Fiction
Masa yang Hilang [3]

27 May 2012

<< cerita sebelumnya

Saat itu, kupikir tak ada cara lain, selain menghindar bertemu dengan pria hidung belang itu lagi. Dan, aku pun menceritakan masalah ini pada teman pria yang kebetulan memang sedang bertugas di Makassar.

”Sorry, namamu yang langsung terlintas di benakku, De. Aku nggak bermaksud menjerumuskan. Aku cuma ingin keselamatan jiwaku kembali terjamin.” Begitu bunyi SMS-ku pada Ade, yang sebenarnya sudah punya kekasih. Aku hanya ingin ia berpura-pura menjadi kekasihku.

”Nggak apa-apa, kok. Mana nomor teleponnya? Biar aku beri tahu dia. Akan kulabrak dia!” Begitu Ade menjawab.
Awalnya, aku menolak memberikan nomor pria itu. Tapi, dalam hati aku ingin sekali memberikannya. Setelah kupikir-pikir, aku pun memberikan nomor itu pada Ade. Jelas sekali apa yang kuharapkan dari sikap Ade yang emosional.

Bukan saja mendengar laporan Ade yang telah melabrak pria itu, tapi adanya rasa bahagia, ketika seorang pria, dalam hal ini Ade, melakukan sesuatu untukku. Dalam laporannya di hari Jumat siang, ia telah mengancam pria hidung belang itu. Sikapnya itu kuanggap sebagai sikap pria yang menawarkan sebuah perlindungan untukku. Sebuah tindakan yang belum pernah diberikan pria mana pun untukku. Sikap rapuh yang baru kurasakan dan dulu selalu kuhindari ini ternyata menimbulkan sedikit rasa senang. Sesekali membiarkan dan memercayai seseorang untuk melakukan sesuatu untukku, rasanya ide yang sangat bagus.

Di hari Jumat yang sama, pria hidung belang itu pun meminta maaf dan berjanji tak akan menggangguku lagi. Bagus.

”Maaf, ya, kalau teman dekatku bersikap agak kasar. Dia memang emosional. Begitulah sinergi antara dia yang pemarah dan aku yang selalu mengalah.” Begitu bunyi SMS-ku, yang pertama dan terakhir, pada pria hidung belang itu. Ha... ha...ha.... tertipu dia!

Semua kenangan itu telah lama hilang dalam ingatan, hanya sesekali datang, kala aku sengaja ingin mengingat masa lalu. Ya, aku memang tak ingin mengingat-ingat masa lalu. Sama halnya dengan keenggananku mengingat nama Ade, yang telah kuprediksi akan pergi dari perusahaan, kemudian menghilang sama sekali selama berbulan-bulan, lalu suatu hari tiba-tiba menghubungiku, hanya karena memintaku mencarikan nomor ponsel beberapa manajer di perusahaan kami untuk keperluan bisnis. Bahkan, ia tak ingat untuk menanyakan kabar dan keadaanku.

Aku tahu, Ade memang telah memiliki kekasih. Namun, perilaku sok manis dan sok pedulinya padaku, kini membuatku berpikir, betapa menggelikannya posisiku dulu, yang dari kacamataku sekarang, hanya melihat diriku sebagai wanita wanita pengisi kekosongan, selama ia bekerja jauh dari sang kekasih.

Jadi, siapa pun yang menarik perhatian Ade di kantor, tak masalah. Sialnya, pada saat itu, mungkin akulah yang menarik perhatiannya. Kebetulan, kami sama-sama tinggal di Bogor, sehingga memliki kesempatan untuk banyak bicara dan mengenal pribadi masing-masing. Ia bertanggung jawab akan perasaan dan harapan yang tumbuh karena sikapnya yang berlebihan padaku.

Kali ini aku dapat berangkat lebih santai. Mungkin, karena pada hari Kamis kereta biasanya tak begitu sesak oleh manusia, entah kenapa. Dan, buku ratusan halaman yang sama dengan hari-hari sebelumnya, kembali siap kubaca.

Baru kubaca selembar saja, tiba-tiba aku menemukan wajah anak SMA yang kemarin. Kini ia duduk di samping kananku. Gatal juga rasanya ingin menyapa pria muda ini. Perasaan tak pantas ini seharusnya tak kumiliki, andai saja wajahnya tak mengingatkanku pada sesuatu.

Bukan, bukan seseorang, tapi sesuatu. Ia mengingatkanku akan masa yang tak pernah kunikmati sama sekali. Ia mengingatkanku akan jenis teman-teman pria di SMA dulu, yang selalu sulit kugapai. Tampan, manis, cute, keren, atau apa pun istilahnya. Aku jadi sering tertawa geli jika mengingat impianku mendapatkan seorang kekasih. Saat itu penampilan menjadi kriteria utamaku.

