Fiction
Opera Rumah Singgah [5]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Rianty terdiam. Menyandarkan tubuhnya ke kursi setengah mengempas. Informasi yang diduganya akan mengarah pada titik terang justru makin samar. Mungkinkah mayat wanita yang mengenakan celana jins dan baju putih itu adalah Tary? Sedangkan kedua rekan seperjalanannya saja sulit untuk mengenali, apalagi dirinya yang hanya bermodal selembar foto?

Meinar menepuk bahunya. “Ri, sebaiknya kita pulang dulu. Mbak-mbak ini perlu istirahat. Besok kamu datang lagi ke rumah singgah, kita sama-sama mencari informasi. Kamu sendiri pasti juga sudah lelah, ’kan?”

Rianty mengangguk pelan. ”Ya. Kamu duluan saja. Aku mau menenangkan diri sebentar. Kepalaku agak pusing.”

”Kita ke kafetaria sebentar? Untuk secangkir kopi?” ajak Meinar.

Rianty menggeleng. ”Tak usah. Sudah larut. Kasihan mbak-mbak itu.”

Ia lalu merebahkan kepalanya yang terasa berat. Membiarkan pikirannya menerawang dan mengembara. Sejenak masuk kembali ke kamar jenazah. Kondisi mayat-mayat yang mengenaskan itu, kembali berseliweran di pelupuk matanya. Sesaat isi perutnya bergolak. Rasa ngeri, mual, iba, dan kecewa yang bercampur aduk menjadi satu, membuat lahir batinnya mendadak terasa letih.

Entah kapan ia bisa seperti Meinar, sahabat karib sekaligus pengelola rumah singgah Puan Kelana itu. Berhadapan dengan kasus demi kasus yang menimpa wanita-wanita yang dititipkan di rumah singgah, sama sekali tak terlihat mempengaruhi psikisnya. Bahkan, penampilannya tetap riang dan modis. Padahal, yang selalu dihadapinya adalah para wanita yang membawa jiwa-jiwa yang terluka dan pasrah, bahkan tak sedikit pula yang telah mengalami trauma cukup parah.

Mungkin saja, karena sejak awal Meinar telah berkomitmen sungguh-sungguh terhadap upaya perlindungan kaum wanita yang terenggut hak-hak asasinya. Terlecehkan harga dirinya. Semua bentuk pelayanan dan perlindungan yang diberikan di rumah singgah itu, baik melalui berbagai bentuk konseling dan advokasi, juga pembinaan mental dan rohani, bagi para korban yang dititipkan di sana, sudah seperti oase di tengah sahara. Memberi setetes kesegaran dan harapan, untuk mereka memulihkan trauma psikis dan kepercayaan diri.

“Hei, malam-malam duduk melamun! Betah amat di depan kamar mayat!” suara bariton itu menyentak sunyi.

Rianty tergagap. Matanya mengedar pandang. Tak ada siapa-siapa di situ. Hanya dirinya dan makhluk menyebalkan itu, yang entah kapan munculnya dan tahu-tahu saja telah berdiri di situ.

“Mana Meinar?”

“Dia sudah pulang dari tadi. Aku berpapasan dengannya di pintu gerbang. Meinar menyuruhku untuk cepat kemari. Dia takut kau kesurupan arwah, katanya sejak keluar dari kamar mayat tadi kau bengong terus. Mereka pamit pun kau tak acuh.”

Rianty tercenung. Meinar sudah lama pergi? Ke mana saja pikirannya mengembara barusan?

“Bengong lagi!” sergah Zokh, sambil menepuk sandaran kursi. ”Yuk, kita pulang sekarang. Kelamaan di sini kau bisa benar-benar kesurupan! Mana kunci? Biar aku yang bawa. Kondisimu terlihat sangat memprihatinkan.”

Ah, kapan Zokh bisa bersikap lebih manis dan gentle padanya? Rianty melirik sekilas. Pada bidang dada kekar di balik balutan T-shirt yang menyembul di balik jaket kulit itu. Ah. Resonansi aneh itu muncul lagi. Menggetarkan alam khayalnya dengan dorongan keinginan yang begitu kuat untuk merebahkan kepalanya di dada itu, melepas sejenak penat jiwa dan pikirannya yang terasa luar biasa mumet hari ini. Tetapi, apa yang akan muncul di kepala Zokh, jika ia melakukan itu? Melempar berpuluh guyon dan ledekan, seperti yang selama ini mewarnai hari-hari mereka? Atau, malah memeluknya kuat-kuat sampai tubuh dan batinnya terasa lebih hangat?

