Fiction
Mimpi Retak [10]

17 May 2012


Ternyata, justru kukeringkan tunas daun-daunmu, kularutkan klorofil hijaumu dan membiarkanmu meranggas, terpatah dari ranting dan kau melayang gugur sebagai daun kering terbawa angin entah ke mana. Tidak terbayangkan bahwa aku justru membawamu pada sebuah padang tandus, sendirian dan kering tanpa pengharapan.


Barangkali kehadiranku di duniamu adalah sesuatu yang keliru. Mungkin, seharusnya, aku tidak pernah ada bagimu, sehingga duniamu tetap serupa musim sepi di pagi hari sesudah hujan sepanjang malam. Dan kau tetap sebagai kupu-kupu liar beterbangan di semak mawar putih. Duniaku telah memerangkapmu.

Kukecup kening bekumu. Salam perpisahanku untuk melepas keberangkatanmu. Betapa pedih melepasmu, Kekasih. Perih menyadari ketidakmampuanku menyertai perjalananmu. Perpisahan, betapa pun rapi dan indah dibungkusnya, tetaplah menggoreskan kesedihan yang tak terukur. Perpisahan, sering kali lebih getir daripada kematian itu sendiri.

Dulu sekali, pernah terlintas di benakku bahwa kau akan menghilang dariku suatu hari. Tapi, tidak pernah terduga bahwa kau akan menghilang sedini ini, dengan cara serupa ini. Sementara masih tersisa anganku, untuk berjalan berdua denganmu dan genggam jemarimu.

Setetes air mataku jatuh, bergulir pelan di pelupuk matamu yang terpejam. Kucari dengan sia-sia bening itu dalam pejam mata yang tak akan kau biarkan terbuka lagi. Yang kau tinggalkan kenangan bening semata, membasah di segala sudut hatiku.

Pernah kumiliki sebuah mimpi yang sempurna. Di persimpangan kutemukan lagi mimpi lain dalam kesempurnaan berbeda. Kukira bisa kusimpan dua kesempurnaan dalam satu saat yang sama.

Perkiraan yang serakah, egoistis, dan keliru. Dan mimpiku berakhir pada sebuah padang tandus yang meranggas tanpa ujung. Aku sendirian membawa mimpi retakku melangkah menyelesaikan perjalanan ini. Entah di mana ujung padang tandus ini akan berakhir. 

ORIEN
Sudah berakhir, sudah selesai. Aku telah mengakhiri perjalananku. Tanpa kulengkapi dengan pamit, telah kutentukan keberangkatanku. Barangkali terlalu dini, tapi inilah pilihanku. Sebotol pil tidur yang kutelan sekaligus membantu menidurkanku pada sebuah tidur panjang yang tidak akan berakhir.

”Jangan pergi.” Aku mendengar suara itu.

Alangkah indahnya kalimat itu, betapa aku selalu ingin mendengarnya. Dia mencari jemariku, menggenggamnya erat. Genggaman yang selalu kusuka. Tak pernah ingin aku melepaskan genggaman itu. Selalu ingin kubawa sentuhan itu ke mana pun aku pergi.

Disandarkannya diri pada bahuku. Perasaanku mengatakan dia sedang terbeban. Itu yang selalu terjadi ketika dia sedang memerlukan sesuatu untuk membagi bebannya. Betapa ingin aku mengambil alih beban itu, tak cuma berbagi, tapi seluruhnya utuh penuh.

Lalu, dia menangis. Air matanya menetes membasahi pelupuk mataku, berbaur dengan genangan air mata batinku. Ingin kuseka air mata itu, mengeringkannya dengan sempurna. Hingga tak seorang pun tahu, karena tak selayaknya seorang pria menangisi sesuatu. 

Lebih dari itu, ingin kusimpan tetes air mata itu, karena air mata itu serupa mutiara terindah bagiku. Air mata seorang pria yang menetes untukku. Sungguh-sungguh untukku. Hanya untukku. 

Tapi, tak ada apa pun yang kulakukan. Aku hanya diam bergeming. Apa daya dingin telah membekukan semua gerakku. Aku telah menjadi seorang yang tidak lagi memiliki kuasa atas diri sendiri. 

Telah kulakukan sesuatu, menentukan sebuah pilihan, dan inilah pilihanku, menghentikan hariku dengan caraku sendiri.

Begitulah. Sudah berakhir, sudah selesai. Aku telah mengakhiri perjalananku, tanpa kulengkapi dengan pamit pada siapa pun, telah kutentukan keberangkatanku. Barangkali aku berangkat terlalu dini. Tapi, sesungguhnya tidak banyak waktu tersisa untukku. Setidaknya karena harus kusembunyikan sesuatu, sebelum dia menampakkan diri ketika saatnya tiba.

Sebuah pemohonanku telah merendahkan martabat keluarga besarku. Ibuku sangat terluka. Tak sanggup lagi kulihat lebih lama luka ibuku. Tapi, tak mampu pula kuelakkan bahwa aku masih menyimpan satu hal lain yang akan lebih melukainya.

Aku bukan lagi seorang bernyawa tunggal. Ada jiwa lain berdenyut dalam rongga rahimku. Jiwa ini akan terus bertumbuh mengejar hari, dan akan menampakkan diri ketika saatnya tiba. Ketika tiba saat itu, luka Ibu akan terkoyak lebih dalam lagi. Darah luka akan mengalir makin deras, tak terbendung oleh apa pun. Meskipun aku bersujud pada titik terendah sekalipun, tetap tidak akan menghentikan cucuran darah luka itu. Tidak terbayangkan olehku, apa yang akan terjadi pada Ibu. Karena itu, tidak ada pilihan lain yang lebih tepat bagiku, selain mempercepat keberangkatan ini.

