Fiction
Matahari Bupalo [3]

16 Mar 2012

<<< Cerita Sebelumnya

Senyum samar di wajahnya dan tarikan kedua alisnya yang sekilas kutangkap, seakan mengisyaratkan kalimat menggoda: “Selamat datang di Buru….

Aku, mau tak mau, balas memaksa senyum. Tapi, detik itu juga, aku tahu ke mana dia berpihak.

“Baru kemarin malam saya tiba di sini.” Aku melirik jam dinding di belakangku dengan dramatis. “Belum 48 jam. Jadi, jelas bohong besar jika saya bilang sudah tahu banyak soal Buru. Tidak. Anda semualah yang paling tahu. Termasuk soal politik, terutama politik lokal di Buru, Andalah yang lebih tahu.”

Kutinggalkan kalimatku menggantung untuk mencari tahu sejauh mana kesinisan mereka berujung. Dan, kutatap seisi ruangan. Seluruhnya 12 orang, pria semua, tapi hanya akan ada 3-4 orang penggugat, salah satunya pendeta tadi. Sisanya masih terjebak dalam keterperangahan akan feminismeku. Tipe-tipe yang mestinya lebih mudah kutaklukkan.

“Lalu... dengan pemahaman nol seperti itu, apa kira-kira yang akan An­da lakukan?”

Nah, pendeta itu mulai lagi, langsung menohok ke ulu hati.

Aku tersenyum kecil, dan menyahut ringan tanpa beban, “Bekerja sama dengan Anda semua tentunya.”

Maka, dengung unggas liar yang tadi siang kudengar di semak-belukar Savanajaya, seperti dipindahkan ke ruangan ini. Mereka saling pandang dan separuh menjerit histeris.

“Kerja sama katanya? Sementara katong (kami) semua di sini peras keringat memenangkan Ibu Hajah, dia cari-cari kerja sama! Orang macam apa yang Ibu Hajah bawa jauh-jauh dari Jakarta ini? Kerja sama!” Rentetan kalimat itu melompat berebutan, seperti diucapkan puluhan orang sekaligus.

“Bapak-bapak yang terhormat,” suaraku lebih bulat kini, dan seketika mengusir dengung unggas imitasi tadi ke kandangnya. “Kita berkumpul di sini pasti dengan satu tujuan: mengantarkan kandidat kita menjadi bupati. Tentu, itu bukan pekerjaan mudah. Bahkan, Hillary Clinton yang memiliki suami mantan presiden, tetap membutuhkan dukungan tim kerja untuk bisa merebut kursi yang pernah diduduki suaminya. Dan, tim tersebut hanya dapat mewujudkan rencana besar Hillary, apabila mereka bekerja sama….”

“Kerja sama sudah katong lakukan sebelum Nona datang ke sini!” seorang pria berjenggot tebal (yang belakangan kutahu anggota DPRD aktif yang siap membelot) – menggeram dari barisan depan. “Nona pikir, bikin apa tiap hari katong di sini? Cuma duduk-duduk minum kopi?”

“Bukan kerja sama seperti itu yang dimaksudkan Rianti,” Hajah Nur menyela tepat disaat kubutuhkan. Aku akan masuk ke bagian sensitif, dan memang lebih baik jika dia yang bicara. “Kalian semua datang dari kalangan berbeda, latar belakang berbeda, golongan berbeda, juga partai yang berbeda-beda. Rianti sengaja saya hadirkan di sini untuk menyempitkan perbedaan itu, bahkan menyatukannya jika dapat.”

Beberapa pasang mata lang­sung menghujamku, seakan sepakat me­ngecam: “Wanita kota seperti itu? Apa yang bisa dia lakukan?”

“Itu tadi bahasa versi Ibu Hajah tentang peran saya di sini,” aku segera menambahkan, ikut menyebut ’Ibu Hajah’, yang kian kuyakini memang menyimpan jiwa pemimpin. “Bahasa saya sendiri jauh lebih sederhana: kehadiran saya adalah untuk melengkapi apa yang sudah Anda rintis sebelumnya. Sepengalaman saya berorganisasi, ketika kita datang dari latar belakang berbeda, maka masing-masing orang atau golongan lebih ingin mendahulukan kepentingan masing-masing. Dalam forum kita, kecenderungan itu tidak boleh tejadi. Kenapa? Karena, objek kepentingan kita adalah Ibu Hajah. Beliaulah yang paling penting dan yang harus kita dahulukan.”

“Soal itu katong juga sudah lebih du­lu tahu!” seorang pria paruh baya, yang ternyata berprofesi sebagai dosen sekaligus aktivis partai, mendengus.

“Betul. Tapi, belum banyak yang tahu ketika harus mengaplikasikannya.” Kutembus sepasang matanya yang keras dengan tatapan lunakku. Senioritasnya pasti terusik, karena mengira aku mencoba mengguruinya. “Saya punya sedikit cerita ketika membantu kampanye Gubernur Jakarta beberapa waktu lalu.”

