Fiction
Mimpi Bayang [7]

13 Dec 2011

<< cerita sebelumnya

HARI ITU...
“Makan malam yang mengesankan. Kubawakan sesuatu untukmu.” Jati mengulurkan kotak berbungkus kertas biru langit, berpita ungu, dengan sematan bunga lavender.

“Wow, apa ini?” Mata Frangi berbinar.

“Sesuatu yang kau suka. Bukalah.” Jati menatap lembut.

Frangi segera melepaskan pita. Sesaat kemudian pigura miniatur Flower Shop itu menampakkan diri.

“Cantik sekali,” desis Frangi takjub. “Belum pernah kulihat yang seperti ini. Beli di mana?”

“Entahlah. Aku tidak menghafal nama tokonya.”

“Tidak biasanya kau tahu ada toko yang menjual barang-barang seperti ini,” tatap mata Frangi mendadak meneliti, “ada seseorang yang mengantar?”

Jati terkesiap, mendadak merasa tidak siap untuk berbohong. Kegugupan yang segera tertangkap oleh Frangi.

“Apakah itu Jasmine?” tebak Frangi, mendesak.

Jati tidak mampu mengelak lagi. “Ya,” angguknya dengan jujur.

Mata Frangi menyala, sinar kemarahan tersulut di sana.

“Sudah berapa kali kukatakan? Dan, kau masih tetap menemuinya?”

Jati menghela napas. Diraihnya jemari gadisnya lembut, mencoba meredakan kemarahan yang menyala.

“Ini yang terakhir. Sesudah ini, kami tidak akan bertemu lagi.”

“Omong kosong!” sergah Frangi, tajam.

“Sudah kulakukan apa yang kau mau,” kata Jati, tetap dengan suara penuh kesabaran.

“Setelah apa yang kalian lakukan selama ini, kau kira aku akan percaya?” Frangi menepis tangan Jati kasar.

“Kalau kau tetap tidak percaya, lalu aku harus bagaimana?” Jati tetap berusaha membujuk.

“Sudah! Aku tidak mau dengar lagi. Pembohong!” Frangi sama sekali tak terbujuk. Kemarahannya justru meledak. Lalu, entah dengan kekuatan apa, mendadak saja tangannya bergerak, membanting pigura bunga itu dengan satu entakan keras. Detik berikutnya pigura itu terbanting dan berserak dalam kepingan. Hancur lantak.

Jati terkesiap, amat sangat. Sungguh tidak diduganya Frangi sanggup melakukan kekasaran itu. Nanar ditatapnya kepingan-kepingan itu.

“Apa yang kau lakukan? Jasmine telah memilih hadiah itu dengan sungguh hati. Seberapa pun kebencianmu terhadapnya, setidaknya, hargailah ketulusan hatinya untuk sekali ini saja,” kata Jati, keras.

“Tidak!” sembur Frangi dengan mata berapi. “Tidak akan pernah! Bagiku, dia tidak lebih daripada wanita peselingkuh!”

Jati terdiam. Tatap matanya mengeras, tampak berusaha mengendalikan kemarahan. “Kurasa…,” katanya dengan tatap mata sedingin es, “aku tidak sanggup mempertahankan hubungan kita lagi. Kita akhiri saja sampai di sini.”

Frangi terenyak. Sesaat bagai tertampar. Lalu, terbanting. Persis serupa dengan pigura yang barusan dilemparnya, hancur berserak dalam kepingan. Detik berikutnya perasaan itu berubah menjadi kemarahan yang tak terkendali. Diraihnya apa yang ada, dibantingnya segala sesuatu, me­ngarah pada satu sasaran: Jati.

Ketika Jati berusaha mengelak, gerakan itu justru makin menyulut kemarahan gadis itu. Dengan satu gerakan cepat gadis itu mengejar, penuh emosi dan melupakan segala per­timbangan. Termasuk tidak sadar bahwa dia mengenakan stiletto. Sepatu bertumit tinggi runcing itu pun tak mampu mengendalikan langkah dengan baik, Frangi tersandung dan lantai yang licin membuatnya limbung. Gadis itu terbanting dengan kepala membentur lantai. Benturan keras yang membawanya pada sebuah tidur panjang….

Frangi membuka mata. Tidur panjangnya sudah berakhir. Ah, selalu begini, keluhnya pada diri sendiri. Dia selalu tertidur dalam setiap perjalanan. Entah dengan pesawat, bus, atau kereta api. Sama saja. Selalu dilewatkannya pemandangan cantik di setiap perjalanan. Juga kali ini.

