Fiction
Mimpi Bayang [9]

13 Dec 2011

<< cerita sebelumnya

“Sesuatu yang tak perlu Jasmine lakukan, tukas Frangi. “Jas-ine memiliki semua yang kau perlukan itu dalam nalurinya. Artinya, dialah yang memiliki belahan jiwamu… bukan aku.

Hening sesaat, hanya ada embusan napas panjang.

“Kalau kau tetap mempertahankan aku, itu artinya kita akan saling memaksa diri. Kebersamaan yang dipaksakan akan lebih serupa dengan kubus dalam bola. Panjang sisi-sisi kubus itu sama dengan diameter bola. Begitu pasnya ukuran itu, sehingga ma­sing-masing tak leluasa bergerak. Bukan pasangan yang tepat, tapi justru saling menyakiti.”

“Pernah kujanjikan bahwa aku akan menuruti apa pun katamu. Tapi, tidak untuk kali ini!” Jati bertahan. “Aku tidak peduli apa pun argumentasimu. Aku tetap tidak akan melepasmu.”

“Memang tidak,” bantah Frangi, tenang. “Kita akan tetap selalu bersama, tetapi sebagai sahabat. Aku akan selalu ada untukmu, seperti posisi Jasmine selama ini bagimu. Aku dan Jasmine akan bertukar peran.”

“Sudahlah, jangan teruskan lagi,” sergah Jati, gusar. “Kau sedang tidak sehat. Baru saja mengalami sesuatu yang mengguncang. Jadi, apa yang kau katakan ini bukan sesuatu yang kau pertimbangkan dengan baik. Kita bicara lain kali, setelah kondisimu memungkinkan untuk itu.”

“Aku sehat dan bisa berpikir dengan jernih,” kata Frangi, tegas. “Apa yang kualami justru membuat aku lebih mampu melihat diriku sendiri dan orang lain dengan lebih baik.”

“Frangi, sudahlah….”

“Atau, kau mau aku berpikir ulang? Baiklah, akan kulakukan. Tapi, aku yakin inilah pilihan terbaik bagi kita. Kau akan membuktikannya sendiri.”

“Please, Frangi….”

“Kurasa, aku tadi sudah memintamu untuk tidak mem­ban­tahku.”

Jati tersudut. “Tapi….”

Frangi tertawa. “Lihat, kau tidak memerlukan waktu lama untuk membuktikan bahwa kita bukan pasangan yang tepat, bukan? Kita tidak pernah benar-benar bisa mencapai kata sepakat. Selalu saja ada celah untuk berselisih. Tidakkah kau sadari itu?”

Jati tertegun. Frangi membawanya pada sebuah kenyataan yang tak terelakkan. Jati mulai berpikir bahwa Frangi ada benarnya.

“Setidaknya, beri diri kita waktu untuk mempertimbangkan dengan jernih,” katanya, kemudian.

Frangi tersenyum, lalu mengangkat bahu dengan ringan. “Boleh saja. Tak masalah. Aku tak akan memberi batasan waktu untuk kau berpikir.”

Hening. Ruangan seperti kehilangan segala suara. Hanya tersisa helaan napas yang lirih, nyaris tak terdengar.
Sesaat kemudian, detik kembali berdetak, berjalan perlahan membawa waktu menyusuri langkah.

“Aku ingin bersandar di bahumu,” gumam Frangi, memecah keheningan. Lalu, tanpa banyak bicara, disandarkannya kepalanya pada bahu Jati. Jati menerima sandaran itu tanpa suara. Dikecupnya lembut kening gadis itu. Wangi rambut membelainya samar.

“Ini sandaran persahabatan,” gumam Frangi, lagi.

Jati mengangguk pasrah.

“Apakah nanti Jasmine akan melarangku melakukan ini, sama seperti dulu aku melarangmu menemuinya?” bisik Frangi, hati-hati.

“Pasti tidak,” Jati memastikan.

