Fiction
Nyanyi Sunyi Celah Tebing [4]

17 Feb 2012

<<< Cerita Sebelumnya

Lily menyesal sekali telah meninggalkan anak itu selama tiga pekan ini. Ia mengutuki diri karena pernah berniat melupakan saja Naka dan masalahnya. Kalau saja ia datang lebih sering, Naka pasti lebih sering menampakkan binar matanya yang paling terang.

“Hai, Naka!” sapa Lily, hati-hati.

Naka menoleh dengan sinar mata redupnya. Kemudian kembali memandangi kertas di depannya.

“Naka mau buku cerita bergambar lagi tidak? Kakak bawa yang ada cerita kakak-beradiknya. Pernah dengar cerita Tunggeng-Laka (cerita rakyat asal Bali tentang kesengsaraan sepasang anak kembar yang yatim piatu)? Nah, itu sudah dibuat buku bergambarnya. Mau lihat?” Lily mencoba membujuk Naka dengan suara lembutnya.

“Mengapa Kak Lily lama sekali tidak datang. Kak Lily janji sering-sering menjenguk Naka. Kakak bohong. Kakak juga menghilang!” kata Naka, ketus.

Lily belum pernah mendengar Naka berkata sekeras dan setajam itu. Lily merasakan hatinya kecut. Ia merasa amat malu. Lily hanya diam karena terlalu bingung harus mengatakan apa. Ia hanya mengelus-elus kepala Lily dan mengusap-usap punggungnya. Sementara mata itu masih memandangnya tajam.

“Kak Lily sama dengan semua orang. Tidak betah bersama Naka. Juga Bli Cakra. Semuanya. Semuanya tidak ingin bersama Naka.”

Lily tidak menyangka ia telah menjadi orang yang berarti buat Naka, padahal belum banyak hal yang dilakukannya.

“Tidak, Naka. Semua orang bukan tidak betah bersamamu. Kak Lily, nenekmu, Cakra, sangat suka bersama Naka. Juga Raka, kakakmu. Kalau bisa, pasti ia sangat ingin bersamamu. Namun, ia tidak bisa, karena takdir memisahkan kalian. Jangan menyalahkan dirimu atas semua kejadian ini. Semua orang mencintai anak sebaik dan serajin Naka. Kamu salah menilai dirimu!” Lily tidak tahu apakah yang diucapkannya benar atau tidak. Ia berharap Naka bisa memahaminya.

Lily melihat genangan air berebut keluar dari kelopak mata Naka. Air itu kemudian meluap dan mengalir deras di kedua pipinya. Naka memeluk Lily erat dan menangis dengan suara keras. Guncangan di dadanya memukul-mukul dada Lily. Lily mengelus-elus punggung Naka dan merasakan hatinya hanyut.

Saat tangisnya mereda, Lily berusaha membujuknya untuk makan. Lily menunjukkan dua gaun baru untuk Naka. Dua gaun feminin. Lily mengatakan, gaun itu akan menjadikan Naka seorang putri. Putri yang dikagumi dunia. Meskipun masih berurai air mata, Naka tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Mata cemerlang itu kembali dilihat Lily.

“Semua untuk tiang, Kak?” tanyanya, dengan mata cerah.

Anggukan Lily membuat mata itu makin berkilau-kilau. Seharusnya Lily sadar, pemberian-pemberian kecilnya sangat berarti buat Naka. Dalam hati Lily berjanji takkan membiarkan anak ini kembali tergulung dalam kesedihan. Sekali ini Lily ingin berbuat sesuatu untuk orang lain, untuk Naka.

Denpasar, April 1994
Lily resmi dipindahkan ke Bali. Ia hanya sempat pulang seminggu untuk mengemasi barang-barangnya. Lily merasa heran atas kebijakan redaksi ini. Mengapa begitu mudah memindahkannya ke Bali. Wartawan sehebat Lily. Yang kerap menghasilkan tulisan-tulisan besar.

Lily terkenal sebagai wartawan yang sangat berani. Ia ba­nyak mengulas carut marutnya pengelolaan keuangan negara, bagaimana kebocoran uang negara bisa terjadi begitu mudah, terjadi di semua lini dan melibatkan pejabat negara secara sistematis. Dokumen-dokumen penting sering bocor ke tangan Lily melalui informan-informannya. Banyak pejabat yang kebakaran jenggot karena berita-berita Lily. Untunglah, sampai saat ini, belum satu pun yang berhasil menggunakan cara-cara keras untuk membungkam Lily.

Dan, sekarang ia begitu mudah dipindahkan ke Bali, setelah lima tahun menjadi ‘penguasa’ berita-berita korupsi. Dan, pos Lily begitu saja diserahkan kepada wartawan baru. Wartawan yang sama sekali buta seluk-beluk jaringan informasi di sana. Lily ingat, beberapa bulan belakangan ini Mas Tony sering menanyakan, kapan Lily mengambil cutinya. Padahal, sebelumnya, ia dan Mas Noch selalu keberatan kalau Lily ingin cuti.

