Fiction
Namanya Aryana [1]

11 Mar 2013


Awalnya, berhenti bekerja kantoran membuatku sedikit iri pada kebanyakan wanita di kompleks kecil kami yang masih berstatus sebagai pekerja kantoran.


Namanya Aryana. Tetangga baru, persis depan rumahku. Seorang perempuan muda yang di suatu sore datang mengendarai sedan mewah seorang diri. Turun dengan anggun dari dalam mobil. Memasuki pintu rumahnya pertama kali  dengan membawa beberapa buah koper besar seorang diri.

"Saya Aryana, Mbak. Penyewa baru di rumah depan," sapanya dengan manis, saat  mengantarkan sebuah kotak kardus berisi kue tart bersematkan nama sebuah toko kue yang mahal.

"Terima kasih, Mbak Aryana. Aduh repot sekali. Mari, silakan masuk." Aku menerima  antarannya dengan gelagapan. Dia cantik sekali, meskipun hanya mengenakan blus sederhana berwarna   maroon dengan dandanan seadanya. Sementara aku, yang mengira pintu rumah diketuk oleh seorang kurir, muncul di hadapannya dengan daster harian dan rambut digelung ke atas seadanya.

"Terima kasih, Mbak. Saya sekalian mau pergi tadi. Ingin mengantar ini saja. Mari Mbak, saya permisi dulu," ia mengangguk sopan dan melangkah pergi.
***
Rumah di depan rumahku sudah lama kosong. Hanya sesekali pemiliknya, seorang pria tua perlente yang berpostur tinggi besar, datang menengok. Sampai sekarang aku pun tidak mengenal bapak itu sama sekali.

Sebulan pertama Aryana tinggal, aku sudah mulai hafal aktivitasnya. Dia berangkat kerja pukul 8 pagi. Menyetir sendiri. Bunyi deru mesin mobilnya akan terdengar lagi pukul 7 atau 8 malam. Bahkan, di Jumat sore pun, dia nyaris tidak pernah terlambat tiba di rumah. Selalu seorang diri.

Sabtu pagi dia akan pergi. Entah ke mana. Dan mobil yang sama akan membawanya kembali di hari Minggu sore. Tanpa seorang pun pernah terlihat menemaninya.
Beberapa bulan berlalu. Aku mulai terbiasa dan tidak terlalu menggubris apa saja yang dikerjakannya. Setiap pagi kami biasanya saling menyapa saat aku akan mengantarkan kedua anakku ke sekolah. Dia biasanya asyik berkutat di taman kecil di halaman rumahnya. Saat aku memarkir mobilku kembali dari sekolah, dia pun sudah duduk di belakang kemudi, siap ke kantor. Klakson mobil terkadang menjadi pengganti sapaan rutin kami.

"Wah, hari ini nggak mendung. Cuaca bagus. Yang pintar, ya, di sekolah," begitu terkadang dia menyapa, atau sekadar melambaikan tangannya beberapa kali. Atau mengangkat jempol sambil mengedipkan mata kepada anak-anakku.

Tapi, tak pernah berkembang lebih jauh dari itu. Kadang-kadang aku ingin mengundangnya ke rumah. Atau aku yang ingin duduk ngobrol bertamu di rumahnya. Tapi, kapan, ya?
Tetangga lain pun tidak terlalu peduli padanya. Hidup di kompleks kecil di tengah kota, tak punya banyak waktu untuk saling menyapa.

Paling pernah sekali tetangga samping berbisik-bisik padaku saat di suatu akhir pekan. "Eh, Mbak Mala, itu tetangga depanmu siapa namanya? Andina, ya? Gadis apa janda, sih?"
Aku cuma tersenyum dan menjawab singkat, "Namanya Aryana, Mbak."

***

Awalnya, berhenti bekerja kantoran membuatku sedikit iri pada kebanyakan penghuni perempuan kompleks kecil kami yang masih berstatus sebagai pekerja kantoran. Waktuku banyak tersita untuk dua anakku yang berusia 6 dan 3 tahun.

