Fiction
MENJELANG HARI PERNIKAHAN TIUR [4]

2 Sep 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

Kisah sebelumnya:
Lamaran Parlindungan sangat membahagiakan orang tua Tiur yang mendambakan putrinya mendapatkan jodoh orang satu suku. Menjelang pernikahannya, justru terjadi  banyak ‘drama’ karena Nauli, kakak perempuan Tiur, yang dimusuhi keluarga, ingin membiayai pernikahan mewah Tiur. Ketika mengetahui hal itu, Alfred, ayah Tiur, shocked dan sampai jatuh sakit.


Dari pertama, walau sedikit ragu, Marya sudah merasa yakin bahwa Nauli tahu tentang rencana pernikahan Tiur dan  tidak akan membiarkan pernikahan Tiur berlangsung amat sederhana. Nalurinya mengatakan, Nauli terlibat langsung dalam perubahan rencana pesta pernikahan Tiur. Ada beban moral yang mendorong Nauli untuk tidak berdiam diri saja melihat keadaan Tiur karena sejatinya  Nauli tidak pernah benar-benar pergi dari keluarga dan rumah ini. Dia masih mencoba mengikatkan hatinya, walau hanya lewat Tiur.
          Dari kecil, Nauli memang sangat dekat dengan  Tiur. Mereka menjalin tali cinta sendiri dengan kokoh.
         Nauli bisa marah besar, bila ada yang mengganggu Tiur. Marya ingat, tangan mungil Nauli bahkan pernah menonjok seorang anak lelaki yang tubuhnya dua kali lebih besar dari tubuhnya karena telah membuat Tiur menangis.
         Baru sekarang dipikirkannya, kekuatan ikatan antara mereka berdualah yang menyebabkan mereka   tetap berdekatan saat semua keluarga menjauh dari Nauli.
        Entahlah, istilah apa yang patut disematkannya pada Tiur. Seorang adik yang selalu penuh kasih dan kesetiaan yang penuh pada kakaknya, atau seorang pemain watak yang sangat hebat.
         Tak pernah sedikit pun Tiur membela Nauli saat Alfred, kakak-kakaknya, bahkan dia sendiri, pernah mengucapkan seribu sumpah serapah saat Nauli melangkahi prinsip hidup dan keyakinan yang mereka anut.
        Tapi, waktu membuktikan, dalam diamnya, Tiur ternyata berseberangan sikap.  Tiur telah membohongi mereka semua.
           Sampai seminggu yang lalu, semua rahasia Tiur terbongkar. Semua terkejut mendengar pengakuannya. Bila dia dengan cepat bisa sedikit menetralisasi perasaannya, tetapi tidak dengan Alfred. Pengakuan itu telah menghujam jantungnya. Sudah tiga hari ini Marya menemani Alfred di rumah sakit.
           Ponselnya berbunyi. Di layar tertulis nama Tiur. Cepat-cepat dia menjauh dari tempat tidur Alfred.
          “Astaga Tiur, kau di mana?” suara Marya menyiratkan kekhawatiran. Kemarahannya pada gadis itu mulai surut.
          “Aku…. Pokoknya Mama tenang saja,” jawab Tiur. “Bagaimana Papa?”
           “Kau datang saja ke rumah sakit. Tiga hari papamu terbaring di sini, tak juga kau jenguk…,” ucapnya, dengan dialek Batak yang begitu kental.
          “Aku…. Aku takut, Ma….”
         Alasan yang masuk akal, pikir Marya. Bukankah Tiur sumber segala kemarahan Alfred tiga hari yang lalu.
          Marya mendengar suara aneh dari telepon Tiur. Suaranya berlatar keramaian di suatu tempat.
         “Kau sebenarnya sedang di mana?”
          Suara Tiur terhenti sejenak.  “Aku… sedang di mal bersama Bang Lindung dan…  Kak Nauli.”
         Marya terkejut mendengar nama Nauli disebut-sebut.  Tiur  makin berani saja.
         “Mama ingin bicara dengan Kak Nauli?”
