Fiction
Menapak Jejak di Siberut [1]

25 Sep 2015


    
Pagi telah menetas, lalu perlahan merangkak mempertontonkan kemegahannya. Cahayanya mengusir gelap malam. Perjalanan laut selama sepuluh jam menyeberangi Selat Mentawai ini nyaris khatam. Kapal Ambu-Ambu, sebuah kapal feri besar yang kokoh, merapat ke pelabuhan Muara Siberut dengan perlahan.

Tante Mindo menyebutku beruntung, karena walaupun menempuh perjalanan mendadak,   aku berhasil memperoleh tempat duduk, sebuah bangku yang bersusun persis seperti bangku-bangku di dalam bus, hanya saja dengan ukuran yang lebih besar. Jika tidak, aku harus bersaing dengan penumpang lain untuk memperoleh matras yang disewakan dalam jumlah terbatas, agar bisa digelar di mana saja pada ruang yang masih tersedia. Karena memang, tidak ada tempat rebahan yang bersih dan gratis di kapal ini. Semuanya penuh sesak. Beberapa turis asing terlihat di antara para penumpang. Namun, mereka juga memiliki kesempatan yang sama besarnya dengan yang lain. Tidak ada pengistimewaan di sini.

Namun, masih kata Tante Mindo, aku harus lebih bersyukur lagi karena tidak harus menumpang kapal motor kayu yang akan merintih kretek-kretek ketika dihantam ombak, seolah-olah pukulan ombak berikutnya akan menenggelamkan kapal. Sebab, jika kau hendak menyeberang dari Padang ke Mentawai, hanya dua jenis angkutan itulah yang menjadi pilihan. Itu pun hanya tersedia dua kali dalam seminggu, hari Senin malam dan Kamis malam.

Para penumpang mulai berkemas-kemas dan merapikan barang-barang. Mereka yang tadinya rebahan di berbagai sudut kapal telah bangkit. Beberapa orang bertugas mengangkat matras dan menyimpannya entah ke mana. Keriuhan meningkat berlipat-lipat. Para pedagang sibuk mengangkut barang-barang dagangan mereka. Beberapa turis asing menenteng peralatan surfing mereka. Yang kudengar, letak Kepulauan Mentawai yang langsung menghadap Samudra Hindia ini menganugerahinya ombak yang konsisten sepanjang tahun.

“Berbagai organisasi selancar menyebut ombak di kepulauan ini terbaik ketiga sejagat setelah Hawaii dan Tahiti,” jelas seorang pemuda yang duduk di sebelahku, yang kelihatannya tahu banyak tentang Mentawai. Kemudian kutahu bahwa ia seorang pemuda Mentawai, jadi aku tidak heran dengan berbagai keterangan yang disampaikannya. Ia menyebut bahwa biasanya, puncak kunjungan wisatawan berada di bulan Juli-Agustus, karena saat itu ketinggian ombak bisa mencapai tujuh meter. Di bulan-bulan inilah kompetisi berselancar tingkat nasional atau internasional kerap diselenggarakan. Lalu ia menyebut Pulau Nyangnyang, Karang Majat, Masilok, Botik dan Mainuk – nama-nama yang belum pernah kudengar sebelumnya – sebagai tempat-tempat berselancar terbaik, surga bagi para surfer.

Dari pembicaraan dengannya juga, aku diberi tahu bahwa hampir semua kebutuhan pokok di Kepulauan Mentawai ini disuplai dari Padang, mulai dari beras, sayuran, sabun, hingga pakaian. Ketika ia kutanya apa yang dihasilkan oleh bumi Mentawai, ia hanya menggeleng, lalu seperti tiba-tiba teringat sesuatu, ia mengucapkan ‘sagu’ dengan yakin. Aku segera membayangkan suatu tempat penuh rawa dan buaya. Dan kini, hanya tinggal beberapa langkah kaki saja, aku akan menginjak tanahnya.

“Selamat datang di Pulau Siberut, Martha!” bisikku pada diri sendiri.
Dari ketinggian di lantai dua kapal ini, pemandangan yang biasa tentang daerah-daerah pelabuhan terpampang. Beberapa gedung yang kokoh bersanding dengan rumah-rumah papan yang sangat rapat, sebagian berkolong laut dengan disanggah tiang-tiang yang tampak hitam berkilat tersapu air laut. Serakan sampah warna-warni menari-nari di permukaan dangkal air laut. Aktivitas para kuli angkut membongkar muatan kapal terlihat sangat sibuk. Orang-orang hilir mudik dengan memanggul sesuatu.

