Fiction
Mariposa [1]

10 Aug 2015


 “Ma, apakah Mama tahu, di mana kita bisa melihat kupu-kupu?” pertanyaan itu muncul dari bibir Mariposa, gadis kecil Maria yang baru berumur enam tahun.
Maria dan suaminya tinggal di sebuah apartemen di lantai sembilan belas, di kota yang gerah dan penuh asap. Jadi, ketika Mariposa bertanya seperti itu, Maria hanya bisa tersenyum masam dan beranjak ke rak buku dan memeriksa koleksi buku-buku ensiklopedianya. Maria mengambil sebuah ensiklopedia keragaman hayati, membuka sebuah halaman, dan menunjukkannya pada Mariposa.

“Kau bisa melihatnya di buku ini, ada di halaman 96, lihatlah! Itu kupu-kupu. Indah, bukan?” terang Maria.
Maria tahu, Mariposa sudah berkali-kali melihat gambar kupu-kupu di buku itu, ia hanya bisa berharap gadis itu tidak bosan.
“Tapi aku ingin melihat kupu-kupu yang asli, Ma, yang terbang di bunga-bunga seperti yang ada di gambar itu,” sahut Mariposa, tak puas.
Maria tak bisa berkutik. Ia tahu, di kota ini, di sekitar tempat tinggalnya, tak mudah menemukan taman, apalagi kupu-kupu. Kota ini tak ubahnya sekumpulan batu-batu yang ditumpuk dan diberi ruangan di dalamnya beserta mesin pendingin yang tak pernah alpa. Tentu saja kupu-kupu tak hidup di tempat seperti itu. Tak mudah menemukan kupu-kupu di sini.

“Kupu-kupu di buku ini memang kurang lengkap, lagi pula buku ini terlalu tebal buatmu. Bagaimana kalau besok Mama belikan buku baru, buku tentang kupu-kupu. Buku yang isinya tentang semua jenis kupu-kupu yang pernah hidup di muka bumi ini. Pasti itu akan sangat menarik,” rayu Maria, berusaha mengelabui putrinya.
“Apakah kupu-kupu di buku itu nantinya bisa terbang sungguhan?” bocah itu bertanya lagi. Seperti menyindir Maria.
“Mama bilang buku, Sayang. Buku. Jadi, isinya, ya, cuma gambar kupu-kupu dan cerita tentang kupu-kupu itu.”
“Aku akan lebih suka kalau Mama dan Papa mengajakku melihat kupu-kupu sungguhan,” tutur gadis kecil itu murung. Membuat Maria ikut murung.
“Baiklah, Mama akan bicara pada Papa. Nanti kalau Papa libur kerja di akhir pekan, kita akan jalan-jalan, melihat kupu-kupu yang asli,” kata Maria akhirnya.
Malam harinya, sebelum berangkat tidur, Mariposa meracau lagi tentang kupu-kupu.
“Ma, apa waktu kecil dulu Mama juga suka kupu-kupu?” gadis kecil itu sudah berbaring di balik selimut, namun mulutnya tak henti-henti membeo.
“Tentu, Sayang, Mama suka sekali kupu-kupu. Dulu, sewaktu Mama kecil, kupu-kupu dapat ditemui dengan mudah di halaman rumah eyangmu, di antara bunga-bunga melur dan amarilis,” jawab Maria, sambil mengelus rambut putrinya supaya lekas tidur.
Namun,  gadis kecil itu masih bertanya lagi, “Jadi Mama pernah melihat kupu-kupu yang asli?”
Maria mengangguk, “Tentu.”
“Seperti apa, Ma, wujud kupu-kupu yang asli itu?”
“Ya, seperti gambar yang ada dalam buku.”
“Persis?”
“Ya. Persis. Hanya saja hidup dan bisa terbang. Mengepak-ngepakkan sayapnya.”
“Hmm, pasti lucu sekali. Sayang sekali, aku tak pernah melihat kupu-kupu yang asli.” Mariposa mengerjap.
Maria memandang dalam ke mata putrinya. “Mama janji, kau akan melihat kupu-kupu yang asli,” ucapnya kemudian.
“Benarkah? Mama janji?” Mariposa tersenyum membalas tatapan mamanya.
Maria mengangguk seraya senyum.
“Tapi aku tak pernah melihat kupu-kupu di kota ini. Apakah kupu-kupu memang tidak hidup di kota ini?” Mariposa menggumam sedih.
Di kota ini memang hampir tidak ada taman, pohon-pohon pun jarang, makanya kupu-kupu tidak mau hidup di kota ini. Gadis kecil itu mendadak menatap Maria dengan tatapan gamang. “Tapi, tadi kata Mama, aku pasti akan melihat kupu-kupu yang asli.”
“Tentu kau akan melihat kupu-kupu yang asli. Apa Mama pernah berbohong?” telisik Maria kemudian.
Gadis kecil itu menggeleng.
“Kalaupun di muka bumi ini sudah tidak ada kupu-kupu lagi, Mama rela menjelmakan diri jadi kupu-kupu yang cantik, supaya kau bisa melihat wujud kupu-kupu yang asli,” ucap Maria dengan senyum berseri.
“Mama mau jadi kupu-kupu untukku?”
“Heem,” Maria mengangguk lagi. Senyumnya utuh.
“Sayap Mama berwarna apa?”
“Kau mintanya sayap Mama berwarna apa?”
“Bagaimana kalau biru muda?”
“Hmm, pasti sayap itu sangat indah.”
Keduanya saling tertawa, hingga Maria mengakhiri kelakarnya dengan ujaran pelan, “Tadi, Mama sudah menelepon Papa, Papa bilang, akhir pekan kita akan jalan-jalan ke museum satwa, dan kita akan melihat kupu-kupu yang asli di sana.”
“Benarkah?” pekik gadis kecil itu dengan mata penuh binar.
Maria mengangguk. “Tapi dengan satu syarat,” imbuhnya, “kau harus lekas tidur.”
Gadis kecil itu mengangguk dan memejamkan matanya yang tak ngantuk.
***