Dan, di manakah aku sekarang? Ia bertanya pada dirinya sendiri. Apakah kereta sudah berhenti? Apakah ini sudah sampai di stasiun tujuanku? Dengan segera dibukanya mata lebih lebar, mencoba mencari jawab dari pertanyaannya. Dan, Frangi terkejut. Tidak ada kereta api. Dia tidak sedang berhenti di stasiun mana pun.

Mata gadis itu menatap berkeliling. Perlahan me­ngumpul­kan kesadaran diri. Dia berada di sebuah ruangan serba putih, terbaring dengan berbagai peralatan medis di sekujur tubuh. Frangi menahan napas. Apa yang terjadi?

Ditariknya napas panjang. Oksigen murni menebar ke se­luruh paru-parunya, membawa kesejukan yang nyaman. Frangi meraba selang yang menjulur di hidung. Ah, rupanya dia ber­napas dengan selang beraliran oksigen murni. Pantas, terasa nyaman sekali.

Refleks Frangi bergerak bangun, tapi gerakannya terhenti. Baru disadarinya, seseorang duduk tertidur dengan kepala terkulai di kasur. Lamat ditatapnya wajah pulas itu. Cekung mata yang dalam, alis hitam berbaris rapi, dan tahi lalat di ujung mata kiri.

“Jati,” panggilnya sosok itu dengan pelan. Bagai tanpa sadar, dibelainya wajah yang tampak kelelahan itu. Mendadak Frangi terkejut melihat dirinya sendiri. Lalu, ia memerhatikan Jati dengan seksama. Jadi, benar dia mengenal pria itu, mengenalnya dengan sangat baik. Bahkan, dia tahu namanya. Rupanya, Jati menjaganya dengan sangat setia hingga tertidur di sampingnya. Tapi, mengapa tempo hari itu ketika bertemu, mereka menjadi sosok yang asing satu sama lain?

Belaian itu mengejutkan Jati. Dan, ia terbangun.

“Frangi, kau telah bangun?” seru Jati, gembira.

“Apakah aku pingsan?” tanya Frangi, ragu-ragu.

Jati mengangguk. Tatap matanya memancarkan kebahagiaan berbaur kelegaan yang luar biasa.

“Berapa lama?”

“Dua hari. Kau membuat kami semua sangat khawatir.”

Frangi mengangguk-angguk. Dua hari. Rasanya seperti cuma sesaat. Serupa tidur yang berhias mimpi.

“Dan, kau selalu menjagaku?”

Jati mengangguk pelan.

“Terima kasih banyak, ya. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Jati terkejut, tampak tidak siap untuk menjawab. Lalu, men­dadak mata Frangi menangkap rumpun anyelir di atas meja.

“Bunga yang bagus. Dari Jasmine?”

Jati kembali terkejut, kini bertambah dengan gugup. Entah didorong oleh perasaan apa, dia mengangguk. Frangi tersenyum, diamatinya kegugupan Jati dengan seksama. Kini, dia paham apa yang ada di balik kegugupan itu.
“Dia selalu tahu apa yang kusuka,” katanya kemudian, mem­bantu mengurangi kegugupan Jati. “Aku ingin mengucapkan terima kasih. Apakah dia akan datang membesuk aku lagi?”

Jati menatap ragu-ragu. “Entahlah, mungkin tidak.”

“Tak apa-apa,” Frangi tersenyum ringan. “Suatu hari nanti kau harus mengantarku menemuinya.”

Jati mengangguk setuju.

“Sekarang, ada yang harus kau lakukan untukku,” kata Fra­ngi, dengan nada berharap.

“Kau ingin aku melakukan apa?”

“Peralatan medis ini sangat menggangguku. Sungguh tidak nyaman, membuatku tidak leluasa bergerak. Apakah kau bisa memanggil dokter untuk membebaskan aku dari ini semua? Aku rasa badanku sehat-sehat saja, meski tidak ditempeli berbagai alat bantu ini.”

“Sabar, ya, akan kupanggilkan petugas medis.”

“Selain itu, apakah ada sesuatu yang bisa kumakan? Aku lapar sekali.”

Jati tersenyum lebar. Kelegaan benar-benar menyertainya. Dia tahu gadisnya benar-benar telah kembali. Sederet permintaan ini-itu adalah tanda-tanda kehadirannya yang nyata. Gadis itu benar-benar telah bangun, serupa putri tidur yang telah mendapat kecupan kehidupan dari sang pangeran.


Penulis: Sanie B Kuncoro


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?