“Kau lihat-lihat terus dari tadi? Ngaku aja, deh, kalau memang naksir! Nggak perlu malu-malu begitu!”

Mata Rianty membola. Bertubi-tubi cubitan kecil yang tajam cepat dilancarkannya sebelum Zokh keburu meneruskan niatnya untuk tertawa dan menggoda. Huh! Tak sadar Rianty mengeluh di dalam hati. Sampai kapan pola interaksinya dengan Zokh tetap bertahan seperti ini? Sejujurnya, ia menginginkan sesuatu yang lebih. Lebih membuatnya merasa nyaman dan dibutuhkan saat berada di sisi pria itu.

Juni 2007

“Apa lagi menu hari ini, Mei?” ujar Rianty, sambil merebahkan kepalanya di jok kursi mobil Meinar. Selama beberapa minggu ini, di luar shift-nya mengajar, ia memang mengisi waktunya dengan menjadi relawan pendamping di rumah singgah, yang jumlah penghuninya kian hari terus saja bertambah.

Para tenaga kerja wanita ilegal korban trafficking adalah mereka yang menduduki jumlah peringkat teratas. Sebagian dari mereka ditemukan saat razia dan patroli laut, saat penggerebekan di rumah prostitusi, kafe, dan panti pijat, juga terdapat puluhan pekerja yang dipulangkan dari negara tujuan, saat ditemukan aparat setempat tanpa membawa dokumen lengkap dengan stempel ’pendatang haram’. Selain itu, masih ada sejumlah penghuni lain yang merupakan korban kekerasan rumah tangga ataupun yang melarikan diri dari germo.

Tak jarang ia merasa prihatin, senewen, sedih, juga geram. Mengapa makhluk Tuhan yang paling dimuliakan itu justru sering kali menjadi sasaran empuk kejahatan? Mengapa sosok berjasa yang telah melahirkan miliaran manusia di bumi ini harus selalu jadi korban? Bahkan, tak jarang justru dilakukan oleh orang-orang terdekat? Jangan-jangan sebaris kata bijak yang mengatakan bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu sudah tak lagi menggetarkan kalbu, tak lagi cukup menggugah nurani. Atau, barangkali saja redaksi kalimat yang disitir dari hadis nabi itu perlu ditambah dengan makna yang lebih luas, bahwa melecehkan kaum yang dianggap lemah itu sama artinya dengan mengantarkan sebelah kaki mereka ke neraka!

Tawa lepas Meinar seketika memecah kerak-kerak es yang membeku di kepala Rianty, membuat sederet pertanyaan retorik yang tersimpan di dalamnya meleleh dan terserak sebelum sempat ia luapkan. Ah, Rianty menggeleng heran. Sahabatnya ini masih saja bisa tertawa, meski sekeliling pinggangnya selalu dililit benalu trauma wanita-wanita dan pesakitan.

“Menu kita siang ini sudah terhidang di Poltabes Barelang. Mbak Wina meneleponku tadi pagi. Seorang gadis tanpa identitas dan lupa ingatan diantar seorang penduduk ke kantor polisi. Kabarnya, ia melarikan diri dari sekapan nelayan, dan Mbak Wina memintaku untuk sementara waktu menampung wanita itu di rumah singgah,” jawab Meinar, tenang.
Rianty mengernyitkan kening. “Dan kamu menyanggupi? Mei, kalau begini terus-menerus, dalam waktu dekat Puan Kelana akan mengalami peningkatan multifungsi! Bukan lagi sekadar penampungan sementara, tetapi sekaligus rumah sakit jiwa!”

Tawa Meinar kembali meledak. “Ha... ha... ha..., kok, kamu yang senewen, sih? Aku yang pontang-panting setiap hari saja masih bisa hidup tenang dan tidur nyenyak, kok! Asalkan kita ikhlas and enjoy your job! Everything will be over. Easy, right?”

Jawaban lepas Meinar yang seolah tanpa beban membuat Rianty mendelik gemas. “Enjoy katamu? Setiap hari menghadapi makhluk yang sejenis denganmu datang dengan berurai air mata, tubuh penuh luka dan lebam, belum lagi yang kerjaannya ngomong sendiri melulu, yang memekik-mekik histeris, kamu masih bisa bilang enjoy?”


Penulis : Riawani Elyta
Pemenang II Sayembara Mengarang Cerber femina 2008




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?