Fiction
Menemukan Seroja [4]

18 Jan 2013

<<<< Cerita Sebelumnya

“Jika tak ada lagi yang namanya harapan dan keyakinan, maka hati kita akan mati.”

Kisah Sebelumnya:
Di Mesir, Verna yang bercita-cita menulis buku tentang bunga seroja (bunga lotus) bertemu Edgar, seorang jurnalis asal Prancis. Edgar tertarik pada Verna berkat motif batik pada jaket yang dikenakan Verna. Edgar merasa, motif batik yang dikenakan Verna itu terkait dengan kisah kelam ayah Edgar, yang telah bercerai dari ibunya.

Danica menunduk. “Sebulan tidak ada kabar dari Ayah, dan melihat Mom selalu bermata sembap, aku mencoba menelepon ke rumah. Tidak ada yang mengangkat. Hampir setiap minggu aku menelepon, tapi tetap tidak ada yang mengangkat, sampai akhirnya enam bulan kemudian seseorang mengangkat, terdengar suara seorang gadis muda. Karena kaget aku langsung menutup telepon. Esoknya aku kembali menelepon, dan suara gadis muda itu lagi yang terdengar. Aku menutup telepon dengan marah, dan langsung menduga Ayah telah menikah lagi.”
Danica menyentuh bahu Edgar, “Maafkan aku… baru setelah Mom cerita aku tahu gadis muda itu ternyata pegawai toko. Pembeli rumah kita memugarnya menjadi toko. Karena ada kisah tragis di situ, tidak ada yang berani menjadikan rumah tinggal lagi.”
    Edgar mendengus kesal. “Kenapa tidak kau ceritakan dari dulu?”
    “Hari itu Mom berpesan agar aku menceritakanmu pada saat yang tepat. Saat itu kamu sedang bertugas meliput perang di Irak, Mom tidak ingin membuatmu tambah stres,” jelas Danica. “Dan kurasa saat inilah waktu yang tepat.”
    Emberiza berkepala hitam sudah terbang, untuk inikah ia datang sore ini? Untuk mengungkap kebenaran sebuah kisah kelam yang telah terkubur sekian lama? Edgar menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Hatinya betul-betul perih, dengan suara serak ia berbisik, ”Ayah… maafkan aku….”

