Fiction
Matahari Matahari [7]

1 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Agung tersenyum. Dari keramahtamahan Bayu, terlintas di pikirannya, pria itu bukan pria yang punya niat buruk. Kemungkinan dia memang hanya punya satu tujuan, kenapa dia berani meminta kembali wanita yang pernah dilepaskannya dulu: cinta.

“Tidak. Tidak. Kita tidak saling kenal, kau juga tidak menjatuhkan sesuatu, kata Agung.

“Kau berkunjung untuk Matahari Rahayu Putri atau bundanya?

Tertembak langsung, Agung melempar senyum terkulum.

“Aku pernah melihatmu di kafe itu, ketika menemui Ati. Aku ingat penampilan ala insurance head consultant-mu. Jas perlente dan senyuman marketing.

Itu sinisme, batin Agung. Jelas Bayu mulai terbakar cemburu dan mulai kehilangan kontrol terhadap diksinya.

“Aku bukan datang untuk keduanya, apalagi untuk maksud yang kurang berkenan.

“Apa Ati tahu kau berkunjung?

“Tentu. Kami diskusikan segalanya dengan terang-terangan.

Suasana menegang, ketika keduanya secara implisit berusaha menunjukkan siapa yang punya pengaruh lebih kuat satu sama lain.

“Lucu juga. Kalau kau mendiskusikan semuanya secara terang-terangan, tentunya kau bisa menanyakan alamatku dari Ati dan berkunjung pada jam-jam ketika orang bekerja sepertiku sudah berada di rumah, ‘kan? Bukannya repot-repot mengikutiku?

“Kau bisa meneleponnya, tantang Agung. “Aku yakin kau masih punya nomornya, ‘kan?

Tentu saja Bayu tidak mengikuti saran Agung, dia sadar benar ini urusan antarpria.

“Lalu? tanyanya, menunggu Agung selesai menyulut. “Apa yang bisa kulakukan untukmu?

“Entahlah, jawab Agung. “Aku sendiri kurang paham maksudku kemari. Aku cuma kebetulan melihatmu dan berpikir untuk berkunjung. Mungkin untuk menyelesaikan apa yang belum kau selesaikan dengan calon pengantinku.

Air muka Bayu berubah.

“Aku tahu, aku seharusnya tidak ikut campur.

“Kelihatannya kau sudah salah tangkap, Gung. Boleh kau kupanggil begitu?

“Tentu saja. Apa saja.

“Aku tidak perlu menceritakan apa yang terjadi di antara kami tujuh tahun yang lalu, bukan? Karena kalian berdua mendiskusikannya secara terang-terangan, bukan?

Ini sindiran yang cerdas, Agung terus-menerus menilai. Bayu sedang mencoba menunjukkan betapa dia lebih unggul dalam segi nostalgia dan bahwa dia bukan pribadi yang mudah diusir dengan kunjungan baik-baik sekalipun.

Namun, Agung menenangkan hatinya. Dia yang sudah memenangkan cinta Ati sampai detik ini. Persetan dengan masa lalu.

“Asal kau tahu, sebagai manusia yang sama-sama dewasa, kami sudah menyelesaikan entah apa yang kau maksud dengan ‘apa yang belum kami selesaikan’ itu. Sebaliknya, kami sudah membaliknya dengan lembaran baru. Tanpa muatan masa lalu.

Kali ini air muka Agung berubah. Dia bisa menghadapi penyangkalan-penyangkalan Ati terhadap kehadirannya dengan mudah, tapi entah kenapa, dia merasa kehadiran Bayulah yang mengancamnya.

Tiba-tiba saja, seperti berada di kerumunan orang asing dan mendadak entah dari arah mana, sekepal tinju mendarat di batang hidung. Agung kesulitan mengembalikan telapak kakinya kembali memijak tanah.

“Agak mengejutkan menerima kunjunganmu, Gung. Seingatku, Ati tak pernah menyebut-nyebut mengenai menikah dengan seseorang, kecuali bahwa bundanya tak pernah menyerah memperkenalkannya dengan pria yang salah.

“Mungkin sebaiknya kau bertanya. Masa kau tidak tahu? Dalam beberapa hari saja, aku bisa tahu karakternya yang pasif. Terlebih, kelembutan hatinya yang tak pernah ingin melukai orang lain.

Ini sudah bukan kunjungan sehat antarpria. Ini lebih mirip dengan perdebatan antara dua orang wanita yang sibuk memperebutkan cinta, tanpa tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh trofi yang mereka perebutkan.