“Selalu ada kemungkinan. Bagaimana jika ia nanti akan melarangmu menemui aku?”

“Maka, aku akan kembali padamu.”

“Begitukah? Tapi, rasanya, aku sudah akan menemukan se­se­orang yang lain, yang bahunya juga bisa kujadikan sandaran.”

“Begitu? Kau yakin?” tanya Jati.

Frangi mengangguk.

“Atau, jangan-jangan, kau sudah menemukan pria ini sehingga kau berkeras melepaskan aku?” Jati mendadak curiga.

“Aku tidak tahu apakah dia benar-benar nyata atau tidak,” gumam Frangi, menyimpan keraguan.

“Apakah dia bagian dari mimpi bayangmu?”

“Tampaknya, begitu. Namun, aku akan segera mencari jawabannya,” kata Frangi, sambil mengangguk mantap.

“Setelah kau menemukannya, apa yang akan kau lakukan?”

Frangi tertawa. “Kau adalah orang pertama yang akan mengetahuinya.”

“Hanya sekadar ingin tahu, jika aku tidak setuju atas hubunganmu dengannya, apakah aku berhak mengenyahkannya dari sisimu?”

“Tentu tidak. Posisimu cukup komentator saja “

“Oh, kejamnya, kau jadikan aku sekadar pelengkap penderita?”

Lalu, mereka tertawa berderai-derai. Tawa yang membiaskan warna-warni berbias cahaya pada dinding-dinding sunyi rumah sakit. Derai yang mengalirkan kebahagiaan dan membawa pergi segala lara hati.

PRINGSEWU
Kereta berhenti di Stasiun Pringsewu. Frangi bergegas turun. Di­edarkannya pandang meneliti stasiun tua itu dengan seksama. Dengan sedikit terkejut, disadarinya bahwa stasiun itu memiliki detail yang sama seperti yang muncul dalam mimpi bayangnya.

Gadis itu meneruskan langkah dan terhenti di ambang pintu gerbang utama. Jalan raya terhampar di depannya. Mana yang ha­rus dilaluinya? Belok kanan atau kiri? Frangi ragu. Pilihan itu sama sekali tidak diingatnya.
Tiba-tiba seseorang melintas di depan mata Frangi. Seorang pria yang mengenakan jelana jins dengan ransel besar di bahunya.

“Maaf, Mas, apakah Anda tahu di mana lokasi penginapan La Barong?” tanya Frangi, secara spontan.

Pria itu menghentikan langkah, lalu memandang Frangi sejenak. “Tentu, tak jauh dari sini. Kebetulan, aku akan ke sana, mau jalan bersama?”

Gadis itu mengerjapkan mata. Tatap mata pria di depannya itu begitu dalam, dengan keteduhan setenang telaga. Tatap mata yang telah dikenalnya, bahkan tersimpan baik dalam kenangannya. Tanpa berpikir lagi, gadis itu mengangguk, lalu mengulurkan tangan, sambil memperkenalkan diri.

“Namaku Frangi.”

“Dari Frangipani? Bunga putih itu?” pria itu menyambut jemarinya.

Frangi mengangguk, mengiyakan.

“Hmm, nama yang menarik, panggil aku Bambu….”

“Bambu?” lanjut Frangi, secara refleks.

“Bagaimana kau tahu?” Bambu terheran-heran. Ditatapnya Frangi dengan seksama. Dilihatnya dari ujung kepala ke ujung kaki. Rasanya, ia belum pernah mengenal gadis ini.

“Apakah kita pernah bertemu?” tanyanya, berusaha mengingat sesuatu.

Dalam mimpi bayangku. Frangi menjawab tanpa suara. Lalu, diulasnya sebuah senyum samar, menyimpan misteri itu dalam hatinya. Sesaat kemudian diiringinya langkah Bambu menyusuri jalanan panjang terbentang. La Barong sesaat lagi. [tamat]

Penulis: Sanie B Kuncoro


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?