Fiction
Menemukan Seroja [1]

18 Jan 2013


Eyang Putri bilang, jika gagak muncul, itu artinya tanda akan ada kejadian buruk.


Bagian 1

Kairo, Januari 2011
Melepaskan. Membebaskan…
    Bagaimana caranya membebaskan diri dari keinginan untuk segera menghasilkan sebuah karya indah ketika otak sedang blank?
Lama Verna merenung, napasnya naik turun menahan rasa, ia ingin beban berat di pundaknya ini segera lenyap. Di satu sisi, jiwanya mencengkeram dan memaksa dirinya: Ayo tulis cerita itu sekarang! Jangan tunda lagi, ceritamu akan jadi novel anak-anak terbaik tahun ini! Cepat tulis atau kamu akan menyesal…!
Kalimat-kalimat penuh tekanan itu berdampingan dengan bunga-bunga indah khayalan tentang cover yang mengilap, terjual lebih dari 100.000 copies, dan gemerlap mata cerdas anak-anak yang asyik membacanya. Tapi, di sisi lain, otaknya seperti mati, ia tak mampu menulis satu kata pun. Lalu apa yang harus dilakukannya untuk bisa lepas bebas?  
Ia sudah mematikan lampu, memutar lagu lembut, dan mengheningkan jiwa, namun beban ini tak juga hilang, kebebasan dan perasaan lepas tak juga diraihnya. Menulis seharusnya menjadi hal yang menyenangkan, menulis seharusnya menjadi hal yang mampu membebaskan jiwa. Tapi, kini menulis seolah berubah menjadi monster yang membekap mulutnya sangat kuat, sampai-sampai ia kesulitan untuk bernapas. Ah…..ke mana perginya semua semangat yang dulu ada ketika ide pertama kali muncul? Kenapa mereka sekarang bersembunyi ketakutan?
    Seseorang pernah mengatakan kepadanya, “Menulislah dengan hati, karena segala sesuatu yang ditulis dengan kejujuran dan ketulusan selalu sanggup menyentuh hati jiwa lain.” Menulis dengan hati rasanya hanya berhasil ketika Verna menulis di buku hariannya. Kata-katanya begitu lancar, begitu mudah mengalir dan kapan pun ia kembali membacanya, ia akan mampu membangkitkan emosi dari  tiap detail kejadian yang pernah dialaminya.
Tapi, kali ini ia tidak sedang menulis buku harian, ia sedang menulis sebuah novel untuk anak-anak yang diharapkannya bisa memperkenalkan keajaiban sebuah bidang  ilmu. Anak-anak adalah jiwa manusia yang paling murni, jiwa yang Verna yakin sanggup menangkap dan memahami impian terdalam dari cita-cita sederhananya untuk memperkenalkan bidang ilmu keahliannya, ilmu arkeologi.

Impian Itu Berawal dari Sebuah Cincin….
Saat Verna berumur lima belas tahun, Ibu memberinya dan saudara kembarnya, Zaida, masing-masing sebuah cincin. Cincin itu terbuat dari 3,3 gram emas 23 karat dengan mahkota berbentuk kuntum bunga seroja yang berasal dari sepasang giwang milik nenek dari pihak Ibu. Tiap kelopak ditaburi batu berlian putih yang akan langsung berpendar jika cahaya matahari atau lampu menyentuhnya. “Karena aku punya dua anak perempuan, maka sepasang giwang ini kujadikan dua cincin. Supaya adil,” kata ibunya di tanggal 20 Maret,  hari ulang tahun Verna dan Zaida.
    Ibu menyematkan cincin masing-masing di jari tengah tangan kanan Verna dan Zaida. Galur-galur cahaya matahari senja yang menyelinap lewat celah jendela menyentuh lembut permukaan mahkota cincin. Kelopak-kelopak batu berlian berwarna putih langsung menanggapi sentuhan sinar mentari, ia berpedar-pedar memukau. Verna dan Zaida terpesona.
    Kekaguman Verna akan cincin bunga seroja, membuatnya ingin menulis buku tentang bunga seroja. Lalu, apa hubungannya bunga seroja dengan dirinya yang seorang arkeolog? Bunga seroja atau padma atau lotus memiliki wajah kedamaian dan keindahan yang menyejukkan, membuatnya banyak didongengkan dalam cerita rakyat dan keagamaan, baik di India maupun Cina.
Bunga seroja tumbuh bersama-sama teratai di pinggiran Sungai Nil, hingga pada zaman Firaun, bunga, buah, dan daunnya dijadikan motif dalam arsitektur kuil. Di Indonesia, arca-arca Buddha di Candi Borobudur terlihat duduk bersila dalam posisi lotus, dan Candi Jiwa di Jawa Barat memiliki struktur bagian atas seperti bunga padma.  Dewa Wisnu, dewa pembawa kebahagiaan di sebuah kuil di India, tampak berdiri di atas bunga lotus dan lambang negara India adalah lotus.
Mempelajari secara mendalam bunga seroja, memberikan pemahaman bagi Verna bahwa bunga seroja atau lotus atau padma memiliki tempat khusus bagi berbagai kepercayaan dan kebudayaan di Asia dan Afrika.