Aku menuruni tangga kapal, masuk dalam antrean penumpang yang sudah mulai sepi. Tadi aku sengaja berlama-lama agar terhindar dari kerumunan yang berdesak-desakan. Masing-masing berpacu dengan urusan  sendiri, seiring munculnya sinar keemasan sang mentari.
Di tempat keramaian ini, aku benar-benar merasa sendirian. Terasing. Seperti tercerabut dari bumi dan terlontar ke planet lain.

Kuamati sekeliling. Sejumlah warung menjual aneka makanan dan minuman. Tukang-tukang ojek bergegas menawarkan jasa. Beberapa ibu berjalan kaki dengan menggendong sejenis keranjang bambu untuk membawa barang. Ini pemandangan yang benar-benar asing, membuatku tersadar bahwa aku memang sudah ada di dunia yang lain. Sementara di kejauhan, beberapa anak berseragam sekolah berjalan kaki dengan bergerombol.

Sebenarnya aku ingin mengisi perut di salah satu warung itu. Namun, aku takut bila Tante Mindo datang dan ia tidak melihatku. Hanya dia satu-satunya orang yang kukenal di pulau ini. Ia adalah adik bungsu mamak-ku. Kuputuskan untuk menunggu di ruang tunggu pelabuhan. Toh, aku belum terlalu lapar. Kuhubungi ke ponselnya, namun tak tersambung. Kuperiksa laporan pesan yang kukirim hampir satu jam yang lalu, ternyata masih pending.
Benih kekhawatiran mulai berkecambah liar dalam benakku.

    “Mau diantar ke mana, Kak?”
    Seorang tukang ojek kembali menawarkan jasa, membuatku sedikit dongkol. Kurasa, ia orang keseribu tiga belas yang menawarkan jasanya. Namun, kusabarkan diriku. Mereka hanya mengerjakan pekerjaannya. Aku hanya merasa sangat tolol, karena bahkan tak tahu menjawab ke mana tujuanku. Tak satu pun nama daerah di pulau ini yang kutahu. Tante Mindo telah memintaku menunggu di pelabuhan, karena ia akan datang menjemput. Tapi kini, aku terdampar di sini. Lebih dari dua jam aku masih tak beranjak. Tak tahu mau ke mana. Tak bisa menghubungi satu-satunya orang yang kukenal.

    Kuputuskan masuk ke salah satu warung mencari sarapan yang kesiangan.
    Sambil mengisi perut, kucoba menghubungi nomor Tante Mindo berkali-kali. Tetap tak bisa tersambung. Lagi-lagi wajahku memerah ketika tak bisa menjawab pertanyaan pemilik warung yang menanyakan tujuanku. Hanya pertanyaan basa-basi sebenarnya, sekadar menunjukkan kepedulian kepada pelanggannya, namun ketidaktahuanku terkesan memamerkan kebodohanku di depan semua orang.

Jarum pendek di pergelangan tanganku sudah menunjuk angka sembilan.
    Aku tak boleh panik, tekadku. Aku teringat keterangan Tante Mindo yang memberitahuku bahwa hanya ada dua kapal dalam seminggu yang menyeberangi Selat Mentawai dari Padang ke Siberut, begitu juga sebaliknya. Jadi, kalaupun aku memutuskan untuk pulang saja, mungkin aku masih harus menunggu beberapa hari. Jadi, kubuang pikiran itu jauh-jauh. Tante Mindo tak mungkin menelantarkanku.
    Saat pikiranku berkecamuk dengan berbagai rencana darurat, ponselku berbunyi. Dari sebuah nomor yang belum terdaftar. Kuangkat segera, dengan harapan dapat memberi jalan keluar untuk masalahku.

