Fiction
Opera Rumah Singgah [4]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Rumah Singgah Puan Kelana, April 2007


Rianty menatap lekat-lekat satu per satu wajah lima orang wanita itu, sambil sesekali melihat foto yang ada di genggamannya. Sekali lagi. Kali ini lebih seksama. Lalu akhirnya menggeleng.

“Ternyata dugaanku benar, bukan? Kau bekerja di sana untuk mencari seseorang. Siapa, sih, dia? tanya Zokh yang menemaninya siang itu, sambil mengetuk-ngetuk meja dengan raut muka masam.

“Anak Bi Parni. Semoga kau belum lupa. Tary sudah setahun lebih berangkat ke kota ini, diajak seseorang untuk menjadi TKW, tetapi sampai sekarang belum ada kabarnya lagi.

Zokh menggelengkan kepala. Rautnya tambah menekuk. “Kau ini memang kurang kerjaan! Kau pikir gampang nyari calon TKW yang sudah setahun menghilang? Kalau nasibnya baik, mungkin saat ini ia sudah menghirup udara pendingin ruangan apartemen bertingkat sambil mendorong vacuum cleaner. Tetapi, kalau tidak?

Sejenak keheningan menggantung. Seiring kalimat Zokh yang tak berujung. Membuat kegelisahan Rianty menggunung. Sepasang mata hitamnya yang biasanya berbinar cemerlang itu tampak muram, hela napasnya pun terdengar dalam. Semua bahasa tubuh yang mencerminkan galau hati pemiliknya itu, mau tak mau mengusik rasa simpati pria itu. Ia menurunkan nada suaranya. “Kau sudah cek di imigrasi? Disnaker?

Rianty mengangguk. “Semuanya sudah, tetapi hasilnya nihil! Tidak ada wajah dan identitas gadis itu. Rumah singgah ini sebenarnya adalah harapan terbesarku. Sejujurnya, aku memang tak pernah berharap buruk, membayangkan bahwa gadis itu harus tersangkut masalah, lalu akhirnya terdampar di sini. Tetapi, kemungkinan itu tetap ada, bukan?

Zokh mengangguk tanpa suara. Angguk yang semata untuk menenangkan. Keheningan sekali lagi tercipta. Sampai akhirnya terpecah oleh sebuah suara cempreng dan sosok pemiliknya yang jangkung muncul di ruangan itu. “Gimana, Ri? Dia ada?

Rianty menggeleng malas.

“Kok, hanya Rianty, sih, yang kau sapa? Zokh mengedipkan sebelah mata pada Meinar, nama gadis jangkung itu.

Meinar paham arti kedip mata Zokh. Bukan sekali ini ia menangkap kekecewaan Rianty kala tak berhasil menemukan jejak Tary. Terdengar tawa Meinar setengah meledek. Memecah sunyi. “Sori, nggak ngeh ternyata ada kamu! Kukira tadi Rianty sedang ngobrol sama Mang Udin.

Zokh pura-pura kaget. “Jadi, kau kira aku tukang kebun?

Tawa Meinar tambah berderai. Menyembulkan baris giginya yang rapi. “Habisnya, kamu juga, sih! Kapan, sih, kamu mau tampil rapi? Padahal, kalau sedikit dipermak, Rianty pasti nggak akan meng-anggap kamu sebelah mata.

“Apa? dahi Rianty mengernyit. Tak menyadari bahwa pancingan kedua orang itu mengena.

Dan, Meinar tersenyum jail. “Bukannya dulu kamu pernah bilang, seandainya saja ibumu dan ibunya nggak ditakdirkan berasal dari satu rahim, kamu akan….

Sebuah bantal kursi keburu membungkam mulut Meinar sebelum ia menuntaskan godaannya.

“Eh, kau mau ke mana? seru Zokh pada Rianty.

“Ke toilet, mau ikut? tukasnya, cuek. Tetapi, Rianty sama sekali tak menuju toilet. Ia hanya merasa perlu menyingkir sejenak. Degup jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat, tak dapat ia kuasai. Wajahnya pun terasa hangat. Atau jangan-jangan, pipinya sudah merona? Kenapa? Karena Zokh? Ah. Ia memejamkan mata. Susah payah meredakan gemuruh di dadanya. Tuhan telah menetapkan pria itu sebagai saudara sepupunya. Dan, pria itu juga telah menjadi teman sepermainannya sejak kecil. Dengan kata lain, keakraban mereka telah seperti saudara kandung. Jadi, mengapa kini harus ada resonansi hati yang bergetar aneh setiap kali harus berdekatan dengan pria itu?