Sebuah Novel Bagi Anak-Anak yang Akan Berisi Tentang…  
Situs-situs kuno di berbagai belahan dunia menampilkan bunga seroja dalam patung, relief dan lukisan. Lalu ia akan menambahkan dongeng-dongeng kuno yang memuat cerita keindahan bunga seroja, termasuk juga kuliner masa lalu dengan bahan utama bunga seroja yang sampai saat ini masih merupakan kuliner kebanggaan dari beberapa negara.
Verna ingin menulis dalam bentuk novel anak-anak yang mengandung referensi ilmiah dengan bahasa santai yang mudah dimengerti, agar anak-anak merasa nyaman membacanya, lalu perlahan memiliki ketertarikan untuk mengunjungi situs-situs yang menampilkan bunga seroja.
Rasa tertarik akan mendorong mereka belajar lebih banyak yang tidak hanya menyangkut situs bunga seroja. Makin banyak mereka tahu, akan membuat mereka tidak lagi melihat  arkeologi hanya sebagai tumpukan batu berlumut atau mumi berumur ribuan tahun dengan sosok menakutkan. Lewat arkeologi, mereka dapat menemui  banyak keajaiban dari kisah hidup manusia di zaman lampau.

Setitik Cahaya dan Harapan…
    Lewat novel yang ditulisnya Verna berharap akan ada seorang anak yang jika ditanya ingin jadi apa jika ia besar nanti, ia tidak lagi hanya menjawab ingin jadi dokter, insinyur, atau artis dan politikus (dua profesi terakhir ini yang tampaknya kini menjadi lebih marak sebagai pilihan hidup masa depan), tapi anak itu akan menjawab dengan lantang: “Aku ingin jadi seorang arkeolog!”
    Meski hanya satu orang dari satu juta anak, sudahlah cukup bagi Verna. Bukankah setitik cahaya, meski hanya setitik, tetap merupakan cahaya? Meski setitik, cahaya selalu memberi setitik harapan dalam lorong gelap yang panjang. Meski hanya setitik, harapan sanggup membuati hati berbunga. Dan, bukankah hati yang berbunga akan membuat wajah berseri memancarkan kedamaian? Dan, wajah damai itu adalah wajah bunga seroja, wajah yang menjadi kunci bagi terbukanya pintu keajaiban dunia arkeologi.  