Ini jelas bohong. Aku tidak ikut terlibat dalam kampanye itu, namun aku intens mengamati dan sempat beberapa kali berdiskusi dengan tim sukses mereka. Ketika itu sang calon gubernur didukung oleh belasan partai, yang kuyakini berjalan sendiri-sendiri. Tanpa komando, tanpa koordinasi. Bukan berarti tak ada yang mengatur. Namun, dominasi dan arogansi masing-masing partai, yang merasa bahwa sang calon bisa lolos verifikasi karena jasa mereka, menjadikan strategi berkomunikasi yang sudah disiapkan porak-poranda.

Maka, atribut kampanye sang calon yang belakangan muncul di setiap sudut Jakarta, terlihat belang-bonteng; lebih banyak mengedepankan identitas partai daripada jati diri kandidat tersebut.

Hasil poling kecil yang saat itu kulakukan dengan beberapa rekan, menyimpulkan: masyarakat bingung memahami eksistensi calon gubernur. Kalaupun akhirnya dia berhasil juga memenangkan pertarungan, itu lebih karena kekuatan karisma calon itu sendiri, bukan hasil kerja keras partai-partai yang mendukungnya.

Sebagai pembelajaran politik, kupikir, tak salah jika kukutip peristiwa itu di hadapan Hajah Nur dan tim suksesnya. Bukan dosa juga kalau aku berakting seolah-olah aku terlibat langsung di dalamnya.

“Menurut kalkulasi politik waktu itu, gubernur terpilih itu juga diuntungkan. Karena, dia hanya berhadapan dengan satu lawan yang kebetulan didukung oleh satu partai. Itu pun dengan kemenangan amat tipis. Bayangkan jika dia harus berhadapan dengan empat kandidat lainnya, seperti yang saat ini dihadapi Ibu Hajah. Bisa jadi perolehan suaranya akan terpecah ke kubu-kubu lain.” Aku menutup uraianku dengan kalimat yang kurasa paling persuasif yang malam itu dapat kuucapkan: “Saya kira, kita semua tidak ingin Ibu Hajah mengalami nasib serupa itu.”

Ketiadaan suara buat beberapa saat dari para peserta rapat, memungkinkanku untuk buru-buru menghidupkan laptop. Harus segera kualihkan fokus perhatian mereka, sebelum ada serangan balik yang akan meluluh-lantakkan aku.

“Dan, saya sudah mencoba membuatkan semacam struktur organisasi, lengkap dengan deskripsi tugas untuk kita semua.”

In-focus kecil yang kubawa dari Jakarta langsung menyala terang-benderang merayapi dinding.

“Tentu saja ini masih berupa usulan, dan silakan Anda sekalian melengkapi. Tapi, poin terpenting yang ingin saya sampaikan adalah: kalau ada yang mengira bahwa saya akan memimpin tim kerja ini dan mengambil-alih posisi Anda masing-masing, itu pemikiran yang sa­ngat keliru. Sebab, seperti Anda lihat,” laser penaku menunjuk struktur organisasi di dinding, “Tidak ada nama saya di sini. Tidak ada.”

Semua mata bergerak ke satu arah, mengikuti arah laser penaku. Memang tidak ada namaku di sana. Beberapa orang memperlihatkan mimik tak mengerti, tapi lebih banyak yang tampak berwajah lega.

“Seng ada yang bertanya. Kenapa?” Hajah Nur justru yang kembali mencoba menengahi kebekuan. “Jawabannya: karena Rianti adalah konsultan pribadi saya sebagai calon bupati. Bukan konsultan tim sukses atau konsultan koalisi partai yang akan mengusung saya. Tapi, karena objek dari semua kerja besar ini adalah saya, Hajah Nur, maka menjadi bagian dari tugas Rianti untuk mengawasi dan berkoordinasi langsung dengan Anda semua. Beliau akan menjadi penasehat saya, perpanjangan tangan saya, sekaligus menjembatani saya dengan Anda.”

“Tapi, kenapa harus orang asing? Kenapa bukan salah satu dari katong saja?” anggota DPRD itu masih belum puas juga.

“Pertanyaan bagus. Tapi, jawabannya sederhana: karena orang asing ini sangat profesional dalam mengatur strategi berkomunikasi dan berorganisasi. Pengalaman beliau luas, ilmunya banyak. Tapi, yang paling penting lagi, karena beliau orang asing, beliaulah satu-satunya orang yang paling dapat bersikap netral di ruangan ini. Tidak berpihak, juga tidak partisan seperti kita semua.”

Dengung gumam kini terdengar lebih ringan dan ramah. Pasti sebutan beliau yang diucapkan Hajah Nur berulang-ulang berpengaruh sangat besar pada mereka. Tak seorang pun di ruangan ini pernah ia panggil serupa itu. Aku sendiri merasa risih, sekaligus terhormat.

“Jadi, bagaimana?” Hajah Nur rupanya tipe orang yang tak ingin menggantung persoalan. “Apakah kita bisa sepakat dan berhenti mencurigai kehadiran Nona Rianti di forum kita? Aju­kan keberatan sekarang kalau memang ada, sebab saya tidak ingin soal ini berlarut-larut.”

Tak ada gumam, bahkan dengus napas. Kuangkat kepala, menentang semua pandang di hadapan. Tentu menggelikan kalau malam ini juga aku harus membenahi kopor dan terbang ke Jakarta. Kalah sebelum bertarung?


Penulis: Djoenaedy Siswo Pratikno


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?