Fiction
Parade Pelangi [1]

27 Apr 2013


“Jika kau ingin mengenal dunia pelangi, ikutlah bersama kami memilih kostum untuk Parade Pelangi nanti,” kata Nick, lelaki tampan berambut ikal itu. “Okay,” jawabku, sambil mengikuti Nick dan Em, kekasihnya, menyusuri Davie Street.

Sepintas, Davie Street sama saja dengan jalan-jalan lainnya yang ada di ujung barat downtown Kota Vancouver. Namun, orang-orang yang lalu-lalang tampak unik. Tingkah polah mereka, sama dengan busana yang menempel di tubuh-tubuh ramping mereka, penuh warna. Begitu juga bangunan-bangunan dengan penanda yang jarang ada di tempat lain. Dari balik jendela-jendelanya, menyembul bendera dan panji-panji pelangi.

Sudah dua jam kami keluar-masuk toko  yang berderet di sepanjang Davie Street. Perburuan usai ditandai dengan tiga kantong plastik berisi pakaian dan aksesori. Sore masih terang dan kami memutuskan untuk mampir di sebuah coffee shop. Sambil duduk di luar dan menyeruput kopi hangat, kami menyimak aksi para pejalan kaki.

Sekelompok anak muda lewat di depan kami dengan riuh. Bersenda gurau, tertawa genit, dan berteriak manja. “Kartika, ingatlah wajah-wajah itu. Mereka pasti tampil saat parade nanti. Kujamin, kau pasti suka. Parade Pelangi selalu gempita dan penuh warna,” kata Nick.

Aku mengangkat bahu. “Ah, entahlah. Terkadang warna-warna yang kalian tampilkan campur aduk. Bikin kepalaku pusing,” candaku, sambil memonyongkan bibir.
“Benarkah? Bukankah warna-warni pelangi itu indah? Seperti warna ungu ini.” Nick menarik sehelai syal bulu dari kantong plastik dan menyodorkannya padaku.
“Itu warna favoritnya,” tambah Em, lembut.   

Nick mengangguk. “Ungu sangat powerful. Perlambang semangat. Dan kami membutuhkan semangat berkali lipat dibanding siapa pun di muka bumi….”
“Terkadang kupikir semangat kalian sudah mencapai tingkat hiperaktif,” olokku, sambil melemparkan syal bulu itu kembali pada Nick.  
 
“Lho, sedikit hiperaktif tidak masalah! Kami kan  kelompok minoritas. Selalu terpinggirkan! Jika tidak begitu, kami akan  makin tenggelam,” sambar Nick.   
“Ah, Nick, jangan kau mulai lagi dengan sikap victim mentality-mu itu,” tukasku. “Kalian sama sekali tidak terpinggirkan. Kalian bebas berparade  tiap tahun di Kota Vancouver. Bahkan kalian memiliki Davie Street yang menjadi kebanggaan kaum pelangi di Kanada. Tak semua negara mengizinkan kebebasan seperti ini.”

Nick menghela napas. “Kau benar. Tapi, kau juga harus melihat protes yang ditujukan pada kami  tiap saat. Orang-orang yang tak suka, menghujat kami sebagai kaum sesat dan pendosa.”

Em mengangguk cepat. “Belum lagi penyerangan yang dilakukan terhadap kaum pelangi. Kau tentu sudah membaca soal ini di koran.” Aku memandang jauh ke ujung jalan, berusaha mengingat beberapa insiden yang terjadi belakangan ini. Beberapa waktu lalu, penyerangan terhadap seorang lelaki pelangi di Davie Street menjadi berita hangat di media lokal. 
 
Kami larut dalam pikiran masing-masing.  Matahari  makin rendah. Suasana di sekeliling kami makin ramai. Para penikmat malam mulai turun ke jalan, menuju bar dan klub favorit masing-masing. Lampu jalan telah menyala sedari tadi. Sinarnya terpantul pada banner pelangi yang menghiasi sepanjang Davie Street.
***

Tiap tahun, kala bunga-bunga tulip dan narcissus mekar sempurna di seantero kota, kaum pelangi bersukaria menyambut datangnya Parade Pelangi. Dan di pagi hari yang mendung ini, dengan hati benderang, aku melangkah ringan menuju lokasi parade sambil menenteng sebuah payung pelangi.