*****

Le Havre, Maret 2012
Dewi Sawitri…..
    Batara Yama menatap Dewi Sawitri, lalu menghela napas. Ia tersentuh oleh keteguhan yang ditunjukkan oleh Dewi Sawitri terhadap suaminya, Setiawan. Maka, Batara Yama akhirnya melepaskan nyawa Setiawan dan memberikan usia 100 tahun baginya agar bisa menempuh hidup bahagia bersama Dewi Sawitri….
    Verna menatap lukisan wayang karya ibunya yang tergantung di sebuah ruangan rumah Edgar di Le Havre, sambil mengingat cerita ayahnya tentang akhir kisah dari Dewi Sawitri, profil wanita yang setia baik dalam suka maupun duka. Siapa yang menyangka bahwa istri si seniman pelukis motif batik di jaketnya adalah ibu  kandung Edgar….
    “Selama tinggal di Le Havre, aku tidak pernah tahu ada lukisan wayang Dewi Sawitri. Ruangan ini selalu terkunci, hanya Mom yang boleh masuk. Sejak meninggalnya Mom, baru hari ini aku kembali ke Le Havre,” jelas Edgar
    Verna mengangguk, beberapa hari yang lalu Edgar sudah menceritakan padanya kisah kesalahpahaman  tragis dalam hidupnya. Sebuah kisah yang menghubungkan motif batik dengan lukisan wayang, dan perlahan juga menghubungkan hati mereka. 
    “Dan hari ini, di depan lukisan ini…,” kata Edgar sambil berlutut. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil hitam, di dalamnya tampak sebentuk cincin. “Maukah kamu menikah denganku?” Matanya menatap Verna penuh harap.
    “Tapi….” Verna mundur selangkah. Ia balas menatap Edgar dengan kaget bercampur bingung. “Bukankah hubungan kita hanya hubungan kerja?”
    “Verna, apakah selama lebih dari sepuluh bulan menulis novel bersama, kamu benar-benar tidak menyadari perasaanku padamu? Apakah aku bertepuk sebelah tangan?” Mata Edgar yang sebiru langit, tampak berkilauan.
    Verna menggeleng. “Kau tahu,  kau tidak bertepuk sebelah tangan,” jawab Verna dengan suara bergetar, melawan deburan di jantungnya. “Hanya saja…,” ia menghela napas,”tidakkah ini terlalu cepat?”
    “Kita tidak harus menikah bulan ini,” kata Edgar lembut, “dan jika kau takut pernikahan kita akan menghalangimu mengikuti segala ekspedisi penggalian situs yang sering kau lakukan, maka aku berjanji, aku tidak akan menghalangimu. Kamu tahu, aku juga sering harus bertugas ke berbagai belahan dunia, kita bahkan bisa pergi bersama. Lihatlah cincin ini, hanya dihiasi batu berlian kecil di tengah dua bentuk tangan yang saling bergandengan.” Edgar kembali berdiri sambil menunjukkan cincinnya pada Verna. “Itu artinya aku ingin cincinku tidak menjadi pesaing cincin bunga seroja yang sudah ada di jarimu. Seperti cincin ini, aku ingin menjadi orang yang berada di sampingmu, tapi tidak akan menghalangi kariermu.”
      Verna termenung mendengar penjelasan Edgar, sungguh ia tidak menduga tepat di hari ulang tahunnya yang ke-28, ada seorang laki-laki yang melamarnya. Laki-laki itu Edgar, laki-laki yang telah membuka pintu hatinya, membuatnya menyadari bahwa bersandar di bahu seorang laki-laki lebih menyenangkan daripada bersandar di tembok ketika lelah mendera jiwa. Laki-laki yang menyadarkan dirinya bahwa berbagi pemikiran itu tidak membuatmu kehilangan idemu, tapi justru mengantarkanmu ke penemuan ide yang lebih banyak lagi.
Hari ini adalah hari yang paling indah dalam hidupnya, dan seharusnya ia dipenuhi rasa bahagia tapi kenapa sebersit rasa ragu menghalanginya untuk berkata, “Ya”? Seolah ada seseorang yang membisikkan padanya, Verna, don’t you think this is too good to be true…?   
    “Bolehkah…aku minta waktu untuk menjawabnya? Dan maukah kamu berjanji, jika jawabanku tidak sesuai harapanmu, kau tidak akan membenciku?” pinta Verna, suaranya masih bergetar.
    Edgar menunduk. “Berapa lama?” tanyanya dengan suara lirih.
    Sejenak Verna berpikir. “Tiga puluh tiga hari dari sekarang?”
    “Kenapa tiga puluh tiga hari?” Edgar kembali menatap Verna dengan memicingkan matanya.
    “Tiga puluh tiga hari lagi bukankah kamu ulang tahun ke-33?” jawab Verna lembut. “Di saat itulah kita akan kembali bertemu di Le Havre, di rumah ini, di depan lukisan wayang Dewi Sawitri. Tiga puluh tiga hari lagi artinya satu bulan lebih. Bagiku pernikahan itu untuk sekali seumur hidup. Sesuatu yang terjadi begitu tergesa-gesa terkadang membawa hal yang buruk. Jadi, sungguh aku butuh waktu untuk memikirkannya.” Matanya menatap penuh harap pada Edgar.
    Edgar memalingkan wajahnya ke lukisan wayang Dewi Sawitri. Ia menghela napas, kemudian mengangguk pasrah.
*****

