol sekali.
   
“Enggak usahlah, kalau kamu pengen beliin aku sesuatu, traktir sushi aja, deh”, begitu elakku, saat Anggun ingin mengintip barang yang aku inginkan. Anggun langsung menggeleng tegas. Benar-benar jadi masalah rumit. Di kantor, aku masih membawa buku catatan ini sampai meja makan saat makan siang. Rena, partner satu timku, pedas berkomentar. Usulnya tak main-main.
    “Minta saja Tucson, As. Atau paket liburan ke Eropa.”
          
Bukan main imajinasi Rena. Aku terbahak-bahak menanggapinya. Merek mobil yang tidak murah, dan benua yang jauh. Tapi, selintasan rindu berkelebat. Eropa? Setelah menamatkan S-2 di Inggris, memang sudah tak lagi kuinjak benua itu. Kadang-kadang kangen itu demikian menggebu. Teman-teman di sana, suasana London saat musim dingin. Kesibukan di sini menelan semua rindu itu. Dan, di atas tumpukan rindu itu, ada sebuah nama duduk tenang di sana. Alan McJersey.
   
Mata birunya masih kuingat mengerjap jenaka saat mengungkapkan keinginannya ke Indonesia. Di depan tesis yang menganggur di meja, kami makan pancake apel buatannya. Di apartemenku yang mungil, Alan seperti biasa berkunjung membahas tesis dan impian masa depan kami. Dia adalah salah satu teman dekatku, satu yang dekat. Konsentrasi studi kami sama, profesor pembimbing tesis kami adalah dua sahabat karib. Tak heran, karena masalah tesis dan bimbingan, kami sering bersama.

Walau pada akhirnya aku harus mengakui sikapnya yang simpatik, hangat dan helpful, membuatku lebih dari nyaman saat bersamanya. Bahkan, saat tidak sedang bersamanya. Teman-teman sering menjodohkan kami. Alan selalu tersenyum misterius tiap kali ada yang mengatakan kami sangat cocok. Karena sikap baiknya, aku memilih menyimpan rapat-rapat perasaanku. Sampai tiba waktu kelulusan dan aku harus kembali ke Indonesia, Alan tetap sama. Dia pula yang mengantarku ke Bandara Heathrow, London. Masih kuingat wajahnya yang tirus kemerahan, melambai dari bandara yang dingin itu.
   
Mengingat semua itu, rasanya seperti baru kemarin. Sampai sekarang, aku masih menyimpan perasaan itu, mencoba tidak terlalu memperlihatkannya dalam tiap kalimat saat kami mengobrol lewat Skype. Dan sekarang, ide Rena kembali menguak semua memori itu. Liburan ke London?
  
Kupikir, aku pantas mendapatkannya. Setelah sekian liter peluh kupersembahkan untuk keluarga ini. Hiburan ini memang layak kudapatkan. Ah, sejak kapan aku jadi melankolis begini? Walau aku yakin Anggun dan Bagas tidak akan  keberatan mengabulkannya,   aku merasa jadi makhluk jahat. Daripada untuk membelikanku tiket ke London, lebih baik uang sejumlah itu dipakai untuk beli furniture rumah baru mereka.
   
Rena menyumpahiku habis-habisan. Aku selalu begitu. Selalu memikirkan adikku. Ibuku. Teman-temanku. Sebisa mungkin aku ada dalam urutan terakhir dalam kepentingan apa pun. Tapi, ini bukan masalah konflik kepentingan. Aku tidak merasa punya kepentingan apa pun. Ini adalah kepentingan Anggun untuk merasa membalas semua budiku. Rena meninggalkanku. Jus kiwinya bahkan belum tandas. Kekesalannya membuatku mengernyit. Benarkah aku tak pernah memperjuangkan kebahagiaanku sendiri?
   
Aku ingin membagi pengalaman ini pada Alan. Aku sangat berharap malam ini dia online. Masalah pelangkah tentu menjadi pembahasan unik bersamanya. Kebetulan sudah dua minggu kami tidak bertukar kabar. Aku perkirakan, dia sibuk menyiapkan kantor barunya. Bisnisnya, restoran truk sedang pesat. Aku pernah melihat liputan menjamurnya restoran truk di beberapa negara bagian Amerika. Alan dan beberapa rekannya membawa bisnis itu ke Inggris, dan sukses besar. Kutunggu sejam, Alan tak muncul. Aku mulai putus asa. Entah mengapa, serangan rindu ini  makin menusuk. Aku tinggalkan pesan untuknya. Sekadar mendoakan dia sehat dan baik.
   
Anggun memekik kecil saat aku katakan apa keinginanku sebagai pelangkah. Serta-merta ia memelukku erat. Sudah kuputuskan. Aku minta tiket pulang pergi Jakarta-London. Aku akan berada 5 hari di sana. Sudah aku susun itinerary, rencana tinggal dan uang saku yang aku butuhkan. Aku akan memenuhi semuanya sendiri, menyisakan bujet tiket agar dibelikan Anggun. Anggun cukup puas dengan permintaanku itu.
   