Ingin juga rasanya punya sahabat untuk berakrab-akrab di dalam kompleks.  Aku senang Aryana cukup ramah dan rajin menyapa. Tapi, sepertinya perempuan yang selalu berpenampilan rapi itu sudah punya jadwal sendiri. Rutinitasnya tak membukakan kesempatan untukku agar bisa mengenalnya lebih jauh lagi.

"Mbak Mala, Mbak Mala, sebentar, deh,” seorang ibu yang tinggal di rumah paling pojok, memanggilku dari teras rumahnya.
"Ya, Mbak Rina. Ada apa?" Aku menghentikan mobil di depan rumahnya dan membuka kaca jendela.
"Itu, Mbak. Tetangga depanmu. Arina siapa gitu namanya, ya? Dia itu ternyata perempuan simpanan, lho. Tahu Pak Hendy, ‘kan?"
"Pak Hendy?"
"Pak Hendy, yang sudah tua tapi masih keren itu, lho," Mbak Rina cekikikan sebentar. "Pak Hendy yang punya rumah itu. Masa Mbak Mala nggak tahu, sih."
"Oh, namanya Pak Hendy," aku menggumam pelan.

"Eh, masa Mbak Mala nggak pernah lihat. Seminggu terakhir ini kan, Pak Hendy suka datang ke sana. Satpam kompleks yang cerita. Terus ada juga satu laki-laki yang lebih muda. Ganteng juga. Duh, cantik-cantik kok, gitu, ya. Dua lho sekaligus. Ampun, deh. Ternyata, ya. Kelihatannya sempurna, tapi...." Mbak Rina mencibirkan bibirnya setelah bercerita penuh semangat.
Aku terdiam sesaat. Dengan wajah kebingungan, aku hanya menjawab pendek, "Oh, begitu."

"Ya, sudah, Mbak Mala nanti perhatiin, deh. Baru-baru ini aja, kok, dia sering kedatangan tamu. Perhatiin, deh, kalau malam. Dan katanya, sih, sekarang dia agak kurusan. Mungkin stres. Pusing mau putusin yang mana." Mbak Rina tertawa sinis.
Aku masih bingung mau menjawab apa. "Ya, udah, kalau begitu, Mbak Rina. Terima kasih infonya. Saya permisi dulu," aku berusaha menanggapi sesopan mungkin. "O, iya, namanya Aryana," tukasku pendek, sebelum menaikkan kembali kaca mobil dan berlalu dari hadapannya.

***
Dua minggu terakhir ini aku tidak lagi berdiam di rumah. Aku diterima menjadi tutor di sebuah lembaga bahasa Inggris, tidak terlalu jauh dari rumah. Anak-anak ke sekolah dengan bus antar jemput sekarang.

Aku sendiri tiap pagi sibuk depan laptop. Menyiapkan atau mempelajari materi kursus. Saat sore atau malam tiba, sudah malas mengintip lewat jendela, yang sering aku lakukan saat masih banyak waktu luang tersisa.

Ternyata, memang ada yang berubah. Malam itu, aku mendengar deru mesin mobil menjelang pukul 10 malam. Tergesa aku menyibak perlahan gorden di kamar tidurku. Kisah dari Mbak Rina tadi mendorongku untuk kembali memata-matai gerak-gerik si tetangga depan ini.

Seorang pria paruh baya yang sudah kukenal, turun dari mobil. Betul, dialah pemilik rumah depan itu. Jadi, apa benar?

Bukan itu satu-satunya perubahan yang bisa aku tangkap. Perempuan itu muncul di teras rumah dengan potongan rambut berbeda. Dia memangkas rambutnya. Sangat pendek. Wah, padahal aku tergila-gila pada rambut panjangnya yang hitam legam dan lebat. Dengan bantuan cahaya lampu terasnya yang  benderang, aku bisa melihat... dia tetap cantik. Masih sangat cantik. Ia juga terlihat lebih kurus.