    “Halo… ini Martha?” suara berat seorang lelaki terdengar.
    Aku mengiyakan cepat, sambil mengangguk-anggukkan kepala membuat beberapa orang memperhatikanku, tapi aku tak peduli. “Iya, iya… Siapa ini?”
    “Sekarang kamu ada di mana?” tanyanya.
    “Ini dengan siapa?” suaraku nyaris berteriak.
    “Saya yang mau jemput kamu! Kamu di mana sekarang?” katanya tegas.
    “Masih di Pelabuhan Siberut!”
    “Posisinya di mana? Dekat bangunan apa?”
    Aku berlari ke halaman dan membacakan nama warungnya keras-keras. Lalu seorang pemuda mendekatiku dengan tersenyum, masih dengan memegang ponsel di telinganya.
    “Hai, Martha. Anailoita!” katanya sambil mengulurkan tangan.
    Seperti terhipnotis, kusambut tangannya.
    “Saya Yunus Sarokdok. Ibu Mindo meminta saya menjemputmu karena beliau ada keperluan mendadak pagi ini!” katanya dengan tersenyum lebar tanpa rasa bersalah sama sekali, tentu saja membuatku kesal. Kalau saja hidupku tidak tergantung pada kehadirannya, rasanya sudah kumaki saja dia.
    “Ada barang yang perlu saya angkat?” tanyanya sok sopan di telingaku.
    Tanpa menyahut, kutinggalkan dia dan masuk ke warung, melakukan pembayaran dan mengangkat tasku. Dengan tergopoh-gopoh, ia nyaris merebut travel bag dari tanganku dan mengangkatnya. Masih dengan hati menggerutu, kuikuti langkahnya menuju sebuah sepeda motor yang diparkir tak jauh dari situ.
    “Selamat datang di Kepulauan Mentawai. Anailoita!” katanya, sambil mempersilakanku menaiki sepeda motor. “Oh iya, anailoita itu adalah ucapan salam khas kami orang Mentawai, sama seperti horas bagi kalian orang Batak,” jelasnya tanpa kuminta. Aku tetap tak berkomentar. Setelah menelantarkanku hampir tiga jam, lalu bermanis-manis seolah kau hanya terlambat lima menit, dan tidak ada permintaan maaf sama sekali, jangan harap aku bersikap manis untukmu, rutukku dalam hati.
    “Sudah bisa berangkat?” tanyanya memastikan.
    Kujawab dengan ‘ya’ singkat bernada ketus. Pemuda berlagak perhatian tak perlu diperlakukan ramah, pikirku. Rasa gundah dalam hatiku membuatku tak dapat sepenuhnya menikmati pemandangan alam yang membentang tersuguh di hadapanku. Ada pantai-pantai indah laksana sepotong surga yang masih tersisa di bumi, dengan lambaian-lambaian riuh daun nyiur, rerimbun pohon mangrove, lautan pohon pisang, dan daerah sepi tak berpenghuni. Segerombol  primata aneh kadang-kadang terlihat berjuntai di dahan-dahan lebat pepohonan yang kami lintasi. Berjuta tanda tanya di kepalaku menuntut jawaban, namun lidahku kelu. Nanti saja kutanyakan langsung kepada Tante Mindo, bukan kepada pemuda sok baik hati ini yang sedang membawaku entah ke mana.
***

    “Selamat datang, Sayang! Tante benar-benar minta maaf. Seharusnya Tante tidak membuatmu menunggu!” Sambil memberiku pelukan yang erat dan lama, Tante Mindo menunjukkan penyesalannya. Lalu ia menceritakan perubahan rencana mendadak yang harus dihadirinya. Katanya, ada lembaga asing yang tertarik meliput kegiatan mereka dan sudah membuat janji beberapa minggu yang lalu. Ia sudah mengatur tim perwakilan mereka sedemikian rupa, namun rupanya mereka mau supaya Tante sebagai salah satu perintis sejak awal juga hadir.

    Baiklah, akan kujelaskan siapa Tante Mindo itu. Seperti sudah kubilang, ia adalah adik bungsu mamak-ku. Usianya menjelang empat puluh tahun. Ia adalah ketua sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam mengadvokasi hak-hak penduduk lokal dan pemberdayaan masyarakat di kepulauan ini. Ia sudah hampir sepuluh tahun berjuang di sini bersama rekan-rekannya. Ok, itu saja yang kutahu tentangnya. Dan satu lagi, ia belum menikah.

Kuakui, dulu aku sangat dekat dengannya, dulu sekali. Aku masih berseragam putih merah saat itu. Aku memujanya sebagai mahasiswi yang cerdas dan kritis. Saat itu, aku membayangkannya seperti Putri Lopian, Srikandi dari Tanah Batak yang merupakan putri dari pahlawan nasional Sisingamangara XII yang akhirnya gugur di medan perang melawan penjajah Belanda. Sejak pertama aku membaca kisahnya di buku pelajaran sekolah, entah mengapa, aku langsung mengaitkannya dengan Tante Mindo. Mungkin karena ia sering membela dan melindungiku ketika anak-anak nakal menggangguku, bahkan kadang-kadang juga dari omelan Mamak. Ia juga suka mengkritisi sesuatu yang terjadi di sekelilingnya, sehingga saat itu aku menganggapnya pahlawan. Namun, seiring berjalannya waktu, juga ketika jarak membentang, kami makin jarang berkomunikasi.