Montmartre, April 2012
Seroja dan Teratai….
    Siang yang sempurna, keceriaan dan semangat musim semi memenuhi setiap sudut Place du Tertre. Meja-meja makan dipenuhi oleh Parisian dan wisatawan berpakaian modis. Hampir lima bulan tidak mendapatkan sentuhan hangat, membuat setiap orang membiarkan dirinya bersapaan langsung dengan sinar mentari, termasuk Verna yang memilih duduk tak jauh dari kumpulan para pelukis yang tengah sibuk mengabadikan keindahan Paris di musim semi.
     Melewatkan minggu siang di Place du Tertre saat musim semi adalah kegiatan yang dulu selalu dilakukan Verna sekeluarga. Dan kini, meski di Paris hanya tersisa dirinya, rutinitas itu tetap terjaga. Apalagi di saat kerinduan akan keluarganya  memenuhi jiwa. Duduk di antara para pelukis membuat Verna merasa seperti saat ia remaja, duduk di dekat ibunya yang bersamanya melukis, menunggu Ayah menyiapkan makanan dari menu terbarunya, dan  Zaida yang selalu siap  menyuguhkan dessert  lezat.
     Tapi, siang ini Verna tidak sedang melukis di antara orang yang tak dikenalnya. Persis di sebelah kanannya duduk seorang perempuan cantik berumur 37 tahun yang tengah asyik membuat lukisan bunga teratai kuning. Ia adalah Kartika Leilani, adik bungsu ayah Verna yang sudah sepuluh tahun ini bermukim di Milan,  seorang perancang gaun malam di salah satu rumah mode ternama di Italia.  
Melihat Tante Kartika yang tengah tekun memberikan sentuhan warna kuning pada kelopak bunga teratai mengingatkan Verna akan sosok Zaida -si bunga teratai dan dirinya si bunga seroja. Banyak orang mengira bunga seroja dan bunga teratai itu sama, hanya karena  bentuk mereka hampir serupa. Sama halnya ketika banyak orang mengira Verna dan Zaida memiliki sifat dan sikap sama dalam segala hal, karena mereka kembar.
Teratai berasal dari genus nymphaea, Seroja dari genus nelumbo. Zaida dan Verna adalah kembar non-identik karena berasal dari sel telur yang berbeda.
Tangkai bunga teratai tumbuh rendah maksimal 15 cm di atas permukaaan air, seroja dapat mencapai 70 cm. Tinggi badan Zaida lebih rendah 5 cm dibanding Verna.
Daun teratai mengambang di permukaan air, seroja memiliki tangkai panjang sehingga menjulur ke atas. Nilai akademis Zaida berada di rata-rata kelas, Verna selalu di atas rata-rata kelas.
Warna bunga teratai beragam, seroja hanya terbatas putih, merah muda dan kuning. Zaida selalu berlaku spontan, penyuka musik pop dan drama romantis, Verna melakukan segala hal dengan terinci dan terencana, hanya suka musik klasik.
Teratai adalah penghias taman, seroja memiliki banyak fungsi selain menghias taman. Rimpangnya yang enak digunakan dalam masakan India, Cina dan Jepang, biji bunga selain bisa dijadikan isi bagi kue bulan, juga diminum sebagai pengganti teh di Cina. Zaida memilih melepaskan karier sebagai pastry chef andal dan memilih menjadi ibu rumah tangga 100%. Verna tidak mungkin melakukan itu. Baginya, selain menjadi seorang ibu dan istri, seorang wanita harus tetap memiliki karier, identitas diri, dan….
“Ada apa Verna, kamu, kok, tampak muram, semuram sketsa kenari saljumu?” tanya Tante Kartika, membuyarkan lamunan Verna.
 Verna tersenyum. “Tidak apa-apa, Tan.”
“Jangan bohong, dari sudut mata ini Tante bisa melihat dari tadi lukisanmu belum juga ada penambahan apa pun.” Tante Kartika meletakkan alat lukisnya. “Resah soal lamaran Edgar?”
Verna menunduk, menyimpan tetes bening yang kini terasa menggenang, dan sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. “Verna takut pernikahan akan menghilangkan kemandirian yang selama ini ada pada diri, juga kebebasan pergi ke mana saja. Verna takut karier yang dengan susah payah Verna bangun akan tenggelam dalam kehidupan rumah tangga,” jawab Verna, serak.
“Apakah Edgar melarang kamu untuk bekerja?”