Pagi itu, aku mendadak kangen ingin berbasa-basi dengan perempuan itu. Dia muncul saat aku menemani anak-anakku menunggu jemputan mereka datang. Bukan cuma rambut pendeknya yang menyita perhatianku. Mukanya juga tampak lebih pucat.
Dia hanya tersenyum datar saat aku melambai ke arahnya. Oh, sikapnya pun sudah berubah. Aku kecewa dan seketika mengurungkan niatku untuk menghampiri dan menyapanya. Dia langsung membuka pintu mobil dan melesat pergi. Dia berangkat lebih pagi. Aryana tampil kasual dengan celana jins dan kaus putih. Biasanya ia selalu mengenakan setelan kantoran yang chic, yang sering membuatku bertanya-tanya, di mana dia membelinya. Dan, ya, dia memang tampak lebih kurus.

Jangan-jangan dia sudah tahu bahwa dirinya sedang menjadi omongan tetangga. Apa dia merana? Entahlah, aku tak pandai menilai orang. Tapi, hati kecilku merasa omongan Mbak Rina tempo hari tidak benar. Setidaknya, itulah yang aku harapkan.

Seiring dengan perubahan sikapnya padaku dan penampilan fisiknya, dia mulai terlihat jarang di rumah. Akhir pekan, rumah depan pasti kosong. Kadang-kadang tetap menyetir seorang diri dengan sedan mewah yang sama. Kadang-kadang diantar oleh si pemilik rumah yang diduga kekasih gelapnya. Tapi, sering juga dia dituntun turun oleh seorang lelaki yang terlihat seumuran dengannya. Seorang pria ganteng, seperti celoteh Mbak Rina tempo hari.

Dia tidak segesit biasanya. Dia masih sering terlihat turun sendiri dari mobil. Tapi, terkadang pria muda itu yang membukakan pintu mobil dan menuntunnya turun. Sakitkah dia? Aku merasa iba. Tapi, jika mengingat kabar tak sedap tentangnya yang berembus makin kuat, aku jadi bingung lagi. Akhir-akhir ini dia terlihat lebih sering mengenakan tutup kepala. Suasana malam yang gelap dan teras rumahnya yang sering dibiarkan tanpa cahaya lampu membuatku agak sulit melihat dengan jelas.

Saat aku bercerita kepada suamiku, dia memberi nasihat, "Sudahlah, nggak usah ikut-ikutan. Belum tentu benar, ’kan? Kalau penasaran, sana, tanya langsung ke orangnya. Tapi, yang sopan."

Berhari-hari aku mulai mengumpulkan keberanian untuk mencoba mengobrol dengannya. Aku menyesal. Dulu aku punya lebih banyak kesempatan. Sayangnya, saat keberanian itu sudah mulai terbentuk, dia mendadak jarang terlihat lagi. Sebulan terakhir ini, rumah itu sepertinya kosong lagi.

Suatu sore, pria muda yang sering terlihat datang bersamanya, muncul tiba-tiba di depan pintu rumahku.
"Mbak Mala?" ujarnya sopan, saat aku membuka pintu. Aku bengong.
Dia tersenyum sambil menyerahkan sebuah bungkusan padaku. "Ini dari Mbak Aryana, kakak saya. Katanya sudah lama mau ngasih, tapi lupa terus."

"Mbak Aryananya emang ke mana? Kok, jarang kelihatan?" aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Sekarang sudah dirawat di rumah sakit, Mbak. Mbak Aryana sakit. Selama ini hanya berobat jalan, sekarang sudah berat mau bolak-balik."
Aku sempat terpaku, tapi buru-buru tersadar. "Oh, begitu. Wah, berarti sudah tidak kontrak lagi, dong," aku menjawab canggung dan merasa kalimatku barusan tidak nyambung.