“Jonathan, Mbak.”

Aku menatapnya bingung. Tiba-tiba saja ia mengulurkan tangannya, mengajakku berkenalan. Uluran tangan itu kusambut ragu. Kutatap wajahnya yang tampan dan bebas dari jerawat.

“Mbak siapa?” tanyanya.

“Young,” jawabku, singkat.

“Mbak kerja di mana?”

“Jakarta.”

“Di daerah mana?” tanyanya, ingin tahu.

“Di Kuningan Barat.”

Ia tampak berpikir keras dan akhirnya menggeleng, karena tak tahu lokasi tempatku bekerja.

Banyak sekali pertanyaan yang terlontar dari kami berdua. Seolah, kami sama-sama telah bertahun-tahun memendam rasa ingin tahu.

“Pacar Mbak kerja di Jakarta juga?”

“Oh, enggak....”

“Oh....”

“Enggak, aku enggak punya pacar,” jawabku, spontan.

Tapi, tunggu dulu, dia bertanya tentang pacar? Sudah lebih dari 5 kali aku mendapat pertanyaan serupa dari 5 pria asing yang kutemui di kereta. Bedanya, pria-pria itu berusia lebih tua atau seusia denganku. Persamaannya, pertanyaan itu memiliki asosiasi yang sama persis. Orang yang menanyakan hal tersebut pastilah tertarik akan statusku, atau, lebih dalam lagi… ia tertarik dan ingin melakukan pendekatan padaku.

Tapi, seorang anak SMA menanyakan hal itu? Apa ia tertarik padaku? Mana mungkin? Apa aku tidak terlalu tua untuknya? Herannya, mengapa aku harus memberi tahu bahwa aku tak memiliki kekasih? Jangan-jangan, aku jatuh hati pada anak SMA ini. Kasihan sekali aku. Ya, aku mulai mengasihani diriku akan keadaan ini. Rasanya, aku makin terpuruk.

“Young, turun di Cawang saja, yuk. Bareng aku,” kata Jonathan, dengan sikap yang lebih akrab, di lain hari. Merasa sudah akrab, ia tak lagi menggunakan sapaan ’mbak’. Tapi, aku tak keberatan, karena aku jadi merasa seumur dengannya.

“Nanti aku sulit cari bus. Kalaupun dapat, aku pasti berdiri.”

“Ya, sudah, aku turun duluan, ya. Nanti, pulangnya kita bareng, ya,” katanya.

Entah ia suka padaku, entah ia tahu betul bahwa aku suka padanya dan sedang membuatku gede rasa. Tentu saja, aku jadi bisa merasakan apa yang dirasakan Demi Moore, ketika mendapat rayuan pria muda tampan seperti Ashton Kutcher.

Aku menceritakan hal yang menurutku sangat aneh itu pada semua rekan kerjaku. Yang lebih aneh, tak ada yang menertawakan aku.

Sudah jelas aku tak pernah suka pria yang usianya jauh di bawahku. Bahkan, aku tak pernah menganggap mereka ada. Ketika sekolah, yang kupandang hanyalah teman satu angkatan dan para senior. Aku juga begitu menikmati masa-masa ketika aku dan seluruh teman seangkatan menjadi pusat perhatian kala penggojlokan atau selama setahun pertama kuliah.

Maka, aku benar-benar kesal ketika aku harus menjadi senior bagi anak-anak baru, yang dengan mimik manja, menggelayuti tanganku, meminta tanda tangan, sambil merendahkan diri, mengucap kalimat wajib, “Pagi, Boss, boleh kenalan?”

Bukan karena aku anak bungsu, bukan karena aku haus perhatian. Tapi, karena aku cemburu akan semangat muda yang mereka miliki. Aku iri karena waktu-waktu yang pernah kumiliki, telah diambil alih oleh mereka. Jadi, aku tak bisa memahami diriku sendiri, jika sekarang aku bisa menerima dan dengan sengaja mendekatkan diri pada seorang anak SMA, yang pengalaman dan ilmunya masih sangat hijau.

Tentu saja, aku tak bisa membicarakan sebuah visi akan masa depan dengan Jonathan. Baginya, yang penting, ia punya uang saku dan bisa menghabiskannya untuk membeli sepatu baru. Aku tak dapat mendiskusikan masa perkuliahanku, hidup bersama teman-teman yang cukup egoistis dan individualis. Karena, bagi Jonathan, teman adalah teman, teman main basket, yang tinggi badannya tak kurang dari 178 cm, teman main PlayStation, dan teman yang bisa diajak membaca komik sampai berjam-jam di sebuah toko buku. Ia belum merasakan kuliah, belum juga merasakan bekerja sebagai suatu aktualisasi diri dengan segala rutinitas yang sangat menantang, sekaligus menjemukan.