Verna menggeleng, “Edgar bukan lelaki posesif. Ia selalu memberi kebebasan dan mempercayai Verna,” jawabnya, laIu mengambil satu kotak kecil hitam dari dalam tasnya, dan menunjukkan sebentuk cincin pada tantenya. “Edgar berjanji bahwa seperti makna dari bentuk cincin ini bahwa ia tidak akan menghalangi langkah Verna, ia akan berjalan di samping Verna sebagai kawan pendamping dalam menjalani hidup.”
Tante Kartika tersenyum, “Jadi sudah tidak ada yang perlu dirisaukan lagi, ‘kan?”
“Bukankah laki-laki selalu banyak berjanji, tapi kemudian ketika kita sudah jadi miliknya, ia akan dengan mudah melanggar janji itu?” tanya Verna.
“Hmm… bisa jadi, tapi tidak semuanya begitu.” Tante Kartika merengkuh Verna untuk bersandar di bahu kirinya. “Dari semua ceritamu tentang Edgar, Tante yakin ia akan selalu memegang janjinya. Kamu tahu karena janji dari laki-lakilah hati seorang perempuan bisa hidup. Suatu janji memberikan harapan dan keyakinan. Jika tak ada lagi yang namanya harapan dan keyakinan, maka hati kita akan mati,” bisiknya lembut di telinga Verna.
“Apa salah jika aku ingin seperti Tante, sukses dalam karier, single, dan happy?” Verna menatap tantenya.
Tante Kartika tertegun. “Jangan menjadi seperti Tante,” jawabnya kemudian sambil menghela napas, matanya menerawang jauh. Verna mendapati ada selapis luka yang samar di sana.
“Tapi…,” bantah Verna, “Tante selalu terlihat bahagia dan selalu bersemangat, bersama Tante hidup terasa menyenangkan.” Mata Verna menyiratkan keheranan.
“Apa yang terlihat di mata kita terkadang bukanlah suatu cerminan hati seseorang,” jawab Tante Kartika. “Hidup Tante hanya berisi kerja, kerja dan kerja, penuh keinginan untuk membuktikan ketangguhan diri yang tak ada habis-habisnya. Terlahir sebagai anak susulan dengan jarak umur yang jauh dengan kakak-kakak, membuat Tante merasa harus selalu membuktikan diri bukan si bungsu yang manja, bukan si bungsu yang harus selalu dilindungi. Apalagi kamu sendiri tahu eyang kakung dan eyang putrimu meninggal saat Tante masih di SMU.” Tante Kartika terdiam sejenak, matanya tampak berkaca-kaca.
“Umur 16 tahun, ketika pertama kali datang seorang teman laki-laki ke rumah, Eyang Kakung yang biasanya begitu protektif pada Tante, tidak marah. Beliau justru bersikap sangat ramah padanya. Begitu teman Tante itu pulang, Eyang Kakung memberi dua nasihat pada Tante, bahwa lelaki yang baik adalah lelaki yang menjaga kesucian perempuannya sampai saatnya ia resmi menjadi istrinya. Nasihat berikutnya, sebaik apa pun suamimu kelak, kamu haruslah tetap bekerja, kamu harus punya identitas dan kemandirian supaya jika terjadi sesuatu kamu tidak direndahkan. Misal, jika suamimu berselingkuh, atau jika ia meninggal di usia muda atau kehilangan pekerjaan, kamu tetap dapat menopang hidupmu dengan cara yang bermartabat.” Tante Kartika tertawa getir.
“Hari itu Tante geli mendapat nasihat seperti itu. Eyang Kakung menasihati seolah  bulan depan Tante akan membawa berita kehamilan atau akan menikah saja, padahal hubungan Tante dengan laki-laki itu hanya berteman.” Tante Kartika terdiam, ia termenung sejenak.
“Setahun kemudian…Eyang Kakung meninggal karena serangan jantung. Tante baru menyadari betapa pentingnya nasihat itu- nasihat terakhir seorang ayah pada gadis bungsunya. Tante melihat sendiri betapa Ibu… Eyang Putri, menjadi limbung. Seluruh hidupnya adalah pengabdian pada suami. Eyang Putri seolah kehilangan jati dirinya, dan tenggelam dalam kesedihan, sampai akhirnya 40 hari kemudian ia menyusul Eyang Kakung.  Betapa terpukulnya hati Tante saat itu. Tante bertekad harus menjadi wanita mandiri yang kuat dan tangguh, sehingga jika dalam pernikahan terjadi hal yang buruk, Tante tetap dapat tegar untuk melindungi anak-anak. Waktu terus berjalan, tanpa terasa ternyata Tante telah kebablasan….tingkat kemandirian yang tinggi membuat Tante sulit menerima kehadiran seorang  suami.”