"Rumah depan kan rumah ayah kami, Mbak. Ya, sepertinya setelah ini mau dikontrakkan kepada orang lain saja. Mbak Aryana sudah tidak akan tinggal di sini lagi."
Sebelum aku sempat merespons, pria muda itu langsung pamit.

"Maaf, Mbak, saya perlu mengambil barang-barang Mbak Aryana. Permisi, Mbak. Terima kasih, ya. Salam katanya buat anak-anaknya Mbak Mala. Raka dan Falisha, ya? Disebut-sebut terus oleh kakak saya, jadi ingat." Dia menerangkan panjang lebar sebelum beranjak pergi meninggalkanku yang diterpa kebingungan.

Kuletakkan begitu saja bungkusan yang aku terima barusan. Terduduk dengan perasaan campur aduk di sofa ruang tamu. Aku lega, ternyata dia bukan perempuan simpanan seperti sangkaan orang-orang selama ini. Tapi, sekaligus sedih. Ternyata benar, kondisi fisiknya akhir-akhir ini memperlihatkan dengan jelas. Dia memang sakit. Bodohnya aku.
Ketika aku merasa perlu memberi tahu Mbak Rina dan penghuni kompleks lain mengenai kedatangan si pria muda itu ke rumahku, aku dikagetkan oleh hal lain. Aku bukan satu-satunya orang yang mengetahui soal kebenaran si penghuni rumah depan itu. Bahkan, ada banyak fakta lain yang aku baru tahu. Lagi-lagi dari Mbak Rina.

"Si Marina itu ternyata anaknya Pak Hendy. Laki-laki yang satu lagi itu saudaranya ternyata. Itu yang cerita sopirnya Pak Hendy. Dia suka ngobrol sama satpam kita. Sopirnya itu sudah kerja lama di sana. Dengar-dengar sudah 20 tahunan lebih."
"Namanya Aryana," potongku.

Mbak Rina mengibaskan tangannya. "Dia itu terkena kanker. Dulu dia kuliah di Australia. Bandel katanya. Sekitar 3 tahun lalu dia pulang, sudah sakit. Mamanya stres, nggak kuat. Lalu meninggal setahun lalu. Makanya, bapaknya kesal. Si Maryana diusir dari rumahnya."
"Kanker?" aku bergidik.

Hanya sekitar setahun dia tinggal beberapa meter di depan rumahku. Tak adil aku menghakimi tahun-tahun kehidupannya yang lain. Bukan urusanku bagaimana dia menjalani kehidupannya sebelum muncul dan memperkenalkan diri di pintu rumahku.

Kalau aku yang berada di posisinya, mungkin aku sudah lama gantung diri. Malu aku sering mengeluh dengan bosannya kehidupan yang aku jalani sehari-hari. Sungguh tak mengerti bagaimana dia tetap mampu menyisihkan perhatian untuk kami.

Air mataku menitik jatuh di atas bingkai foto yang sedang aku pegang. Itu bingkai foto yang aku temukan saat membuka bungkusan yang aku terima beberapa hari lalu. Dari pria itu. Pria yang mengaku adik Aryana.

Sebuah fotoku dan anak-anakku. Tampaknya, diambil dari jendela rumahnya. Dia memotret kami diam-diam. Aku sedang berjalan ke arah mobil, menggendong anak bungsuku dengan satu tangan dan mendekap anak sulungku dengan tangan satunya  lagi. Aku tidak ingat kapan foto itu diambil.

Namanya Aryana. Sosok yang menyadarkan aku bahwa hidup memang tidak sesempurna yang terlihat.  We don't judge others, for often, we don't know the whole story. Biarlah kabar burung yang menyita perhatian kami semua menjadi urusannya dengan Tuhan. Terserah seperti apa buruknya dia di mata orang lain. Aku cuma tahu satu hal yang pasti, namanya Aryana.

***
Jihan Davincka


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?