“Tadi cerita apa saja dengan Yunus?”
“Enggak cerita apa-apa, Tan. Aku sudah sempat kesal duluan karena ia lama sekali baru muncul!” Suaraku masih ketus.
“Aduh, sekali lagi maafkan Tante, ya. Tante yang salah. Ada miskomunikasi dengan rekan tim. Ternyata Tante harus ikut acara tadi pagi. Jadi buru-buru Tante minta tolong Yunus menjemputmu. Dia sudah ngebut, lho, biar kamu enggak lama menunggu. Tante tidak bisa menghubungimu karena tadi di sana tak ada sinyal HP. Jadi itu bukan salah Yunus.”
Penjelasan Tante membuatku merasa bersalah. Pastilah ia mengira aku orang paling tak tahu berterima kasih sedunia.
“Yunus sebenarnya punya jadwal juga tadi pagi, tapi ia bersedia mengundurnya demi menjemputmu,” lanjut Tante.
Hatiku makin kacau. Aku berutang maaf padanya.

***

Ternyata, aku belum sungguh-sungguh mengenal Tante Mindo. Makin aku mengenalnya,  makin banyak hal yang belum kutahu tentangnya. Obrolan malam seusai santap bersama makin menjejali benakku tentang dirinya, pendiriannya, dan cita-citanya. Namun, ia memintaku tidak terlalu banyak bercerita dulu karena masih lelah dalam perjalanan. Toh, kami akan menghabiskan belasan hari bersama-sama. Kami hanya mengenang masa lalu dan berbincang tentang keluarga. Saat aku meringkuk ke dalam selimut yang hangat, aku masih saja berpikir tentangnya.

Pagi ini, aku turut ke kantornya. Aku ingin melihat bagaimana kesehariannya. Rupanya ia telah menarik simpati banyak tokoh terkenal di negeri ini. Beberapa foto dan kliping berita yang dipajang di dinding membuat mataku terbelalak. Ada beberapa liputan media cetak mengenai kegiatan mereka, baik media lokal maupun nasional.
“Ternyata, Tante sudah seperti selebritas!” gumamku sambil mengamati foto-foto itu. Ia hanya tersenyum, seolah itu bukan sesuatu yang besar.

“Kenapa Tante enggak pernah cerita?” tanyaku bernada protes.
“Untuk apa? Masa Tante harus membangga-banggakan diri seolah-olah semua ini hanya jerih payah Tante sendiri. Ini kerja tim. Dan kami berjuang bukan untuk popularitas. Kalaupun akhirnya ada media yang datang meliput, kami anggap saja mereka sebagai corong kami kepada khalayak yang lebih luas untuk membuka mata terhadap apa yang sedang kami perjuangkan. Bahwa ada orang-orang yang hak-haknya terampas di depan mata, tetapi banyak orang tidak menyadarinya, atau tidak mau tahu. Kalau bukan kita yang memperjuangkan saudara sendiri, siapa lagi?” tanyanya bernada retoris.

Sosok Srikandi Tanah Batak yang sudah lama nyaris kulupakan itu tiba-tiba seolah bernyawa kembali. Barangkali karena kisah itu berakhir tragis menjadikannya terpatri kokoh dalam ingatanku. Putri Lopian tertembak dalam sebuah peperangan sengit melawan penjajah Belanda di Tanah Batak sana. Tubuhnya bersimbah darah. Lalu ayahnya, Raja Sisingamangaraja –yang gambarnya kemudian diabadikan dalam lembaran uang bernilai sepuluh ribu rupiah– berlari dan memeluknya dengan penuh kasih, tanpa memedulikan akibatnya.

Raja sakti itu kebal dengan berbagai senjata, pun peluru. Konon, ia dapat menghilang bahkan hanya di balik selembar daun. Namun, ia pantang terkena darah. Ia akan kehilangan semua kekebalannya. Lalu, ketika ia menenggelamkan putrinya ke dalam pelukannya, peluru-peluru itu pun bersarang di tubuhnya. Ia mati bersama Sang Putri, lalu menjadi kenangan.

Begitulah yang dikisahkan orang-orang tua pada kami semasa kanak-kanak. Begitulah juga yang kubaca. Dulu. Dan saat itu, tiap kali nama Putri Lopian disebut, bayangan Tante Mindo menari-nari dalam pikiranku. Jadi tiap kali aku melihatnya, kadang-kadang aku bahkan tak bisa membedakan keduanya. Hanya saja, aku selalu berharap hidupnya tidak akan berakhir dengan luka dan derai air mata.

