Fiction
Mimpi Retak [2]

17 May 2012


BARON
Sebuah sore yang gelisah.
Aku berada pada sebuah jalan berdebu. Kering yang meranggas bertabur di sepanjang jalan yang kulalui. Kemarau sangat panjang kali ini. Barangkali, embusan angin membawa awan-awan hujan menjauh, menyingkirkan diri dari tanah yang merindukan tetes-tetes air. Membiarkan tanah-tanah itu merekah, retak didera dahaga. Sementara akar-akar tanaman berusaha mencengkeram tanah makin erat, seakan memeras sisa air terakhir, yang barangkali masih terendam di kedalaman tanah. Tapi, tak ada lagi yang tersisa, panas benar-benar mengeringkan semuanya.

Tapi, bukan panas yang menggelisahkanku hari ini. Aku punya pendingin ruangan di mana pun aku berada. Suhunya bisa kuatur seperti yang kuinginkan. Lalu, apa?

Entahlah, aku hanya merasa tidak nyaman. Jantungku berdebar kuat, mengalirkan gelisah dalam bentuk keringat dingin di tengkuk, telapak tangan dan kaki.

Ah, jantung ini, mengapa tidak bisa kuatur debarannya, seperti yang kuinginkan? Istriku suka debaran jantungku, selalu disandarkannya diri pada dadaku, mencari denyut jantungku berdebar melewati liang telinganya. Tapi, jantungku tidak selalu mau berdebar untuknya. Mes­ki lama menunggu, denyut nadiku tetap berdetak biasa-biasa saja, tidak menghadirkan gemuruh yang diinginkannya.

Jantungku lebih sering berdebar untuk seseorang yang lain.

Begitu menggenggam jemarinya, jantungku langsung bergemuruh tanpa kendali. Menghadirkan detak yang begitu kuat, seumpama tabuh gendang mengiringi penari rancak. Debar inilah yang selalu menghilang dari jangkauan istriku.

Ah, andai debar jantung memiliki teknologi seumpama remote kontrol, bisa kuatur nada rendah tingginya, seperti mengatur grafik equaliser, pastilah lebih mudah bagiku menjalankan berbagai peran dalam kehidupan. Aku bisa beranjak dari satu kehidupan seseorang pada kehidupan seseorang yang lain, semudah kaki melangkah pada bidang datar. Nyaris tidak memerlukan energi, bahkan lebih mudah daripada memindah sebuah bidak catur.
Terlebih pula kalau kita memiliki kendali kehidupan, hidup pasti terasa sangat ringan. Tidak perlu ada beban kehidupan yang menggelayut di pundak dan harus terbawa ke mana pun kita pergi. Ketika kita boleh memilih untuk tetap berdenyut, atau berhenti saja. Maka, tentunya, tidak perlu aku melarikan diri dari sebuah jalan buntu. Aku cukup berhenti dan selesai.

Tapi, remote control kehidupan itu tidak pernah kupunya, sehingga aku tidak bisa berhenti di mana aku ingin. Seperti yang sekarang terjadi. Jalan yang kulalui belum menampakkan ujungnya, sehingga aku masih harus meneruskan perjalanan ini. Entah sampai kapan dan di mana.

Pagi yang rutin
Matahari baru saja datang, menghadirkan pagi sebagai awal hari. Cahayanya mulai bergerak memindahkan kabut ke tepian. Bebe­rapa kabut yang tertinggal, menetes sebagai embun yang mengalir pada dedaunan.
May menyingkap tirai jendela, menciptakan celah yang memungkinkan sinar matahari menyelinap masuk, menghadirkan cahaya yang membangunkannya dari tidur.

Tapi, ada yang bergeming dengan cahaya itu. Lelap tidur suaminya tak terusik, meski cahaya matahari sudah melumuri seluruh tubuhnya. May melihat jam di dinding. Jarum sudah menunjukkan saat yang tepat untuk menghentikan pulas tidur itu. Didekatkannya diri, ditiupkannya angin lembut melalui celah bibirnya, membelai garis pelipis di dataran wajah suaminya. Sesaat ada mata yang bergerak. Ah, rupanya angin lembut itu telah berhasil menunaikan tugasnya.

”Bangunlah,” bisik May.

”Lima menit lagi,” desah suaminya, menahan jerat kantuk yang masih enggan melepaskan ikatan.

”Tak ada lima menit bagimu. Atau, kau akan terlambat seperti tempo hari.”

”Hmm, biar saja.”

”Oke, tiga menit.” May tersenyum maklum. Ketika kantuk menjerat, memang bukan hal mudah untuk membebaskan diri.

”Sarapan apa yang kau inginkan hari ini?”

”Apa pun.”

May menghidangkan sepiring nasi goreng beraroma bawang merah goreng serta segelas jus wortel di meja, menyambut suaminya yang baru saja menyelesaikan mandi paginya.

May sudah menunggu, sembari meneliti koran baru.

”Ada yang menarik?” tanya suaminya, sambil meneguk jus.

”Biasa saja,” kata May, menggeleng. ”Masih masalah lumpur, ekspor asap, banjir kiriman yang mulai datang.”

“Barangkali, lebih menarik kasus-kasus klienmu, ya? Jelas lebih beragam, dan aneh-aneh.”

”Ya, tak selalu kupahami, mengapa hal semacam itu bisa terjadi. Kadang-kadang, hidup terlalu ajaib untuk dimengerti.”

”Begitu? Apa misalnya?”

”Jangan tanyakan. Itu bagian dari kode etik rahasia klien.”

”Tapi, aku suamimu. Tentu ada perlakuan khusus untuk kode etik itu. Bukan begitu?”

”Lebih mudah bagimu untuk tidak mengetahuinya. Menyimpan rahasia itu memunculkan beban-beban tersendiri, yang beratnya tidak akan sepadan dengan informasi yang kau peroleh untuk memenuhi rasa ingin tahumu.”

”Begitu diplomatis jawabanmu. Macam aku orang lain saja,” keluh suaminya, sembari menandaskan sarapan. ”Bagaimana kalau sekali waktu kau ’melihat’-ku? Baru kusadari, kau selama ini justru tidak pernah memanfaatkan kemampuanmu untukku.”

May menggeleng. ”Tak bisa. Aku tak bisa ’membacamu’.”

Suaminya heran. ”Mengapa begitu?”

”Bagian dari keterbatasan,” kata May, sambil angkat bahu. ”Tapi, aku lebih suka mengatakannya sebagai kebaikan hati Tuhan untuk memberiku kesempatan menikmati hidup yang normal dengan orang-orang yang kucintai.”

”Apakah artinya kau sedang mengatakan kau mencintaiku?”

May membesarkan mata, menyimpan senyum.

Suaminya tertawa. Dikembangkannya kedua belah tangan dengan kebahagiaan penuh.

”Alangkah lengkapnya hidupku. Sepagi ini telah mendapatkan pernyataan cinta. Ditambah sarapan yang mengenyangkan dan sehat, apa lagi yang kuperlukan dalam hidup ini?”

”Tambahan waktu lima menit untuk memperpanjang waktu tidurmu di pagi hari,” sambung May.

Suaminya terbahak. Lalu, dipasangnya dasi yang tepat untuk kemejanya. Diliriknya arloji. Astaga, jarum jam bergerak cepat sekali. Dia bisa terlambat lagi hari ini.


                                                         cerita selanjutnya >>


Penulis : Sanie B. Kuncoro


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?