Fiction
Opera Rumah Singgah [6]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Meinar menginjak pedal rem dan kopling bersamaan di perem¬patan lampu merah, lalu menukar persneling. Sejenak menoleh pada sahabatnya, layaknya seorang ibu yang sedang menenangkan putrinya yang baru ditinggal pacar. “Menghadapi orang-orang yang datang dengan setumpuk persoalan, kita tidak boleh panik, apalagi ikut emosional, Ri. Justru kitalah harus membuat mereka merasa nyaman. Karena, dunia akan tersenyum, jika kau tersenyum. Sebaliknya, ia akan bermuram durja, jika kau berduka. Jadi, legakanlah mereka dengan senyum tulus dan kata-kata penguat. Bukan dengan tampang stres apalagi merengut, seperti kamu sekarang ini. Beban mereka bukannya berkurang, malah makin tertekan. Ya, ‘kan?”

Rianty hanya merespons kalimat puitis Meinar dengan memajukan bibirnya. Meinar memang pintar menyusun kata, juga menata emosi, tak seperti dirinya, yang gampang panik dan mengeluh. Sering bertindak spontan, tanpa terlebih dulu berpikir matang.

Tak terasa sedan Meinar telah mendarat di pelataran parkir gedung Poltabes. “Kamu nggak turun?” tanya Meinar.
“Aku di sini saja.”

Meinar mengedipkan sebelah matanya. ”Kamu masih enggan bertemu Mas Alan. Ya, ’kan? Ternyata susah sekali melenyapkan bayang-bayang Zokh, ya?”

Rianty tak menjawab. Hanya mengacungkan tinjunya pada Meinar yang berlalu dengan tertawa-tawa. Zokh? Ah. Dia lagi. Kenapa harus nama itu yang selalu muncul di angannya setiap kali ia membayangkan sosok pria? Bahkan, sosok Alan Dharmawan, anggota SatReskrim yang putih dan gagah itu pun tak cukup kuat menggeser wajah Zokh.
Hmm, apa, sih, kelebihan Zokh? Ia memang tak setampan Alan, tetapi sikapnya yang supel dan rada nyentrik telah cukup menghasilkan track record berupa sederet wanita yang patah hati, karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Entah kenapa, sampai hari ini Zokh masih betah dengan kesendirian. Masih saja asyik menekuni hobi fotografinya dan sesekali menggarap orderan video shooting.

Sepanjang yang ia tahu, satu-satunya wanita yang selalu menempel erat di sisi Zokh adalah dirinya! Tak ada yang lain. Namun, itu tak sama dengan lekatnya prangko pada amplop, melainkan lebih mirip Tom and Jerry! Selalu saling adu mulut, adu pendapat, dan tak jarang berakhir dengan saling ledek dan saling kejar. Tak ubahnya seperti masa kanak-kanak dahulu. Entah sampai kapan mozaik kepolosan masa kecil itu akan berubah wujud. Seperti apa yang diinginkannya dan dirajutnya dalam mimpi yang kini justru terasa kian jauh meninggalkannya.

Huss! Rianty menghalau bayang Zokh dan kelebat angan romantis itu, ketika tiga orang wanita berjalan menuju parkiran. Meinar, Mbak Wina dalam balutan seragam polwannya, dan seorang wanita yang berdiri di tengah, diapit Meinar dan Mbak Wina. Wajahnya tak terlalu jelas terlihat, tertutup oleh rambut ikalnya yang menjuntai sebagian dan selendang yang disampirkan sekadarnya.

Rianty turun dari mobil, ketika ketiga wanita itu telah tiba di dekat mobil Meinar. Ia mengangguk ramah pada Mbak Wina, polwan yang selama ini menjadi mitra kerja rumah singgah.

”Imah. Kenalkan, ini Rianty, sahabat saya,” ujar Meinar.

Wanita yang berdiri di tengah itu lalu mengulurkan tangan, mengucap singkat namanya, “Imah.” Dan... Ya, Tuhan, Rianty kontan terenyak. Ia bahkan lupa mengangkat tangannya, ketika wanita itu mengangkat wajahnya yang tertunduk.

“Tary!” pekik Rianty tak tertahan. Meinar dan Mbak Wina saling pandang. Imah menatap bingung. Tary? Wanita cantik ini memanggilnya Tary? Matanya menerawang, memandang wajah Rianty dengan pikiran kosong dan raut bingung. Nama itu, seperti tak asing di telinganya. Sebuah nama dari lorong waktu masa lalu, yang seolah memanggil memorinya untuk menyusuri dan memungut keping demi keping peristiwa yang telah tercecer jauh. Namun, ia sama sekali tak ingat. Peristiwa apa itu? Siapa Tary?
Meinar mencolek punggung tangan Rianty. Membisikkan sesuatu. Membuat gadis itu seketika tercekat. Seorang wanita tanpa identitas dan lupa ingatan... Ah, ia hampir saja lupa. Meinar telah memberitahunya di mobil tadi. Sungguh ia tak menyangka, bahwa wanita lupa ingatan itu adalah anak Bik Parni!