Wanita di ambang 58 tahun itu terpaku pada jendela yang membingkai anak laki-laki dan suaminya di ujung senja, bercengkerama di kursi taman. Semua itu membuatnya tersadar anugerah Tuhan sudah tercurah tak terkira.

Begitu tinggi keinginannya untuk membuat buah hatinya sebahagia dirinya dan suaminya; bersanding dan berbuah hati pula. “Tuhan pasti punya rencana yang indah, As.... Itu yang selalu dibisikkan suaminya, hampir setiap kali dia menangisi dua buah hatinya yang tetap sendirian tak berpendamping.

“Bintang itu seperti dirimu. Kau juga pasti tak akan menikahi siapa pun, kalau kau tidak menikahiku. Dan Ati itu sepertiku. Aku juga tidak akan menikahi siapa pun, kalau aku tidak menikahimu, kata suaminya penuh cinta, setiap kali pula dia menangisi kisah cinta dua buah hatinya.

Bintang yang kehilangan kekasihnya dalam sebuah kecelakaan dan Ati yang harus menerima kekalahan telak, justru dari seorang anak yang dicintainya sama rata. Penyesalan-penyesalan yang membuatnya merasa pilu, karena kebahagiaannya 30 tahun ini, seperti harus dibayar mahal oleh penderitaan buah-buah cintanya.

“Asmiranda! Bersihkanlah hatimu dari dendam!

Itu pertama kalinya Hendrawan membentak istrinya.

“Apa kau tak sadar dendammu itu memberatkan kedua anakmu? Menjauhkan mereka dari restu Tuhan!

Tuhan tak akan merestui kebahagiaan atas Bintang dan Ati, jika kau tak merestui mereka. Kenapa tak kau biarkan saja semua berjalan secara alami? Kematian Sofie ini mungkin amanat. Mungkin, Tuhan hanya mengizinkan Bayu yang bersama Ati. Kita cuma manusia, bukan lagi orang tua yang harus melindungi anak-anak yang sudah dewasa. Tugas kita sudah selesai! Kita hanya boleh melihat, As.... Relakanlah Bayu menjadi kebahagiaan bagi Ati.

Tidak akan pernah.

Air mata wanita itu menetes. Pilu hatinya, nyeri yang meradang itu belum pernah pupus sekali pun. Ia tak pernah sembuh, bagaimanapun ia tahu bahwa Ati ternyata sudah sepenuhnya pulih.

“Apa kau tidak sakit hati pada nasib anak-anak kita? tanyanya suatu hari pada suaminya.

“Sakit hati pada nasib sama dengan menggugat Tuhan. Aku tidak berani.

Asmiranda terdiam, dia juga sama tak beraninya.

“Tapi, sangat sulit menerima semua ini.

“Aku merasakan kesulitan yang serupa. Aku hanya tak mau anak-anakku merasa lebih kesulitan lagi, kalau mereka harus menerima beban berat, karena aku tak bisa melupakannya.

Dia selalu merasa Hendrawan berbohong. Kalau Hendrawan yang mengandung Bintang dan Matahari, dia tak akan sanggup merasa tidak berani sakit hati terhadap nasib mereka.

“Bunda....

Wanita itu terenyak. Entah sejak kapan Bintang sudah berdiri di belakangnya. “Bunda kenapa?

“Nggak apa-apa. Sana suruh Bapak masuk. Ini sudah hampir malam, nanti dia batuk lagi....

“Bapak minta aku manggil Bunda. Katanya, dia mau Bunda yang gandeng Bapak masuk. Anggrek bulan Ati ngembang, Bunda. Bapak bilang ini pertanda bagus.

Asmiranda mengangguk dan menjemput suaminya.

“Anggrek bulan ini sudah lama nggak ngembang. Aku pikir sudah mati, kata Hendrawan. Sakit paru-paru telah merampas daya tahan tubuh dan melemahkan suaranya. “Aku tetap merawatnya, karena aku tahu Ati selalu menengok dan menanyakan keadaannya, setiap kali pulang. Kau teleponlah dia. Dia pasti senang kalau tahu anggreknya ngembang lagi.

Asmiranda hanya menatap nanar pada setangkai anggrek dengan kuncup-kuncup bunga mungil yang sedang ditimang suaminya. Tak terasa, air matanya meleleh dan ia sudah terbenam dalam dada Hendrawan.

“Aku tak tahu harus berkata apa lagi.... Aku tak mau menggugat siapa pun. Apalagi, Tuhan.... Kalau ada yang bisa kulakukan untuk membuat Bintang dan Matahariku bahagia....

Malam mulai turun membayangi langit. Hendrawan menggandeng Istrinya masuk ke dalam rumah.


Penulis: Ratih Tri Widowati



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?