Tante Kartika kembali merengkuh Verna untuk bersandar di bahu kirinya, “Kenyamanan Tante dalam menjalani kesendirian kemudian membuat banyak orang mengira Tante anti menikah, padahal kenyataannya Tante itu fobia menikah. Seorang perempuan egois yang menjadikan karier sebagai tameng untuk bersembunyi dari kebutuhan alami manusia untuk berpasangan.” Mata Tante Kartika kembali berkaca-kaca. “Meski sesungguhnya, seperti semua orang, Tante juga mempunyai hasrat untuk dicintai, dibutuhkan, dan diinginkan.”
Tante Kartika menghela napas, “Ada saatnya ketika Tante betul-betul merasa lelah, jatuh dan terluka ketika berjalan sendiri, di saat itu Tante menguatkan diri dengan berkata, ‘Jika kamu sudah memilih, kamu harus berani menanggung segala risiko yang ditimbulkan dari pilihanmu itu.’
Ketika masih seusiamu, bagi Tante cinta bisa menunggu, sedangkan pekerjaan tidak, meski banyak orang membuktikan keduanya bisa berjalan beriringan. Tante telah meninggalkan seorang laki-laki yang Tante cintai demi karier. Ada yang bilang kehadiran laki-laki yang sanggup membuat hati kita damai itu seperti kedatangan Komet Halley. Jika di tahun kedatangan si komet, kamu tidak menyaksikannya, maka kamu harus menunggu 76 tahun lagi.” Tante Kartika tertawa sumbang, “Bayangkan jika itu benar, berapa umur Tante 76 tahun lagi?”
Mata dengan bulu yang lentik itu kini menatap sketsa kenari salju milik Verna. ”Apa pun atau bagaimanapun hidup membawamu pada sebuah kenyataan, kamu harus siap menghadapi setiap tekanannya. Bahwa jika di salah satu tanganmu belum menggenggam sesuatu yang kau inginkan, maka jangan sampai tanganmu yang lain melepaskan sesuatu yang bisa membuatmu tersenyum setiap hari. Karena itulah, Tante tidak mau menjadi orang yang selalu bersedih.” Tante Kartika tersenyum.
“Tante menyadari kesalahan yang telah Tante buat, dan yakin hidup berisi kejutan tiada akhir. Tuhan pasti sudah menyiapkan sebuah rencana indah bagi hambanya yang sabar dan mengakui kesalahan,”  jelas Tante Kartika, panjang lebar.
Verna tercenung, ada berlapis-lapis rasa bersalah perlahan menelusup dalam hatinya karena telah membuat bola mata Tante Kartika yang semula bersinar cemerlang menjadi muram.
“Karier terkadang bisa menjadi candu,” lanjut Tante Kartika, “ia membius, membuat kita melayang, memberi energi lebih, kegembiraan, dan membiarkan ambisi tumbuh liar tak terkendali. Karier seperti itu bisa membuatmu meninggalkan pasanganmu, bahkan anak-anakmu. Ketika usia kita masih muda, kita tidak menyadarinya. Tapi, ketika senja mulai menghampiri, satu per satu kebenaran datang untuk menyadarkan, hal apa saja yang sudah kita lepaskan, dan sulit untuk diraih kembali.”
Tanpa terasa sore mulai menjelang, beberapa pelukis telah mengemasi perlengkapannya. Sekelompok burung fringila emas tampak beterbangan di antara ranting-ranting pohon yang saling bertautan.
“Sayang….” Tante Kartika merangkum kedua tangannya di wajah Verna, matanya menatap dalam ke kedua bola mata Verna yang menyiratkan rasa bersalah. “Jujur, Tante sering berharap saat ini ada seorang laki-laki yang membuat Tante nyaman karena hati dan jiwa kami bersinergi, maka tanpa ragu Tante akan langsung menjawab “Ya” jika dilamar,” kata Tante Kartika dengan raut wajah yakin, kedua bola matanya tampak berkilauan.
“Jika kamu bisa bersama dengan seseorang yang sanggup menghidupkan dan mendamaikan hatimu, jangan berpaling darinya. Sendiri memang tidak berarti selalu sedih, berdua juga tidak berarti selalu bahagia. Tapi, berdua membuat rasa lelah bisa dibagi, berdua membuat tertawa menjadi lebih meriah, dan  berdua membuat berjalan bisa saling bergandengan tangan,” pungkas Tante Kartika, kemudian merengkuh Verna dalam pelukannya.
Dua ekor fringila emas tampak menukik turun, mereka hinggap di atas kanvas milik Tante Kartika. Dengan sepenuh hati Verna membalas pelukan dari tantenya, sambil berbisik, “Maafkan Verna, Tante.”
Diiringi kicauan sepasang burung itu, Tante Kartika mengangguk.
*****

