Fiction
Opera Rumah Singgah [1]

2 Feb 2012

Perairan Pulau Putri, April 2007

“Bagaimana? Semua beres?”

“Beres, bos!”

“Rute clear? Patroli aman?”

“Aman, bos!”

“Kalau begitu, kita berangkat sekarang! Jangan buang waktu lagi!” Pria yang dipanggil bos itu lalu melompat bangkit dari duduknya, melempar rokok yang baru terbakar separuh dan dalam sekejap menghilang di balik badan kapal.

“Ayo, semua! Kita bergerak sekarang! Jangan ada yang berlengah-lengah!” seru seorang pria bertubuh gendut sambil bertepuk tangan, pada segerombolan pria dan wanita yang duduk mencangkung di atas tanah berumput sambil mengepit koper dan tas besar mereka. Rata-rata terlihat masih berusia muda, mungkin baru sekitar dua puluhan tahun, dan sebagian besarnya adalah wanita. Suasana yang mencekam, dan bunyi perintah yang keras, membuat masing-masing bangkit dan bergerak dengan raut wajah yang menegang dan mulut terkunci rapat.

Gadis yang berjalan paling depan dari rombongan itu, seketika bergidik, ketika langkahnya memasuki lambung kapal. Di dalam kapal kayu itu, sama sekali tak dilihatnya ada barisan kursi penumpang ataupun sekadar matras tipis untuk tempat merebahkan diri, selain hanya terdapat sehelai perlak plastik pengalas lantai yang digelar sekadarnya. Sampah bekas kaleng minuman dan puntung rokok tampak berserakan di sana-sini. Bau busuk dan lembap menguar hampir di setiap sudut. Kapasitas ruang itu sendiri, sama sekali tak sebanding dengan jumlah mereka yang hampir mencapai enam puluh orang.

Gadis itu cepat-cepat mengambil tempat paling pojok. Lalu duduk sambil mengepit erat tas nilon hitamnya dengan kedua lututnya yang menekuk. Benar saja. Sejumlah penumpang yang masuk paling akhir terpaksa harus berdiri berdesakan. Gadis itu menghela napas lega. Ia sejenak melongokkan kepala pada lubang jendela yang terbuka. Terpa sejuk angin malam seketika menikam wajah dan meriap-riapkan helai rambutnya. Tak ada pemandangan apa pun yang bisa dinikmatinya. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah lautan lepas tak berbatas dan kesunyian yang menegakkan bulu roma.

Memorinya sesaat bergerak mundur. Perjalanannya malam ini, sesungguhnya telah sejak lama ia nantikan. Berbulan-bulan sudah ia memanjatkan doa, mengharap gilirannya diberangkatkan akan segera tiba. Namun, tak pernah sekali pun terlintas di benaknya, bahwa perjalanannya akan ditempuh dengan cara yang aneh dan menegangkan seperti ini.

Pagi-pagi sekali Bang Yose, salah satu penjaga di tempat penampungan, memerintahkan mereka untuk segera bersiap-siap, karena malam ini juga rombongan akan segera diberangkatkan menuju Pasir Gudang. Gadis itu spontan terheran, saat dua unit bus datang menjemput mereka beberapa jam yang lalu. Masih adakah kapal yang menuju Pasir Gudang di tengah malam buta begini? Bahkan, ruko-ruko di sekeliling ‘asrama’ yang selama beberapa bulan ini mereka tempati, semuanya sudah benar-benar sepi, ketika bus yang mereka naiki bergerak menuju pelabuhan.

Suasana di sekitar pelabuhan pun tak kalah mencengangkan. Seumur-umur, baru kali ini ia menjumpai dermaga yang letaknya sangat terpencil, sunyi, dan nyaris tak menunjukkan tanda-tanda aktivitas pelabuhan sebagaimana lazimnya. Pos pemeriksaan dokumen dan paspor untuk calon penumpang yang akan berangkat ke luar negeri pun tak terlihat sama sekali. Yang lebih mengherankan lagi, di beberapa sudut temaram di sekitar kawasan pelabuhan, samar terlihat bayang-bayang orang-orang berlainan jenis yang sedang bergumul, bermesraan, sesekali ditingkahi tawa cekikikan.