”Bagaimana, Mei?” tanya Rianty, sambil ekor matanya melirik pada Tary yang sedang diajak berbincang oleh seorang psikiater. Ekspresi gadis itu masih sama seperti sebelumnya, sinar matanya kosong, sesekali nanar, sesekali menerawang, dan kondisi psikisnya pun masih sangat labil. Ada kalanya Tary terlihat tegar, dan mampu dengan lancar bercerita tentang apa yang telah ia alami sepanjang ingatannya. Namun, di menit berikutnya, ia sudah kembali mela¬mun dan tak mau bicara sepatah pun.

Meinar mengedikkan bahu. ”Belum ada kemajuan. Memori terakhirnya adalah ketika ia berada di gubuk nelayan yang telah menolongnya. Nama Imah itu juga, menurutnya, diberikan oleh nelayan itu. Tetapi, mereka malah berbuat tidak senonoh! Tary dipaksa melayani dua nelayan anak beranak itu setiap malam, bergantian! Benar-benar biadab!” desis Meinar, geram.

Rianty menghela napas iba. Tercenung sesaat. Doa dan harapnya selama ini untuk menemukan Tary, telah didengar dan dikabulkan Tuhan. Tinggal selangkah lagi janjinya pada Bik Parni akan lunas. Tetapi, mendadak jantungnya berdebar. Mengembalikan seorang anak dalam kondisi amnesia dan telah terenggut kehormatannya, bagaimana caranya? Sanggupkah ia mengatakan kebenaran pahit itu pada Bik Parni? Mampukah ia berdiri tegak, menghibur menguatkan hati seorang ibu yang telah lama kehilangan jejak putri satu-satunya? Melihat kondisi Tary saat ini saja jiwanya ikut terguncang?

Sebagian orang heran akan sikapnya, yang seolah terlalu memikirkan nasib Bik Parni dan keluarganya. Namun, bagi Rianty, Bik Parni lebih dari sekadar pembantu. Wanita yang telah belasan tahun mengabdi pada keluarganya itu adalah wanita yang telah mengasuhnya sejak bayi, dan selalu memperlakukannya dengan sangat baik, tak ubahnya anak kandung sendiri.

”Mei, bisakah Tary disembuhkan terlebih dulu sebelum kita mengembalikannya pada Bik Parni?”

Meinar menggeleng. ”Maaf, Ri. Rumah singgah hanya disediakan untuk tempat berteduh dan berlindung sementara, sebelum akhirnya mereka dipulangkan ke kampung halaman atau pihak keluarganya. Jadi, dalam kasus Tary, kita tetap akan memberlakukan perlakuan yang sama. Terlebih lagi, proses pemulihan seorang penderita amnesia, butuh waktu yang cukup lama.”

”Tidak ada keringanan sama sekali?”

Meinar menghela napas. ”Paling-paling kita hanya bisa menangguhkan waktu kepulangan, tapi tidak untuk menahannya berlama-lama di sini.”

Hening beberapa saat, sampai akhirnya terpecah oleh suara Meinar yang berusaha meyakinkan Rianty, ”Apa yang telah dilakukan Tary membuktikan keberanian dan kekuatan tekad gadis itu, Ri. Sebagian orang yang mengalami nasib seperti Tary, mungkin akan mengalami trauma dan depresi berat. Tetapi, Tary justru nekat meloloskan diri dari sekapan pria-pria berengsek itu! Kalau ternyata ia sanggup melakukan hal yang hebat, kenapa kamu tidak?”

Ruangan itu tambah sepi. Tary telah dipapah masuk ke kamar, didampingi oleh psikiater yang menemaninya tadi. Meinar kembali melanjutkan kalimatnya yang sejenak terputus. ”Selama ini, keluarga yang mengalami peristiwa pahit seperti Tary, umumnya ikhlas menerima dalam kondisi apa pun, asalkan anggota keluarga mereka kembali dengan selamat. Mereka lebih memilih bersikap pasrah, nrimo. Menganggap bahwa kembalinya anggota keluarga mereka lebih berharga dari permata. Bahkan, kebanyakan mereka mencabut kembali laporan tindak kekerasan ataupun penipuan yang sebelumnya telah kita mediasi untuk diproses secara hukum. Jadi, menurutku, Bik Parni akan menerima Tary dengan hati terbuka. Percayalah, Ri.”

”Yah, semoga saja,” gumam Rianty, lirih. Semoga saja, dirinya sanggup menyelesaikan janji itu.


Penulis : Riawani Elyta
Pemenang II Sayembara Mengarang Cerber femina 2008



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?