Menembus Batas…  
    Kibas sayap malaikat tertangkap oleh mata Verna dua malam terakhir ini. Dalam seperenam detik kedipan mata, kibas sayap itu bagaikan lempengan cermin yang berpendar terkena cahaya, warnanya putih bergemerlap sekilas, membuat hati berdesir… Apakah Tuhan akan memberi petunjuk agar aku dapat membebaskan diri?
Selapis demi selapis fakta perlahan menelusup ke dalam otak Verna, dan berbisik, bahkan Roald Dahl pun membutuhkan waktu….
“Roald Dahl…,” guman Verna pelan dalam mata terpejam, mencoba mencerna maksud bisikan itu.  
 Dahl mulai menulis tahun 1942, tulisannya yang pertama bukan berupa cerita anak-anak, tapi artikel tentang kecelakaannya di Libya. Ia menyimpan ide-ide ceritanya dalam buku tulis merah yang lusuh dan  tiap hari mulai menulis dengan enam pensil runcing dan setumpuk kertas bergaris. Ia menulis semua buku anak-anaknya di pondok yang sengaja dibangunnya di kebun apel rumahnya di Great Misseden. Duduk di kursi tua milik ibunya yang dilubanginya untuk mengurangi pegal-pegal di tulang punggungnya.
Dahl sering menulis ulang bagian-bagian ceritanya agar menjadi sempurna, dan tiap minggu membuat api unggun di luar pondoknya dari kertas-kertas yang dibuatnya. Novel anak-anaknya yang pertama, James and the Giant Peach, baru terbit tahun 1961.    
“Ya. bahkan Roald Dahl pun harus menempuh waktu 19 tahun dari awal menulis sampai terbit novel anak-anak pertamanya.” Verna kini memahami maksud bisikan hatinya.  
Roald Dahl adalah penulis cerita anak-anak berkebangsaan Norwegia, idola Verna. Koleksi lengkap karyanya yang terdiri dari 14 novel anak-anak mengisi jajaran buku di perpustakaan pribadi Verna. Sebelum memutuskan menjadi penulis, Dahl adalah pilot pesawat tempur saat Perang Dunia II. Menjelang berakhirnya perang, ia pindah ke Amerika Serikat. Dalam sebuah bukunya Dahl berkata bahwa ia memiliki masa ketika ia harus belajar dengan keras agar dapat menulis cerita untuk anak-anak.
Dalam sorot mata galau kini Verna menatap 30 lembar kertas yang berisi tulisannya tentang bunga seroja. Bahasanya teoritis, tidak menarik untuk dibaca anak-anak, lebih bagus menjadi makalah ilmiah, itulah yang dikatakan hatinya. Verna menyadari pendapat itu benar adanya. Sebagai seorang yang senang membaca buku dan dongeng anak, ia tahu kata hatinya bukanlah bisikan setan jahat yang ingin meruntuhkan impiannya.
“Menjadi penulis adalah suatu proses. Bukan seperti seakan-akan kamu terbangun pada suatu hari, memutuskan menjadi penulis, dan -abrakadabra- menulis novel terlaris. Bukan seperti itu, melainkan  mungkin kamu menghabiskan bertahun-tahun membangun keahlianmu sebagai seorang penulis,” itulah yang dikatakan oleh Caryn Mirriam Goldberg, seorang penyair dari Amerika.
Verna tiba-tiba merasa malu jika mengingat dirinya. Impiannya untuk menulis buku  tentang bunga seroja benar adanya sudah sejak ia berumur 17 tahun, tapi keinginannya untuk menuliskannya dalam bentuk novel anak-anak baru setahun ini. Ia tidak memiliki kemampuan menulis selain menulis di buku harian dan makalah ilmiah.
Jika ia tetap bersikukuh menulis sendiri, maka impiannya tentu tidak mungkin terwujud dalam waktu dekat, dibutuhkan setidaknya lima tahun. Dan, untuk meningkatkan kemampuannya, bisa jadi ia harus seperti James Franco, kembali ke bangku kuliah dan mengambil jurusan penulisan kreatif, sementara Verna tahu jiwanya tidak akan sabar menunggu selama itu.  
Malam ini ia menyadari satu hal. Untuk membuat impiannya menjadi nyata, ia harus mencari seseorang yang bisa menulis cerita, sementara ia adalah  pencari, pengkaji dan pengumpul data. Novel ini akan menjadi sebuah karya masterpiece, dan harus dua orang yang mewujudkannya: satu orang arkeolog dan satu orang penulis.