Kapal mulai bergerak melaju. Menyusuri pekatnya malam dan keheningan yang meraja. Tiba-tiba gadis itu merasa sesuatu yang menyesakkan menyerang bagian perut bawahnya. Ups! Kenapa pula ia mendadak ingin ke kamar kecil? Ia celingukan, bertanya pada penumpang di kiri dan kanannya di mana toilet berada, yang hanya dijawab dengan gelengan. Akhirnya, ia memberanikan diri untuk berdiri dan berjalan perlahan. Ia tak ingin menambah runyam suasana dan menanggung malu tak terhingga, jika harus telanjur basah di ruangan yang dijejali penumpang seperti ikan sarden itu.

“Hei, kau mau ke mana?” sebuah bentakan mampir ke telinganya ketika langkahnya sampai di buritan kapal. “Aku… cari toilet,” jawabnya gugup. “Di sebelah sana! Hati-hati jalannya! Penerangan minim sekali di sana!” Gadis itu hanya mengangguk, lupa mengucapkan terima kasih.

Ia lalu menuju ke arah yang ditunjukkan pria yang berdiri di atas buritan kapal itu. Dilangkahkannya kaki dengan ekstra hati-hati di atas kapal yang mulai berayun oleh gelombang, sampai akhirnya ia menemukan sebuah ruang bertutup selembar papan usang bertuliskan ’WC’, yang terletak agak menjorok di sisi kiri kapal. ’Pintu’ yang hanya dipaku sekadarnya itu langsung oleng, ketika ia mendorongnya.

Pria itu benar. Di sekitar tempat itu suasana sangat gelap. Hanya ada sebuah bola lampu yang mengeluarkan cahaya redup berwarna kuning terpasang di atas pintu WC. Sedangkan di dalamnya, sama sekali tak ada lampu yang menerangi, selain hanya mengandalkan cahaya bola lampu dan sinar bulan, yang masuk melalui celah-celah lubang angin di dinding WC yang berbau pesing.

“Celaka, Bang! Ada patroli mendadak!"

Ia yang baru saja mengancingkan ritsleting celana jinsnya segera berdiri dan merapatkan telinganya ke dinding WC sambil menyandarkan kedua telapak tangannya pada dinding itu. Ayunan gelombang membuatnya harus ekstra menahan keseimbangan.

“Dari mana kau tahu?”

“Darman barusan mengirim pesan! Menurutnya, dua kapal patroli sudah memasuki perairan ini.”

“Sialan! Di mana ceruk terdekat?” suara pria itu panik.

“Masih jauh, Bang.”

“Kalau begitu, cepat kau hubungi Roeslan, secepatnya suruh dia bawa sampan ke sini!”

“Tapi, Bang….”

“Apa lagi?” suara pria itu tambah tak sabar. Lawan bicaranya justru lebih panik. “Kita terlambat! Itu… mereka! Kapal patroli Lanal, Bang!”

“Gawat! Ayo, matikan semua penerangan, cepat!”

Suasana mendadak sunyi. Gadis itu tak mendengar lagi suara apa pun. Perlahan ia keluar, dan mendapati bahwa sekelilingnya ternyata sudah benar-benar gelap! Ia berjongkok. Meraba dek kapal. Lalu akhirnya memutuskan untuk berjalan dengan merangkak. Kegelapan itu terlalu pekat untuk disusuri.

Samar-samar dari kejauhan terlihat sebuah kapal mendekat. Dua orang pria berdiri di haluan kapal. Salah satu dari mereka mengangkat tangannya dan seperti mengacungkan sesuatu. Gadis itu belum menyadari benar apa yang terjadi, ketika tiba-tiba suasana di dalam kapal mulai gaduh.

“Ayo, semua terjun! Terjun cepat!” sebuah perintah keras terdengar disusul jeritan-jeritan panik dan suara benda tercebur ke air.

“Hei, kau! Tunggu apa lagi? Ayo, terjun!” Gadis itu mendongak. Pria yang menegurnya tadi kini berdiri tepat di hadapannya.

“Tapi....”

“Pokoknya kau terjun cepat! Atau, kau mau kepalamu ditembak, heh?” Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Ia limbung. Dan, di detik berikutnya, ia merasakan tubuhnya sudah terempas ke dalam air. Ia gelagapan. Berusaha menggapai permukaan.


Penulis : Riawani Elyta
Pemenang II Sayembara Mengarang Cerber femina 2008



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?