Alangkah dinginnya hari. Aku sangat kedinginan. Betapa ingin aku dalam selimut pelukan Ibu, seperti yang dulu tersedia di masa kanak-kanakku. Setiap malam Ibu meneliti tidurku, memastikan selimutku tak tersibak, dan tak ada mimpi buruk menggangguku. 

Tapi, kini Ibu tak lagi berada dalam jangkauanku. Telah kubentangkan jarak yang tak terjembatani. Mungkinkah sebuah doa mam­pu menjadi jembatan, atau setidaknya memperpendek jarak? Kalau ya, akankah aku terbawa dalam doamu, Ibu? Akan kutunggu doa Ibu tiap hari, akan kusimpan setiap helai benang doa itu. Satu per satu kurajut hingga suatu hari akan menjelma menjadi tali panjang yang kupakai sebagai titian untuk kembali padamu, Ibu. 

Betapa ingin aku berada dalam pelukanmu, Kekasihku. Merasakan hangat napasmu membelaiku. Menikmati rengkuhan kedua lenganmu. Selalu kusadari bahwa kau bukanlah seorang yang utuh bagiku. Tapi, ketika berada dalam pelukanmu, selalu kulupakan banyak hal. Selalu hanya dirimu yang ada dalam ingatanku. Selalu.
Tapi, telah berakhir, hariku sudah berhenti. Apa yang pernah kita miliki kini kusimpan menjadi kenangan tak terlupakan bagiku. Tatap mataku mengabur oleh genangan air mata kala mengenangnya. Tapi, jejak kenangan itu justru makin membekas, karena bukankah sebuah jejak tercetak, hanya sesudah kaki melangkah pergi?
Sekarang saatnya aku pergi.

Akan ke manakah aku pergi? Apakah aku menuju surga?

Sering kudengar bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Lalu, setelah apa yang kulakukan pada ibuku, masih adakah surga itu bagiku? Bila tidak tersedia surga Ibu untukku, mungkinkah aku terbawa surgamu, Kekasih? Pada masyarakat patriarki, ada satu pengertian bahwa kaum wanita akan terbawa oleh suaminya. Swarga nunut, neraka katut. Terbawa serta bila menuju surga, dan terseret pula bila ke neraka.

Terbawakah aku pada surgamu, Kekasih? Meski aku bukanlah seseorang yang sah bagimu. 

Barangkali, aku tidak terbawa surga siapa pun. Aku harus mencari surgaku sendiri. Entah di mana surga itu. Mungkinkah berada di sebuah ujung perjalanan? Tapi, perjalanan yang mana? Begitu banyak perjalanan, tidak satu pun menampakkan bayang surga itu. 

Atau, barangkali, pada suatu tempat yang tak tergapai? Maka, seribu langkah pun tidak akan pernah mencapainya. Ah, di mana pun surga itu, agaknya akan terus kubawa langkahku menuju ke sana. Baiklah, akan kupersiapkan diri untuk berangkat mencari surga itu. 

Ah, tunggu, dengarlah sejenak sebaris permohonanku. Wujudkanlah sebagai pengiring keberangkatanku. Genggamkanlah serumpun bunga putih pada pelukanku, sehingga tertebar wangi sebagai selimutku. Karena sesungguhnya tak mampu lagi kubersihkan diriku sendiri, sehingga tak ada lagi padaku harum wangi yang pernah kupunya.

Nyalakanlah seribu lilin putih untukku, sebagai cahaya penerang langkahku, karena jalan yang akan kutempuh pastilah serupa kegelapan yang panjang. Jagalah cahayanya agar tetap menyala, sementara akan kupergegas langkahku, sehingga aku akan tiba pada rumah cahaya tepat waktu, sebelum nyala lilin yang terakhir padam. Taburkan kelopak bunga pada setiap jalan yang kulalui. Sehingga andai aku tersesat atau kehilangan arah suatu kali nanti, akan kutemukan taburan bunga itu sebagai penunjuk jalan untuk kembali.

Kembali? Kepada siapakah aku akan kembali? Kepadamu, Ibu, atau kepadamu, Kekasihku?

Entahlah. Barangkali, tidak kepada siapa pun. Mungkin juga tidak akan pernah kutemukan jalan untuk kembali, karena embusan angin pastilah akan menghalau taburan bunga penunjuk jalan dan menerbangkannya ke segala arah sehingga tak tersisa lagi tebaran kelopak bunga yang bisa dipakai sebagai penunjuk arah.

Bila berkenan, sertailah aku dengan seribu doa. Doa penunjuk langkah, agar aku tak kehilangan jejak, entah di mana pun itu. Doa kekuatan hati, agar tak putus asa kujalani perjalanan panjang ini. Doa penghiburan, agar aku selalu jauh dari segala kesedihan.

Pernah terjalin sebuah mimpi, yang kukira akan terajut sempurna pada suatu hari. Tapi, hari itu tidak pernah kumiliki. Jalinan mimpiku terhenti pada suatu hari, berakhir pada sebuah padang tandus yang kering dan dingin. Aku tertinggal di padang itu, sendirian dengan mimpi retakku. Tamat


Penulis: Sanie B. Kuncoro


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?