Kampung Air Lingka, Juni 2007

Gadis itu mengintip dari balik semak. Tatapannya lekat tertuju pada sebuah pick up yang parkir di tepi jalan. Kira-kira dua puluh lima meter dari pantai. Mungkin sekitar sepuluh meter dari tempatnya merunduk dan bersembunyi. Ia sudah sering melihat kehadiran pick up berwarna biru tua itu, bahkan sudah hafal dengan jadwalnya. Yang setiap tiga hari sekali datang untuk mengambil ikan dan kerang hasil tangkapan nelayan, untuk kemudian membawanya ke meja transaksi di pasar-pasar tradisional di pinggir kota.

Ia melihat sekeliling dengan lebih waspada. Memastikan suasana telah cukup aman. Sampai ia yakin benar bahwa tak ada orang di sekitar situ, yang mencurigai gerak-geriknya. Napasnya memburu. Saat ia berlari dengan merunduk dalam gelap. Jaraknya dengan pick up itu kian dekat. Ia berhenti dan tiarap, ketika dua orang pria menaikkan beberapa buah kotak oranye ke bak belakang pick up, lalu menutupnya dengan terpal.

Kedua pria itu bergerak ke bagian depan, masuk ke dalam mobil dan menutup pintu. Sesaat kemudian terdengar bunyi mesin mobil yang dinyalakan. Ya, ini saatnya! Gadis itu berlari dengan tetap merunduk, menuju ke arah belakang, lalu sekuat tenaga memanjat dan melompat ke dalam bak pick up, serta secepat kilat menutup tubuhnya dengan terpal. Dadanya sempat membentur sudut salah satu kotak. Terasa nyeri, yang membuat tarikan napasnya tertahan. Namun, ia tak peduli. Rasa nyeri itu belum seberapa, dibandingkan keperihan yang masih menggelayuti dada dan sekujur tubuhnya.

Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan suara yang hampir keluar dari rongga tenggorokan, saat sekelebat bayang-bayang cengkeraman tangan-tangan berbau amis itu muncul kembali, menyeret ingatannya pada malam-malam jahanam itu, yang harus dilewatinya dengan napas terbekap dan cucuran air mata, hingga gelap berganti pagi.

Perlahan pick up bergerak. Lalu melaju.

Rumah Singgah Puan Kelana, awal Mei 2007

“Ri, kita ke RSU sekarang! Ada berita penting!”

“Penting apa?” Rianty bertanya bingung. Meinar berjalan tergesa menuju sedan. Dua orang gadis bertampang lugu dan kusut mengekorinya, lalu dengan kikuk memasuki pintu belakang mobil ketika Meinar membukakannya.

“Ada apa?” kejar Rianty penasaran. Ia bahkan belum mematikan mesin sepeda motor dan melepas helm.

“Sebuah kapal kayu terjaring dalam operasi patroli Lanal. Beberapa orang ditahan, termasuk penumpang dan ABK. Mereka ternyata rombongan calon tenaga kerja yang akan diselundupkan ke Pasir Gudang. Dua belas orang dititipkan di sini, setelah pemeriksaan dokumen mereka beres,” ucap Meinar beruntun, seperti laporan reporter berita kriminal di televisi. Mata dan gerak jempolnya terarah ke belakang, mengisyaratkan bahwa dua gadis yang duduk meringkuk di jok belakang adalah di antara mereka yang dititipkan itu.

“Lalu, kita ke rumah sakit, untuk apa?” Meinar memutar kunci dan menginjak pedal gas perlahan. Menimbulkan suara deru yang halus. “Tary termasuk salah satu calon TKW yang akan diberangkatkan malam itu! Mbak berdua ini mengenalinya! Tetapi….”

“Tetapi, apa, Mei?” tengkuk Rianty mulai menegang. Ia memang selalu mengalami bermacam reaksi tubuh yang tak menyenangkan setiap kali harus berurusan dengan pencarian Tary.

“Ketika kapal kepergok patroli, penumpang diperintahkan untuk terjun. Tak semuanya bersedia, beberapa nekat meloncat, karena takut ditembak. Tadi pagi Mas Khrisna memberi tahuku, di perairan sekitar area patroli itu ditemukan beberapa mayat mengapung. Dan, sekarang mayat-mayat itu sudah diautopsi di RSOB.”

Tak menunggu kata-kata Meinar selanjutnya, Rianty segera menggerakkan motor. Kalimat terakhir Meinar itu telah menjalarkan ketegangan tak hanya di sekujur tubuhnya, melainkan juga telah menyusup sampai ke miliaran neuron di kepalanya. “Aku langsung ke sana.”


Penulis : Riawani Elyta
Pemenang II Sayembara Mengarang Cerber femina 2008



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?