Tentu saja dia pernah mendengar cerita tentang Alan McJersey. Meski tak banyak menyebutnya, aku bisa merasakan harapan Anggun bahwa aku akan memperjuangkan perasaanku. Ibulah yang agak keberatan. Anggun mengedipkan mata padaku, dan aku cukup mengerti harus segera meyakinkan Ibu, bahwa putrinya ini  akan segera kembali ke pelukannya, utuh tak kurang suatu apa pun.
   
Perjalanan itu sendiri akan terjadi dua hari setelah resepsi, sekalian waktu cuti yang aku ambil agar bersambung. Tiba-tiba, sebuah rasa menarik hadir. Ini seperti rasa yang sama saat aku ingin berangkat ke London beberapa tahun lalu. Excited, menggebu-gebu, penuh hasrat. Menyenangkan sekali memilikinya lagi. Rena ingin sekali ikut, tapi atasan mana mungkin mengizinkan kami cuti berbarengan. Cukuplah dia nanti mendengar cerita perjalananku.
   
Aku akan menginap di rumah Maria, teman kampus dulu yang masih menetap di London. Maria berbaik hati menampungku karena suaminya sedang bertugas ke Dubai. Senang juga membayangkan berkumpul lagi bersama teman-teman. Dan Alan tentu saja. Aku memutuskan tidak menghubunginya. Kejutan ini pasti membuatnya terpekik girang. Membayangkan wajah tampannya, bibirnya membulat membentuk huruf ‘O’, membuatku bahagia.
   
Perhelatan pernikahan cukup meriah. Banyak kerabat datang, termasuk pertanyaan wajib mereka. “Astri, kapan nyusul adikmu?” Tante dan om tak absen menanyakan itu. Aku amini saja, semoga jadi doa. Sikap optimistis dan positif kini memenuhi  hatiku. Apalagi melihat senyum bahagia Anggun, Bagas, dan Ibu, sudah membuatku menjadi orang paling bahagia hari itu. Setelah mempelai terbang ke Thailand untuk bulan madu, aku pun berkemas. Anggun sempat meminta maaf karena aku tak mendapatkan pesawat malam, semua tiket terjual habis. Anggun berhasil mendapatkan tiket paling pagi. Tak apalah, walau memangkas satu hariku di London. Tak banyak yang kubawa.
   
Kali ini, Ibu cukup mendukungku. Menyiapkan syal agar aku tidak kedinginan, membawakan sambal pecel kesukaan teman-teman di sana, menyelipkan minyak kayu putih ke dalam koperku. Aku tak ingin Ibu terlalu cemas. Jadi, aku sama sekali tidak menyinggung masalah Alan. Biarkan saja apa yang harus terjadi, akan terjadi.
   
Dan di sinilah aku berada. Di antara sekian ribu orang di Bandara Soekarno Hatta ini, aku jadi bisa melihat diriku sendiri. Perempuan, masih gadis, lajang, sendirian, 32 tahun. Panggilan untuk check in terdengar, aku segera menyiapkan tiketku. Agak keras kutarik dari ransel bagian depan, membuat paspor yang tertindih di belakangnya meluncur keluar. Buru-buru kupungut buku hijau itu, dan kepalaku tak sengaja terantuk seseorang. Aku meminta maaf dan mendongak. Mataku serasa mau keluar dari kelopaknya, bibirku menganga entah selebar apa. Dengkulku lemas seperti tak bertulang. Sosok yang aku tubruk itu, dia... dia... Alan McJersey! Alan tak kalah terkejutnya. Berulang kali dia berteriak, “Oh My God! Oh My God! Astri! Astri!”
   
Dan sebelum perhatian di gate itu  makin terarah kepada kami, Alan memelukku sambil tertawa-tawa. Sambil berusaha menguasai keterkejutanku, aku mengguncangkan badannya yang jangkung. Sementara panggilan check-in kembali terdengar. Aku panik. Aku berusaha menjelaskan sesingkat mungkin rencana perjalananku. Alan tampak   shock. Dia menerima tawaran kerja sama seorang pengusaha Jakarta, membuka gerai restoran truk pertama di sini.
   
Kemudian kami terdiam. Hanya mata kami yang saling menatap. Aku tak menyadari berapa lama kami begitu, sampai seorang petugas menegur dan menanyakan check-in. Alan memegang tanganku, menyerahkan keputusan padaku. Dengan tegas dia mengatakan alasan terkuatnya menerima tawaran kerja sama ini adalah aku. Mataku berkaca-kaca. Petugas bandara kembali menegurku, mendesakku untuk segera check-in. Aku menatap Alan dalam-dalam, kucari kebohongan di kedua mata birunya. Tak kutemukan. Alan tersenyum, aku bisa merasakan ketulusannya.
   
Dan saat dia kembali mengulurkan tangannya, aku tak bisa menahan tanganku untuk menyambutnya. Keriuhan bandara, tiba-tiba lenyap. Kata demi kata yang tak terungkap selama ini, terjawab sudah. Mata kami kembali beradu, Alan menghapus tetesan bening di pipiku. Saat ia mengecup keningku, kurasa aku harus berterima kasih pada Anggun. Gara-gara tiket pesawat pagi ini. Gara-gara permintaannya akan pelangkah. Aku dan Alan bertemu di sini. Tapi, kurasa aku tak harus minta maaf pada Anggun karena tiket pemberiannya, pelangkahnya tak akan pernah aku pakai.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?