Maria tidak pernah menyangka kalau akhir pekan itu suaminya mendapat tugas dinas yang begitu mendadak dari kantornya. Maria sedikit kecewa pada suaminya. Ia sudah telanjur janji pada Mariposa untuk mengajaknya jalan-jalan. Selama ini Maria tak pernah berbohong pada putrinya. Maka, dengan atau tanpa Papa pun, Maria bertekad akan tetap berangkat.
“Tidak bisakah kita menunda sampai pekan depan?” Papa menyelisik.
“Aku sudah janji padanya akhir pekan ini. Jadi, aku berharap Papa mengizinkan kami berdua pergi. Aku janji akan sampai rumah sebelum gelap, sebelum Papa sampai rumah,” mohon Maria.
“Kau akan menyetir sendiri?”
Maria mengangguk, “Kita tak punya sopir, bukan? Lagi pula, kan tidak jauh, kita hanya butuh menyeberangi gerbang perbatasan kota. Percayalah, bukankah aku tadi sudah janji, kami akan sampai rumah sebelum gelap.”
“Jadi, kalian ke sana hanya untuk melihat kupu-kupu?”
“Apa salahnya melihat kupu-kupu, toh, di kota yang kerontang ini kita tak pernah melihat makhluk itu lagi. Aku tak mau Mariposa tak pernah melihat kupu-kupu dalam hidupnya.”
Bagi Papa, kata-kata Maria terdengar sedikit berlebihan. Namun, seumur-umur ia memang tak pernah bisa menolak permintaan Maria. Maka, setelah melewati perbincangan singkat itu, esoknya, Maria dan Mariposa berangkat ke museum satwa, untuk melihat kupu-kupu di sana. Kupu-kupu yang asli.
***