Sekarang, sosok pejuang yang ada di hadapanku ini makin menjelmakan realitas itu. Ada hak-hak yang terampas yang perlu dipertahankan. Keterbelakangan yang perlu dirangkul dan diberi kesempatan untuk maju serta menentukan langkahnya sendiri. Ada kemerdekaan yang perlu diperjuangkan. Mendampingi yang lemah dan terpinggirkan. Bersuara bagi orang-orang bisu. Menjadi kaki bagi si timpang, mata bagi si buta, telinga bagi si tuli. Setidaknya, itu yang dituliskan dalam ulasan-ulasan di berbagai media itu. Begitulah mereka memandangnya. Dan dadaku buncah dengan sukacita melihatnya. Karena seseorang tidak perlu mati dulu untuk menjadi pahlawan. Ia sedang menghirup udara yang sama denganku, menempati ruangan yang sama juga. Dan aku bangga mengenalnya.

“Kamu kenapa, Mar?” Tante Mindo menatapku heran.
Aku seolah terjaga. Ini bukan mimpi. Tiba-tiba saja aku bangkit dari tempat duduk dan memeluknya erat. “Saya bangga pada Tante!” ujarku terbata, menahan tangis. Ternyata, aku masih memujanya. Tepatnya,  makin memujanya.
“Kamu kenapa, sih?” Ia menepuk-nepuk punggungku, lalu membenahi rambutku. “Kenapa?” tanyanya lembut sambil berusaha memandang wajahku.
“Pokoknya, Martha bangga sama Tante!” sahutku, tersenyum, membiarkannya makin kebingungan.
***

Ponselku bernyanyi menandakan ada panggilan masuk. Sambil menduga-duga siapa yang menelepon, aku meraih benda yang tergeletak di atas meja kamarku. Aku merasa lega saat membaca nama yang terpampang di layar monitor.
“Martha, kamu ada di mana?” suara cemas seorang ibu terdengar di seberang. Tanpa salam atau basa-basi.
“Eh, Mamak. Apa kabar, Mak?”
“Jawab Mamak dulu! Kamu di mana?”
“Aku ada di Mentawai, di tempat Tante Mindo! Memangnya kenapa, Mak?”
“Ah, kamu ini. Kenapa enggak bilang-bilang kalau kamu mau ke sana? Kalau ada apa-apa di jalan, bagaimana? Lagian, mengapa harus ke tempat tantemu? Seperti tidak ada tempat lain saja!” Nada suaranya mulai menurun, pertanda ia telah merasa lebih lega, sekaligus dongkol karena tidak dikabari. Dasar orang tua, masih saja menganggap anak gadisnya ini seperti anak TK yang harus dikhawatirkan akibat terlambat pulang karena keluyuran sepulang sekolah.
“Mamak tahu dari mana kalau Martha sedang pergi?”
“Bintatar jauh-jauh datang dari Medan ke kampung kita hanya untuk mencarimu. Kalian bertengkar, ya?”
Nama itu membuatku tiba-tiba menjadi sesak.
“Dia sangat mencemaskanmu. Kalau ada masalah, dibicarakan baik-baik, bukan malah melarikan diri enggak jelas begitu. Nanti bisa terbawa-bawa kalau sudah menikah. Dikit-dikit lari, dikit-dikit lari. Itu tandanya, kamu kurang dewasa menghadapi masalah… bla… bla... bla….”
Kuhela napas panjang. Di mata Mamak, laki-laki itu adalah calon menantu idaman yang sangat mencemaskan dan mencintai putrinya. Lelaki itu memang sudah beberapa kali berkunjung ke kampung kami. Ketika Mamak dan Bapak juga ke Medan, ia selalu berusaha menemui mereka. Di mata mereka, ia adalah lelaki sempurna. Tak heran kalau mereka ada di pihaknya.
“Mak, sekarang posisi Mamak ada di mana? Di ruang tamu atau…?” suaraku nyaris berbisik.
“Kenapa dengan suaramu? Sinyalnya buruk, ya, di sana? Mamak ada di rumah, dengan bapakmu!”
“Martha mau tanya sesuatu. Tolong HP-nya tidak pakai speaker, Mak!”
“Apa? Kok, tidak jelas suaranya? Ini Bintatar mau bicara dulu samamu.”
Mamak pasti tidak bisa menangkap isyarat dalam nada bicaraku. Tiba-tiba saja pemilik suara di seberang sana sudah berganti.
“Halo, Martha…!” suara berat lelaki itu laksana gemuruh di dadaku.
Aku menekan tombol merah di ponsel, memutus percakapan. Aku tidak siap mendengar apa pun dari mulutnya.(f)





************
Hembang Tambun
Pemenang III Sayembara Mengarang Cerber Femina 2015




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?