         Belum sempat Marya menjawab, suara lain terdengar,  “Mama, ini Nauli….”
        Ya, Tuhan…. Dengan spontan ponselnya dimatikan. Suara itu menggetarkannya. Tapi, lima menit kemudian, rasa sesal menghinggapinya. Seharusnya kebodohan seperti itu tidak dilakukannya, pikirnya gundah.
        Lima tahun telah berlalu dan dalam satu tahun belakangan ini dia telah belajar untuk memaafkan Nauli. Bahkan telah menyadari dengan baik bahwa hidup itu berwarna-warni, dan Nauli telah memberikan warna lain dalam kehidupannya.
         “Kau kenapa?” suara  Alfred yang parau mengejutkannya. “Apa yang sedang kau pikirkan?”
         “Aku memikirkanmu. Aku ingin kamu cepat pulang, Bang.” Marya  berdusta.
        “Di rumah sakit ini sepertinya lebih nyaman. Jauh dari rumah dan persoalan.”
         “Abang tidak ingin sembuh?” Marya memelototkan matanya.
         “Aku ingin Tiur tahu kalau aku benar-benar terluka atas pengkhianatannya.”
         “Tapi Tiur akan menikah tiga minggu lagi, Bang. Pernikahannya bisa-bisa batal karena kemarahan Abang.” 
          “Aku tidak peduli.” Alfred terbatuk-batuk. Marya terpaksa mengalah. Tidak ada gunanya berdebat dengan pria yang telah didampinginya selama empat puluh tiga tahun itu.
                                                   *******
            Marya mendengar suara mobil. Dia bergegas keluar untuk menjemput Tiur di teras.
          “Terima kasih Tuhan, akhirnya kau pulang, Tiur,” sambut Marya. Tiur terkejut melihat Marya berada di rumah.
         “Mama tidak menemani Papa?”
         “Papamu yang menyuruh Mama untuk pulang. Gantian Ronggur yang menjaganya.”
         Tiur lalu bangkit dari duduknya, menuju ke kamar.  Marya mengikuti. Dia agak terperanjat ketika Tiur mengeluarkan sebagian besar isi lemarinya, lalu memasukkannya ke dalam koper.
          “Kau mau ke mana lagi, Tiur?!” Marya  betul-betul gusar menghadapi Tiur. Dia menyesal mengizinkan Tiur cepat-cepat menikah karena ternyata sikap gadis itu sama sekali belum dewasa.          
         “Aku ingin menenangkan diri beberapa waktu, Ma… Mama  jangan khawatir.”
          “Apa yang kau resahkan lagi? Semua yang tertutupi sudah terbongkar, Nak. Walau semua shock mendengar pengakuanmu, Mama bersumpah agar pernikahan seperti yang kamu inginkan bisa terlaksana dengan baik….” Marya mengubah nada suaranya serendah mungkin. Tiur tak dapat lagi dihadapi dengan kekerasan. Gadis berkulit putih itu telah mengalami perubahan psikis yang drastis.
        “Ada permintaanku satu lagi, Ma....”
        “Apa?”  Marya berdoa dalam hati semoga  permintaan Tiur bukanlah sesuatu yang berat untuk dipenuhi.
         “Aku… ingin… Kak Nauli hadir dalam pernikahanku nanti….  Itu syaratku. Bila tidak,  aku rela pernikahanku dibatalkan….”
         Marya berpegang erat pada kursi kamar yang didudukinya agar tidak sampai jatuh pingsan mendengarnya.  
        Untung Alfred, Saut, atau Ronggur tidak ada di antara mereka. Gadis itu sudah terlalu lancang. Dengan seenaknya dia  membuat aturan  dalam keluarga tanpa berkompromi.
        “Jangan coba-coba, Tiur!! Kau akan kehilangan banyak hal, bila berani memaksakan kehendakmu.” Ancaman itu terdengar begitu serius.
         Dengan kemarahan yang menguasai hatinya, Marya meninggalkan kamar Tiur.