Le Havre,  April 2012
Finding Lotus (Menemukan Seroja)…..
    “Cahaya bulan yang amat terang menyinari seluruh permukaan candi. Sinarnya yang putih bagaikan lampu sorot yang besar. Rumi, Tupi, Kiki dan Jack Serigala tertegun…..dan terus tertegun. Tidak pernah terbayangkan di benak mereka, pada tahun 800-an Masehi di Pulau Jawa pernah hidup seorang arsitek genius bernama Gunadarma, yang sanggup merancang sebuah candi raksasa yang keindahannya sungguh luas biasa.
Dan di candi itu tidak hanya Kunto Bimo yang sanggup menarik perhatianmu -sebuah arca yang jika berhasil disentuh konon akan membuat keinginanmu tercapai, tapi di candi itu ternyata ada lebih dari 100 arca Buddha yang duduk dalam posisi lotus dengan 5 sikap tangan yang berbeda dan mengandung setiap makna kebajikan hidup.  Di salah satu arca-arca itu mereka harus menemukan  kunci  pertama  berbentuk bunga seroja berwarna putih.”
    Edgar dan Verna tersenyum membaca  sepenggal kisah dari novel anak-anak berjudul Finding Lotus karya mereka berdua. Kisah petualangan 3 orang anak dan seekor serigala yang harus menjelajah delapan negara di Asia dan Afrika untuk menemukan 12 kunci berbentuk bunga seroja dengan warna-warna tertentu demi menyelamatkan seorang profesor arkeologi- kakek baik hati sahabat mereka yang terjebak di dalam Dragon’s Breath Cave, sebuah gua yang terletak di sebelah timur laut Namibia, Afrika.     
 Dan di sore ini ketika aneka burung sedang bernyanyi di bawah bayang-bayang pohon plum, mereka berdiri di antara lukisan wayang Dewi Sawitri, jaket batik bermotif kenari salju yang sedang hinggap di bunga seroja, dan sembilan seri novel anak-anak berjudul Finding Lotus yang segera diterbitkan,
Tiga hal yang mempertemukan mereka,
Tiga hal yang menyatukan hati mereka,
Tiga hal yang menghilangkan keraguan mereka akan pernikahan.
Dengan cincin bunga seroja yang bersanding manis di sebelah cincin berbentuk dua tangan yang saling bergandengan, mereka berjanji: jika kelak mereka dikaruniai anak  perempuan akan diberi nama Dewi Sawitri, dan  jika laki-laki akan diberi nama  Gunadarma. (Tamat)

Deasy Wirastuti



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?