Dicari Seorang Co-Writer…!
    Pagi masih berselimut kabut tipis. Jalanan sepi bersiram embun beku. Dalam tubuh berselubung bed cover tebal, Verna melangkah ke depan jendela, lalu berdiri mematung mengamati lingkungan sekitar. Tak ada timbunan salju, tak ada jurai-jurai es, tak ada jarum-jarum jalad.
Gelombang udara Laut Mediterania telah melenyapkan ciri-ciri musim dingin yang biasa Verna temui di negara-negara beriklim dingin dan sedang. Yang tertinggal di sini hanyalah suhu turun sampai 2 derajat Celsius, rendahnya kelembapan udara, dan angin yang terkadang bertiup sangat kencang membawa udara kering membekukan tubuh.
“Musim dingin yang unik,” guman Verna pada diri sendiri dengan mata yang masih mengamati, mencari hal menarik berikutnya yang bisa ia temui di Kairo. Tanpa terasa sudah lebih dari tujuh bulan ia meninggalkan Paris, kota kelahirannya sekaligus kota tempat tinggalnya sampai berumur 27 tahun ini.
    Mesir adalah negara kedelapan sekaligus terakhir yang menjadi persinggahannya untuk mencari dan mengumpulkan data. Negara pertama yang disinggahinya adalah Indonesia, lalu Korea Selatan, Jepang, Cina, Thailand, Myanmar, dan India.
    “Tinggal selangkah lagi, dan semua akan selesai. Data yang terkumpul sudah 70%, selebihnya adalah data yang masih harus dicari ada di negara ini, dan cerita secara garis besar sudah tersusun lengkap dalam benak. “Tapi, di mana bisa kutemukan penulis yang sejiwa denganku agar data dan cerita indah dalam benak tidak berakhir dalam kotak impian saja?” Verna bertanya pada ruang kosong. Beban berat yang dua hari lalu telah pergi, kini kembali menggelayut di pundaknya.