Di sekelilingku, para pejalan kaki melangkah ke arah yang sama. Ada yang berkaus tie dye warna-warni dengan gaya generasi bunga ’70-an. Beberapa pasangan berjalan mesra sambil bergandengan tangan. Aku berdecak cemburu. “Seharusnya Jov Derby ada di sini,” bisikku.

Jov Derby adalah pemilik Aromma, sebuah coffee shop bergaya eklektik di dekat apartemenku. Sepertinya alam telah mengatur segalanya saat kantorku di Jakarta menugaskanku bekerja selama tiga tahun di Vancouver, sebuah kota indah di pantai barat Kanada. Aku memilih tinggal di sebuah apartemen di pusat Kota Vancouver. Di waktu luang, aku kerap nongkrong di Aromma. Jov Derby saban hari berada di sana melayani tamu-tamunya. Termasuk aku yang selalu memesan chocolate banana coffee.

Sejujurnya, awalnya aku tak tertarik kepadanya, sebab aku lebih suka memandang lelaki berwajah tampan. Tapi, selera humornya yang baik dan mata hazelnut-nya yang jernih membuatku betah berada di  dekatnya.

Pertemuan berkali-kali di Aromma membuat pertemanan kami terawat. Hubungan kami  makin erat ketika sehari menjelang tahun baru, aku mengajaknya menghadiri pesta yang diadakan seorang sahabat. Saat aku mengatakan jatuh hati kepadanya, dia memandangku lama sekali. Kami sedang makan malam di sebuah restoran

    “Bukan aku tak suka kau, Kartika,” katanya pelan. Dia menundukkan wajah, menatap piring salad di hadapannya yang sudah kosong.
    “Lalu?” tanyaku, sambil bersiap untuk patah hati kesekian kali.
    Jov mengangkat gelas dan mengguncangnya pelan. “Merlot ini enak sekali.”
    “Hhhh … kau mengalihkan pembicaraan!” tukasku, sebal.
    “Aku seorang gay,” jawabnya, pendek.

    Oh, Tuhan! Hampir saja aku menyemburkan anggur merlot yang barusan kuteguk. Gila! Hingga kini, tak seorang pun pernah membuat pengakuan semacam itu di hadapanku.
    “Kau tentunya kaget. Dan … entahlah, aku tak tahu, mungkin kini kau tak menyukaiku lagi,” suaranya terdengar perih.   
    Aku buru-buru memajang wajah senormal mungkin. “Aku … aku memang kaget, Jov. Tapi, kau … kau adalah sahabatku. No matter what. Okay?” suaraku bergetar.
    Apakah aku kecewa? Tentu tidak. Aku menghargai kejujurannya. Dan, detik itu juga, diam-diam aku bersumpah, jika Jov Derby tak bisa menjadi kekasihku, biarlah dia menjadi sahabat terbaikku selamanya.

Selanjutnya, waktu bergulir begitu saja, mencipta sebuah cinta platonis yang indah. Dan kami begitu menikmatinya. Jov menganggapku sebagai seorang adik yang selalu mau menyediakan telinga. Aku mengasihinya sebagai seorang kakak penuh humor yang mampu membuat hari-hariku secerah matahari di musim panas.

Kesedihan Jov menjadi dukaku pula. Dia terpaksa merahasiakan diri sejatinya dari kedua orang tuanya. Jov khawatir mereka akan kecewa jika tahu anak tunggalnya adalah seorang gay. Hingga detik ini, cuma aku, Nick, dan Emilio yang tahu tentang dirinya yang sebenarnya. 

Aku menghela napas, mengusir pelan bayangan Jov Derby yang berseliweran di benakku. Sigap, kupindai sekelilingku. Meski masih tersisa dua puluh menit sebelum acara dimulai, orang-orang telah memenuhi lokasi parade. Aku memilih tempat yang masih tersisa di sepanjang trotoar, tepat di samping seorang perempuan tua yang duduk di sebuah kursi lipat.

    “Kerabatmu ikut dalam parade?” sapanya tiba-tiba.
    “Oh, bukan. Kawanku,” jawabku, sambil tersenyum. “Dan kau, Ma’am?”
    “Cucuku ikut dalam parade,” sahutnya pelan. Sepasang mata tuanya tampak kelabu. “Sebenarnya aku tak setuju.”