                                                                  ***

Dua minggu menjelang pernikahan Tiur…..

TIUR
         Makin hari dia dilanda cemas. Pernikahannya kurang lebih dua minggu lagi, tapi belum ada keputusan yang jelas tentang syarat yang diajukannya di hari pernikahan nanti. Sementara,  keputusannya sendiri tidak berubah.
          Tiur sudah mempersiapkan diri. Dia tidak akan pernah pulang ke rumah. Dia akan meninggalkan Jakarta. Pergi ke suatu kota, lalu meniti hidup di sana. Bila Parlindungan mau menunggunya, berarti  mereka memang berjodoh.
                           
                                                                 *****
PARLINDUNGAN
           Laki-laki Batak itu pasrah. Apa pun yang dimaui oleh Tiur akan diturutinya.  Semoga saja, pembatalan yang akan terjadi bukan berarti dia harus kehilangan Tiur. Dalam waktu cepat atau lambat, dia ingin  Tuhan tetap menggariskan takdirnya  untuk bersama Tiur. Gadis itu pelabuhan terakhirnya….
                                                          ******
        


NAULI
            Benar kata Mas Rizal. Kemarahan tidak menghitung untung dan rugi. Dan rasanya, dia harus siap untuk kehilangan  waktu, energi, bahkan segala materi yang telah dikeluarkannya untuk sesuatu yang sia-sia.
                                                               **** 
SAUT
          Gertakan Tiur boleh juga. Dia ingin tahu, apakah Tiur benar-benar nekat melakukan pembatalan pernikahannya, bila papanya tetap tidak menggubris keinginan Tiur. Gadis bodoh! Berani sekali mempertaruhkan hari pernikahannya untuk orang lain!             Wanita memang sulit diduga. Betapa susah menyelami hati mereka.

                                                              ****
MARYA
          Telah dikatakannya kepada Tiur bahwa dia telah memaafkan Nauli. Dia akan menerima kehadiran Nauli di tengah pesta pernikahan Tiur dengan tangan terbuka. Bukan saja Nauli, tapi Nayla, cucunya, dan Rizal, suami Nauli.
          Dan rasanya, memang sudah waktunya kembali menjalin tali kasih yang terputus dengan Nauli. Dia tidak ingin Nauli pergi jauh lagi.  Apa tidak cukup restu dan janji yang diucapkannya kepada Tiur sehingga gadis itu mau meneruskan rencananya?
                                                               *****
 
 ALFRED
           Semua tidak akan berjalan sempurna tanpa restunya. Dan tidak akan ada orang yang bisa melangkahinya. Tidak juga Tiur. Gadis kecil itu pasti hanya mencoba menggertaknya!
           Sampai kapan pun, tidak ada Nauli lagi dalam hidupnya!!
           Terkadang, dia tidak mengerti karma apa yang sedang menimpanya.  Menjelang pernikahan anak-anaknya  selalu saja ada masalah besar, tidak ada yang  mulus. 