Paris, Januari 2011
“The Raven….”
Seekor gagak koraks bertengger di ranting pohon locus. Bulunya hitam mengilap, ukuran tubuhnya sebesar kelinci, dan bermata merah kejam. Ia mengeluarkan suara bergaok-gaok yang parau dan menjengkelkan tanpa peduli saat ini tengah malam. Nun jauh di sana, Menara Eiffel tampak diselimuti kabut musim dingin. Sosoknya bagai seorang pendeta kurus berjubah hitam berdiri tegak membeku, dengan sorotan mata dingin mengamati tarian ballerina kabut.  
Gagak, tengah malam, dan musim dingin. Tiga hal yang membuatnya ingat pada seseorang yang pernah hidup di masa lalu.  
“Edgar Allan Poe…,”  bisiknya. Hanya dengan menyebut namanya, sanggup membangkitkan suasana magis, yang membuatnya seolah terbang di atas pucuk-pucuk pinus puisi, melintasi ladang-ladang gandum cerita, lalu tenggelam ke lautan misteri, ironi dan humor yang gelap. Di situlah memang letak kegeniusan puisi naratif berjudul The Raven karya Edgar Allan Poe, seorang penulis Amerika yang mempunyai nama depan seperti namanya.
Dia Edgar Havizh bukanlah seorang penulis setenar Edgar Allan Poe. Dia adalah penulis cerpen berdarah campuran Indonesia-Prancis, sekaligus seorang wartawan majalah berita yang dipaksa masuk ke dalam puisi yang bercerita tentang seekor gagak yang mengunjungi seseorang di tengah malam, lalu berbicara padanya.
Edgar tahu seekor gagak hanya bisa bergaok-gaok, gagak tak dapat berbicara, tapi tetap saja bulu kuduknya meremang. Apalagi, selain teringat puisi The Raven, ia jadi ingat cerita dari dua orang neneknya, Grandmère {baca: grangmer} dan Eyang Putri. Grandmère pernah bercerita gagak muncul untuk memberi tanda akan adanya kematian, bahwa roh seseorang yang sudah mati dapat menelusup dalam tubuh gagak, atau cerita tentang penyihir-penyihir berjubah hitam yang sengaja menjelma menjadi gagak. Sedangkan Eyang Putri bilang, jika gagak muncul, itu artinya tanda akan ada kejadian buruk.
    Pertanda atau firasat adalah sentuhan alam kepada manusia sebelum sebuah peristiwa terjadi. Mengetahui arti firasat tidak membuat sebuah peristiwa hidup tidak terjadi, atau memberi kesempatan bagi kita untuk menundanya, apalagi mencegahnya. Sentuhan alam ini hanya untuk membuat seorang manusia mempersiapkan diri sebelum segalanya terjadi, karena firasat selalu berkaitan dengan hal-hal yang tidak diinginkan maka butuh kesiapan mental yang memadai untuk menghadapinya.
    Lalu apa gunanya ada seekor gagak muncul, jika sebuah peristiwa buruk sudah terlebih dulu terjadi? Entahlah, Edgar hanya bisa berharap kemunculan si gagak hanya iseng belaka, menemaninya mungkin, di tengah kegundahannya harus meninggalkan Danica, kakaknya yang hari ini baru saja mengalami ‘drama’ penculikan anak semata wayangnya, Danella, oleh mantan suaminya, Darrel.
    Three D atau 3D adalah lambang yang selalu tercantum di kartu ucapan tahun baru mereka. Three D yang berarti Darrel, Danica, dan Danella. Tapi itu dulu, tiga tahun yang lalu, sebelum pertengkaran demi pertengkaran terjadi di rumah tangga Danica yang berujung dengan sidang perceraian yang alot. Perceraian yang berbuah kemenangan Danica atas hak asuh Danella membuat ketidakpuasan bagi Darrel.
Sikap keras Danica yang tidak mengizinkan Darrel mengajak Danella berlibur   memicu  ‘drama’ penculikan yang terjadi hari ini. Beruntung mereka berhasil membujuk Darrel mengembalikan Danella, dengan kesepakatan dua hari dalam seminggu Danella boleh menginap di apartemen Darrel.
    Gagak koraks sudah terbang, Edgar berjalan ke ruang keluarga, lalu berbaring di kursi panjang. Ia menatap pintu kamar tidur berhias putri bulan yang tertutup. Di situlah Danica dan Danella tidur semenjak terjadi perceraian, karena apartemen mereka yang lama menjadi milik Darrel. Apartemen yang saat ini ditempati Edgar sebelumnya adalah milik Grandmère, yang setelah Grandmère wafat diwariskan kepada Edgar dan Danica.
Maka inilah keadaan mereka dua orang kakak beradik dan satu keponakan. Keadaan yang sesungguhnya membuat nyaman karena tidak lagi sendirian di apartemen berkamar empat yang cukup besar ini, yang sejak kehadiran Danica menjadi lebih rapi dan bersih.
    Edgar memejamkan mata, pikirannya kini melayang ke tempat di mana sebuah sungai mengaliri sembilan negara sekaligus, negara-negara di benua hitam: Mesir, Ethiopia, Zaire, Kenya, Uganda, Tanzania, Rwanda, Burundi, dan Sudan, lalu dirinya melihat piramida-piramida raksasa kokoh tegak bertakhta yang dijaga oleh patung berbentuk setengah singa dan setengah manusia.
Edgar menghela napas, besok ia harus terbang ke Kairo untuk meliput demo besar-besaran yang diperkirakan akan dilakukan rakyat Mesir tanggal 25 Januari, yang ‘undangannya’ sudah menyebar dalam Twitter dan akun Facebook bernama “We Are All Khaled Said”. Inilah efek dari Jasmine Revolution Tunisia yang kini telah menyebar bagai virus ganas di sejumlah negara Afrika Utara dan Timur Tengah, mengancam kedudukan para pemimpin rezim otokrasi di negara-negara itu.
    Edgar menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya. Ia akan pergi ke Mesir dan tinggal di sana dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Tapi, sudah menjadi tugasnya membuat laporan eksklusif atas apa yang terjadi di Mesir. Tugas adalah tugas, meski rasa cemas menghantui. Ia yakin, baik  Danica ataupun Darrel kali ini akan mematuhi kesepakatan yang telah mereka buat sendiri. (Bersambung)


Deasy Wirastuti



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?