    Aku menatapnya heran. “Jika tak setuju, mengapa kau hadir di sini?”
    “Aku ingin melihat tindak tanduk orang-orang ini. Ini adalah pertama kalinya aku menyaksikan Parade Pelangi secara langsung. Sebelumnya aku hanya melihatnya di televisi.”

    Aku diam, tak ingin membalas kegelisahannya.
    “Seharusnya pemerintah melarang parade ini,” sambungnya lagi. “Kegiatan semacam ini cuma memberi pembenaran bagi masyarakat bahwa cara hidup seperti ini sah-sah saja.”

Rasa gerah mulai menyelinap di dadaku. Sekilas kutatap langit. Mendung  makin berat bergelayut di atas sana.
Perempuan tua itu berdecak. “Orang-orang bilang hujan selalu turun  tiap parade berlangsung. Ini adalah pertanda buruk. Pertanda Tuhan tak menyetujui hal semacam ini.”
Aku tersenyum tipis. “Ah, Ma’am, hujan turun karena sekarang memang musimnya. Lagi pula, kau tentu tahu, Vancouver adalah kota dengan curah hujan yang tinggi.”
Dia menatapku tajam. “Kau seharusnya percaya padaku. Lihatlah, pertanda buruk itu sudah turun,” tukasnya, sambil mengembangkan payung hitamnya.

Beberapa tetes air membasahi kepalaku. Aku segera mengembangkan payung pelangi. Perhatianku segera tercuri oleh suara yang bergaung dari pelantang suara. Parade dimulai. Sorak-sorai dan tepuk tangan pecah. Penonton mengibarkan bendera-bendera pelangi mungil. Sebuah mobil Ford antik dengan kap terbuka bergerak pelan. Di dalamnya, bapak wali kota dan istri melambai-lambaikan tangan ke arah penonton.

Berikutnya, sebuah truk dengan bak panjang terbuka merebut perhatian massa. Para penggembira berjoget di atas truk diiringi musik bertempo cepat. Permen mint dan kalung mote berhamburan di udara. Penonton berebut menyambut hadiah gratis itu.
    Rombongan berikutnya membuat daguku melorot. Lelaki tua-muda menari-nari di tengah jalan dengan kostum leopard aneka warna. Aku tertawa terpingkal-pingkal. Seumur-umur, aku tak pernah menyaksikan pemandangan serupa.

    Aku masih berlindung di bawah payung saat ponselku berbunyi.
    “Sebentar lagi kami tampil,” suara Nick terdengar di ujung sana.
    “Ya, ya, cepatlah, sebelum nenek di sebelahku pilek karena kehujanan,” bisikku.
    “Apa?” tanyanya.

Aku melirik perempuan tua di sebelahku. “Ah, tidak. Tadi aku sempat ngobrol dengan seorang nenek,” bisikku, lantas menceritakan obrolanku dengan perempuan itu.
Nick tertawa geli. “Ah, ada-ada saja. Jika dia protes lagi, bilang saja bahwa manusia itu terlahir dengan beragam warna. Tak cuma hitam dan putih. Dan kami adalah kaum warna-warni yang telah ada di bumi ini sejak ribuan tahun silam. Oke, deh, sudah dulu, ya. Kami akan segera tampil.”

Aku menutup ponselku. Di kejauhan, truk hias yang membawa Nick dan Emilio bergerak pelan. Gerimis reda seiring sirnanya mendung. Orang-orang menutup payung. Aku pun ikut menguncupkan payung pelangi.

Truk hias  makin dekat. Nick dan Emilio tampak seksi dengan topi koboi, rompi, syal bulu, dan celana pendek ungu. Sambil menari-nari mereka mengayunkan seutas tali laso.
Musik ingar-bingar memenuhi udara. Seluruh penggembira di atas truk tertawa riuh. Jemari mereka menunjuk ke satu arah. Refleks, aku menoleh ke arah yang sama. Di langit biru, busur pelangi membias sempurna.

***
Ernita Dietjeria


Catatan: Penulis pernah bermukim 3 tahun di Kota Vancouver, Kanada, dan berkesempatan menyaksikan acara tahunan Gay Pride Parade di sana, yang menjadi inspirasi cerpen ini.





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?