                                                        *******
Sepuluh hari menjelang pernikahan….
            Masukan dari banyak orang harus dipertimbangkannya. Rapat keluarga akan digelar malam nanti. Dia harus mengumumkan dengan segera keputusannya dan menjabarkan alasan-alasannya. Beruntung, Saut ada di Jakarta, sedangkan Ronggur sudah memastikan akan datang tepat waktu.
         Pukul delapan, setelah makan malam bersama, sidang keluarga dimulai. Dengan suara bergetar  Alfred menyatakan akan meluluskan semua permintaan Tiur.
         “Jadi maksudnya, Papa memperkenankan Nauli datang ke pesta nanti?” tanya Saut. Dia merasa perjuangannya sia-sia.
         “Ya,” jawab Alfred, mantap.
         “Papa siap?”
         “Ya….”
         Saut pergi berlari.
         “Kau, Ronggur?” tanya Alfred.
         Ronggur bersikap tak acuh. “Apa Papa sudah yakin?” tanyanya.
          “Ya….”
          Ronggur akhirnya mengangkat kedua bahunya, menyatakan terserah. Tidak ada lagi protes setelah itu.
           Keputusan itu membuat Marya lega. Tidak ada lagi pintu tertutup untuk Nauli di rumah ini. Dan, rencana pernikahan Tiur akan tetap berjalan seperti semula.
          Besok paginya, Marya menghubungi Tiur, menyampaikan keputusan papanya dan memintanya pulang ke rumah.
          “Mama tidak menipuku, ‘kan?” Tiur tidak bisa percaya begitu saja. Dia tahu persis watak papanya.
          “Astaga, Tiur.... “
           Tiur lalu meminta untuk bicara kepada papanya. Marya segera memanggil Alfred. Di ujung telepon, Tiur akhirnya memercayainya juga, Dia segera menelepon Parlindungan. Dengan napas tersengal-sengal karena senang, dia menceritakan perubahan sikap papanya.
           Suara Parlindungan yang sama antusiasnya  melegakan Tiur. Tapi, Tiur masih merasa ada satu persoalan lagi. Apa jaminannya kalau Nauli akan diterima dengan baik pada pestanya nanti. Nauli sudah beberapa kali dipermalukan di depan keluarga besarnya. 
            Namun, kabar baik ini harus segera disampaikan  secepatnya pada Nauli.
           “Ada kabar baik, Kak,” Tiur memberitahukan Nauli pagi itu juga. “Papa akhirnya mau menerima syarat-syarat yang kuajukan.”
          “Maksudnya?”
          “Papa merestui pernikahanku dan resepsinya akan tetap di hotel. Berarti, Kakak diperbolehkan datang juga.”
           Nauli tersenyum lega. Baginya, ini mukjizat Tuhan. Sebab, tidak biasanya papanya berubah pikiran.
          “Kakak mau datang, ‘kan?”
          Nauli tertegun.  Tidak ada jaminan dia akan diterima dengan baik. Bukan dia tidak percaya pada Tiur, tetapi bisa saja janji itu dibuat demi pernikahan Tiur terlaksana sesuai rencana.
        Sesaat dia menoleh pada Rizal dan Nayla yang sedang asyik bermain puzzle.  Menyedihkan sekali bila orang-orang tercinta itu harus diusir lagi di tengah keramaian. Hatinya bisa-bisa terkoyak kembali.
           Nauli segera memutuskan untuk tidak datang. Jawaban yang sudah diperhitungkannya.
       .                                                   *******
            Seminggu menjelang pernikahan Tiur….
            Nauli beberapa kali mendengar telepon rumahnya berdering. Tetapi kemudian mati bila diangkat. Sudah tiga kali kejadian itu terulang, sampai dia kesal sendiri.
            Dan,   sekarang adalah yang keempat. Nauli bersiap-siap memaki si penelepon itu….
           “Ya. Halo….”
            Telepon tidak dimatikan, tetapi dibiarkan hening.
            “Halo….”
            “Butet…. Ini Mama, Nak….”
             Sesaat Nauli terdiam. Napasnya seakan terhenti seketika.
              “Apa kabar, Sayang….”
              Ya, Tuhan…  keajaiban apa lagi yang Kau datangkan malam ini….
                Suara itu seperti datang dari surga. Begitu lembut, tetapi mampu mengoyak batinnya. Betapa tidak, bertahun-tahun dia merindukan suara itu memanggilnya dengan lembut.
              “Ma…,” Nauli tergagap.
               “Ya… Mama mengharapkan kedatanganmu di pesta Tiur….”
               “Oh….” Nauli masih terus berusaha mengumpulkan batinnya yang terserak karena sentakan yang begitu hebat tadi.
              “Kamu bisa, ‘kan? Ajak suamimu, Rizal, dan anakmu, Nayla. Kata Tiur, anakmu lucu sekali….”
              Bola mata Nauli meremang. Ada genangan air yang hangat di pelupuk matanya yang sebentar lagi akan segera terjatuh bergulir di pipinya yang putih itu.
             Dadanya sesak karena bahagia. Perjuangan Tiur untuknya tidak sia-sia.
             “Papa tahu Mama mengundangku?”
             Pertanyaannya lama tak terjawab. Dengan berdebar, Nauli menunggu jawaban.
             “Butet….”
             Batin  Nauli kembali mengalami sentakan. Itu suara papanya.
            “Butet, ini Papa….”
            Nauli kehilangan suara. Sibuk menata perasaannya yang  tiba-tiba membuncah. Kebahagiaannya tak tertahan.
            Tidak ada lanjutan kata-kata lagi. Nauli tahu, mungkin papa dan mamanya sedang terisak seperti dirinya sekarang ini.

            Nauli segera menelepon Rizal yang sedang bermain golf. Selama lima belas menit dia menelepon Rizal hanya untuk membicarakan keajaiban yang terjadi pada hari ini. 
            Tiur juga diberi tahu. Selama hampir setengah jam mereka terlibat pembicaraan yang panjang. Ada  dua tangis kecil yang silih berganti terdengar di antara percakapan itu. Kebahagiaan berpendar ke seluruh permukaan hati. 
          Menit berikutnya, bersama Nayla, dia melesat pergi ke desainer langganannya, memesan  beberapa baju cantik buat Nayla dan beberapa kebaya untuk dipakainya minggu depan. Untuk Rizal pun dia memesan beberapa baju batik sekaligus jas.
         Di menit-menit berikutnya pula, ada yang sedikit disesali Nauli. Dia menyesal tidak jadi  membeli majalah  bersampul  model dengan kebaya cantik yang sangat disukainya itu….(Tamat)

Penulis: ANDRY ISKANDAR



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?