Begitu sampai di tempat itu, Maria segera menuntun Mariposa untuk melihat-lihat aneka binatang yang hanya diam dalam ruangan-ruangan yang ditutup kaca. Mariposa merengek, ia ingin langsung pergi ke museum kupu-kupu. Untuk melihat kupu-kupu yang asli. Maria menurutinya.
Aneka jenis kupu-kupu, bentuk, rupa, dan ukuran tampak terpajang di sana. Di dinding-dinding yang juga ditutupi kaca. Maria tak pernah mengira gadis kecilnya menjadi  makin murung setelah melihat semua kupu-kupu yang diobat keras itu.
“Mengapa kau cemberut? Ini kupu-kupu asli,” terang Maria.
“Tapi kupu-kupu itu tidak bergerak sama sekali,” balas Mariposa.
Maria lupa mengatakan bahwa kupu-kupu asli itu memang sudah mati dan diawetkan.
“Apa semua kupu-kupu itu pernah hidup?” bocah kecil itu bertanya lagi.
“Kupu-kupu itu sudah diawetkan, Sayang.”
“Apa semua kupu-kupu itu mati dibunuh untuk diawetkan?”
Maria tak mengira Mariposa akan bertanya seperti itu. Tiba-tiba ruangan itu terasa hening dan Maria merasa seperti berada di tengah kuburan kupu-kupu. Maria dan gadis kecilnya hanya bungkam menatap ribuan bangkai kupu-kupu itu, seperti mengheningkan cipta. Kepiluan dan kepedihan serta-merta meringkus dirinya. Tapi, Maria berusaha untuk tetap tersenyum kepada Mariposa. Itu hanya kupu-kupu, Nak.
“Di tengah museum ini ada sebuah taman, di sana ada bunga-bunga, kita akan melihat kupu-kupu yang hidup di sana, kupu-kupu yang bisa terbang dan tidak diawetkan,” kata Maria sambil menuntun gadis kecilnya keluar dari kuburan kupu-kupu itu.
Sesampainya di taman, Maria mengajak Mariposa duduk di sebuah bangku panjang. Mereka hanya duduk dan melemparkan pandang ke arah bunga-bunga dan semak perdu yang ditata sedemikian rapi. Namun, setelah beberapa menit berlalu, tak satu pun kupu-kupu muncul di taman itu. Tak satu pun.
“Mana kupu-kupunya, Ma?” ujar Mariposa sedikit lemas.
“Kita tunggu saja, sebentar lagi pasti kupu-kupunya datang.”

Panas matahari mencubit dari balik daun-daun. Menit demi menit pun berlalu. Sampai gadis kecil itu tertidur di pangkuan Maria, tak seekor kupu-kupu pun tampak. Maria tercenung menatap putrinya yang tertidur lelap serta bunga-bunga di hadapannya yang terlihat pucat. Mendadak kening Maria terasa berair. Matanya juga ikut berair.
Maria nyaris tak dapat mengeluarkan kata-kata ketika dalam perjalanan pulang, putrinya berujar sambil terisak, “Mana kupu-kupunya, Ma? Mama sudah janji akan mengajakku melihat kupu-kupu yang asli. Mama bohong.”
“Tadi kan kupu-kupunya asli,” suara Maria sedikit lemah dan goyah.
“Tapi kupu-kupunya mati dan tidak bergerak.”
Maria tidak menjawab.
“Aku ingin melihat kupu-kupu, Ma.”
Maria pura-pura tidak mendengar.
“Kupu-kupu yang asli, kupu-kupu yang hidup dan bisa terbang.”
Maria masih membungkam.
“Ma, apa semua kupu-kupu di dunia ini memang sudah mati dan diawetkan?”
“Mama sedang menyetir, Sayang. Kita bahas kupu-kupunya nanti di rumah saja.”
“Tapi, Ma….”
Maria tak menggubris.
“Aku ingin melihat kupu-kupu yang asli.”
“Sudah!”
“Ma!”
“Cukup, Mariposa!!!”
Bentakan Maria kepada putrinya mengakhiri percakapan itu. Mengakhiri segalanya.
***

Maria sudah berjanji pada suaminya untuk pulang sebelum gelap, namun Maria tidak menepati janji itu. Bahkan Maria tak pulang sama sekali. Hanya Mariposa yang pulang. Pulang terlambat. Sangat terlambat.
“Kenapa kita ada di sini, Pa? Kita di rumah siapa?” Gadis kecil itu baru saja siuman. Lelaki di sebelahnya bergegas menyambutnya.
“Kita di rumah sakit, Sayang. Kau sedang sakit dan butuh dirawat,” ungkap lelaki itu lirih, suaranya sedikit gemetar.
“Mama mana, Pa?”
Lelaki itu mencium kening gadis kecilnya yang diliput perban, pelan-pelan.
“Mengapa Papa menangis?”
“Papa tidak menangis, Sayang.” Lelaki itu mengusap air di matanya.
“Mama mana, Pa?” bocah itu mengulang pertanyaanya.
Lelaki itu tak bisa menjawab. Ia tak kuasa menjawab. Bagaimana menjelaskan kepergian yang tergesa-gesa dan tanpa pulang seperti itu pada bocah enam tahun?
“Pa, itu apa? Apa itu kupu-kupu?” tiba-tiba gadis kecil itu berujar lagi, matanya menyipit-nyipit ke udara.
Lelaki itu mendongak, mulutnya ternganga ketika melihat seekor kupu-kupu bersayap biru muda beterbangan di ruangan itu.(f)
Malang, 2014

***********
Mashdar Zainal



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?