“Young, aku berkenalan dengan seorang pria di kelasku. Sama-sama mengambil Master of Communications. Aku iseng bercerita tentang kamu. Kamu mau nggak berkenalan dengannya? Sudah baik, kaya pula!” kata Mira, lewat pesawat telepon. Ya, Mira memang sering menghubungiku pada jam-jam kerja.

“Aku tanya balik, deh.... Dia mau nggak berkenalan denganku?” jawabku, sambil berbisik.

“Makanya, dia ingin ketemu denganmu dulu,” kata Mira.

“Kamu yakin dia masih sendiri? Jarang, lho, ada pria yang baik dan kaya, tapi masih single.”

“Ada seorang wanita yang sedang dekat dengannya. Tapi, dia mengaku bahwa wanita itu hanya teman biasa.”

Aku mengangguk-angguk, tanpa kusadari bahwa Mira tak bisa melihatku.

“Gimana?” tanya Mira lagi.

“Ya… okelah. Kenapa tidak?”

Bertemu? Terkesan seperti orang yang akan membeli barang, namun ingin meneliti kualitas barangnya terlebih dahulu. Aku merasa, Mira sangat baik, karena masih peduli padaku. Tapi, sejak 7 tahun lalu sampai detik ini, aku belum juga bisa memercayai Mira, bahkan sebanyak 50% saja. Karena, di satu sisi, ia begitu baik. Namun, di sisi lain, ia tak pernah memberi tahu ketika ia mendapat pekerjaan sampingan. Setahun lalu, ketika ia mendapat beasiswa, aku hanya ikut mensyukurinya. Ketika kutanya bagaimana cara ia mendapatkannya, ia hanya memberiku sekelumit informasi.

“Hanya membuat esai pendek, lalu dikirim ke perusahaan yang memberikan beasiswa.”

Begitu jawabnya dulu. Aku pun tak berharap ia akan menceritakan secara detail. Namun, terlihat jelas bahwa ia tak menginginkan ada jejak kesuksesannya yang masih tersisa untuk bisa kuikuti.

Hari pertemuan yang dijanjikan tiba. Tanpa persiapan apa pun, Mira menarikku kuat-kuat, agar aku mengikuti langkahnya ke sebuah tempat makan. Di situ banyak sekali mahasiswa dan kaum yang merasa dirinya lebih intelek daripada siapa pun.

Kutemui pria itu. Wajahnya lumayan manis. Ia juga tampak baik dan ramah. Tapi, entah kenapa, aku sangat ragu. Bukannya aku meragukan kebaikan Tuhan. Hanya, aku sangat yakin, Tuhan tidak sedang menjawab permintaanku melalui pria tersebut.

Dan, ternyata, perasaanku benar. Karena, 2 hari setelah itu, tak ada kabar dari pria, yang katanya baik dan kaya raya itu. Tak ada kabar pula dari Mira. Sudah jelas bahwa perkenalan itu tidak berhasil. Aku tak bisa menjaga citra baik di depan pria itu. Bukan tak ingin berusaha, hanya… untuk apa? Aku sudah berada pada tahap tak ingin menciptakan kesan baik hanya untuk menarik perhatian pria.

“Young, ternyata dia sekarang berpacaran dengan wanita yang katanya hanya teman biasa itu. Biasalah... orang kaya memang berjodoh dengan orang kaya pula. Menyebalkan,” kata Mira dengan nada santai. Mungkin, ia khawatir jika aku merasa sedih.

Tapi, apakah ia tak memikirkan dampak yang ditimbulkan dari sebuah ‘penolakan’ itu? Sudah biasa jika aku tak suka seseorang, sudah biasa jika orang tak suka padaku. Namun, di usiaku yang tak lagi belia, setelah aku melalui banyak perubahan positif dan progresif yang cukup berhasil, masih juga aku mendapat sebuah penolakan. Hanya karena seseorang yang tak kukenal merasa harus melindungi kekayaan tujuh turunan milik orang tuanya, sambil mengempaskan diriku ke titik 0.

Apakah ia memintaku menyesali keadaan ekonomi keluargaku? Apakah ia menamparku agar meninjau kembali jenis pekerjaan yang kulakoni selama hampir 8 tahun dan tak bisa memberikan kekayaan dalam waktu sekejap? Ataukah, tanpa disadarinya, ia telah memberikan cap, bahwa aku memang tidak menarik dengan segala kejujuranku?

Ya, aku menangis. Bukan karena penolakan, tapi karena sebuah penghinaan akan harga diriku yang telah lama hancur, akibat menerima begitu banyak keraguan dari orang-orang sekelilingku, akan bakat, kemampuan, kredibilitas, bahkan keberuntunganku sekalipun.


Penulis: marisa agustina



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?