Kehilangan Lily berarti kehilangan berita-berita besar yang men­dongkrak oplah Memoar. Mengapa sekarang mereka malah cen­derung mau menyingkirkan Lily? Lily mengibas-ngibaskan tangannya. Berusaha menghalau kecurigaan yang tiba-tiba menggumpal di kepalanya.

Ah, sudahlah, aku tidak mau ambil pusing. Di Bali pun aku bisa berkarya. Begitu pikirnya. Lily sendiri mulai terpikat pada Bali. Sejak peristiwa di Gunung Kawi yang menyeretnya dekat dengan keluarga Naka, juga seorang pemuda Bali bernama Cakra. Perkenalan Lily dengan keluarga ini membuat Lily terbius untuk selalu merasa betah. Ia selalu ingin berkunjung sesering mungkin. Mengunjungi Naka dan mengajaknya bercerita. Turut serta mengayam sesajen dan makan masakan nenek Naka.

Lily merasa menemukan rumah baru yang begitu permai, begitu nyaman. Seperti berkunjung ke sebuah negeri khayalan yang hanya ada dalam dongeng-dongeng. Setiap kali mengunjungi rumah Naka, Lily merasa tiba-tiba waktu bergerak lambat. Pohon-pohon juga bergoyang lebih pelan, angin bertiup lebih lembut. Matahari yang bergerak seolah berjingkat-jingkat, seperti tidak ingin mengu­sik keasyikan keluarga ini bekerja.

Dan, aroma itu…. Aroma yang membuat Lily bisa mengenali rumah itu, seperti ia mengenali keringatnya sendiri. Aroma daun-daunan layu, aroma bunga-bunga yang membusuk dari sisa canang sari (salah satu bentuk sesajen) yang berserakan di halaman. Aroma tanah basah yang sangit. Bila suatu saat punya rumah dan membangun keluarga, Lily ingin menciptakan aroma itu di rumahnya. Ia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan tinggal di rumah dengan aroma itu.

Sekarang Lily makin sering menghabiskan waktu dengan Naka. Sejak ia berhasil membujuk Naka menyudahi mogok makannya, Lily berjanji tidak akan pernah mengacuhkan Naka lagi. Rupanya niat itu pulalah yang tertanam di benak Cakra. Ia tidak ingin mengecewakan Naka untuk kedua kalinya. Cakra…I Gede Cakra lengkapnya. Pria tipikal Bali yang terkesan kuno.

Pria itu sering menggunakan kain yang ujungnya dilipat meruncing, bila berkunjung ke rumah Naka. Kain kusut yang sering membuatnya tampak kumal. Kain kusut yang juga sering digunakan keluarga Naka. Mereka selalu bermain dengan warna cokelat dan abu-abu. Membuat gambar-gambar yang tertangkap lensa mata Lily adalah gambar-gambar muram seperti dalam film-film lama. Bila ia berada di tengah-tengah keluarga ini, ia benar-benar menjadi kontras, karena Lily sering mengenakan baju-baju berwarna cerah.

Lily, Naka, dan Cakra sering pergi bertiga. Pergi bersama dengan mobil Lily. Lalu, Naka akan terlihat melongo mengamati benda-benda bergerak cepat dari dalam mobil. Kemewahan yang belum pernah ia nikmati sebelumnya. Naka masih sering melemparkan surat-surat untuk mencari Raka. Naka tidak pernah menyerah. Anak itu juga sangat menyukai saat-saat Lily mengajaknya mencicipi berbagai jenis makanan baru di restoran. Sukacita seorang bocah yang bermimpi memiliki orang tua yang lengkap.

Lily tahu, Naka memang sengaja membuat ketiganya sering pergi bersama-sama. Dan, ia selalu tampak ingin bermanja kepada Lily dan Cakra. Memimpikan keduanya adalah keluarganya. Orang tua sekaligus kakaknya. Lily tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti anak itu, paling tidak untuk sementara ini.

Gunung Kawi, Mei 1994
Lily menyebut pria berkulit cokelat yang baru dikenalnya sebagai tetua adat. Bagaimana tidak, Cakra bisa dibilang sangat kuper. Cakra seperti baru pulang dari tapanya selama bertahun-tahun. Ia seperti hilang ingatan terhadap dunia sekitarnya. Ia belum pernah menonton film Hollywood mana pun, ia tak mengenal satu pun aktor Hollywood, apalagi penyanyi-penyanyi dunia yang digandrungi anak muda zaman ini. Ia juga tak acuh pada buku-buku bestseller yang bertebaran di toko-toko buku ternama.

Sempat suatu kali dengan gemas Lily bertanya, “Kamu ke mana saja, Cakra? Nggak pernah baca buku atau nonton film?”

Cakra dengan serius menjawab, “Kamu jangan begitu, dong. Jelas aku terpelajar dan berpengetahuan. Mau coba? Cuma, jangan ban-dingkan dengan pacar-pacarmu dulu!”


Penulis: Ni Komang Ariani


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?