Fiction
Mangkuk Bunga Lotus [1]

20 Aug 2015


NANA BELUM BERANI membuka kedua matanya. Kepalanya masih terasa berat. Dunia seperti berputar diayun gelombang. Perutnya mual. Napasnya tersengal. Samar-samar dia mendengar suara beberapa orang di sekitarnya. Ada Nita, Anwar, Fauzin, juga Omes. Nana merasa ada yang mengoleskan minyak angin di hidung, pelipis, dan tengkuknya. Hangat sedikit perih.
 
’’Na, kamu pasti kecapekan gara-gara dugem sampai subuh, ya?’’
Dengan mata masih tertutup, Nana tahu yang barusan bertanya itu adalah Omes.
’’Dasar tukang dugem,’’ protes Nana. Geregetan.
’’Lagi menstruasi, ya, Jeng? Mungkin kurang darah,’’ lanjut Nita, khawatir.
 
Belum sempat menjawab, Nana kembali merasa mual. ’’Aku mau muntah, nih. Cari kantong kresek, dong,’’ kata Nana, lantas menutup mulutnya.
 
’’Kamu   kan  sudah sadar, buka, dong, matamu. Jangan merem terus.’  Kali ini suara Fauzin. Nana hanya mengerang perlahan.

’’Pusingmu akan berangsur-angsur hilang. Ayo, buka matamu pelan-pelan,’’ timpal Anwar, sambil memijat pelan tengkuk Nana.
 
’’Aduh, aku benar-benar ingin muntah,’’ sahut Nana. Kali ini  bukan lagi sekadar ancaman. Untung  Nita sudah berhasil mendapatkan kantong kresek yang diminta Nana. Kantong kresek hitam tipis itu dalam sekejap langsung terasa berat. Untung tidak bocor.

****
NANA MENYERUPUT TEH HIJAU hangat tanpa gula yang baru diseduhnya. Ini gelas ketiga. Tiap kali rasa merinding atau mual itu kambuh, buru-buru dia meneguknya. Minum teh seperti ini biasanya cukup efektif membantunya lebih relaks.
 
Dengan tetap memegang cangkir bergambar ilalang itu, Nana beranjak dari kamarnya menuju kamar belakang. Namun, hanya sebentar. Dia kemudian melangkah menuju dapur, kembali ke ruang tengah, lalu ke ruang tamu. Nana meneguk tehnya. Sekali, dua kali, sampai habis.
 
Pandangan Nana terus terfokus ke dinding rumahnya yang berwarna biru langit. Memandangi dinding rumah tipe 60/156 yang baru dibelinya akhir tahun lalu itu juga menjadi salah satu cara Nana untuk merasa lebih nyaman. Inilah rumah yang mulai dibeli Nana dengan bantuan KPR setelah menabung selama lima tahun untuk uang mukanya.
 
Nana kembali mengingat-ingat kejadian tadi pagi. Dirinya jatuh pingsan sesaat setelah tiba di kantor. Persis lima meter dari mejanya.
 
Ketika kesadarannya mulai pulih 15 menit kemudian, Nana tetap tidak berani membuka kedua matanya yang berwarna agak kecokelatan itu. Hampir satu jam begitu terus. Matanya terpejam seperti mata bayi.
 
Keganjilan ini sontak membuat kantor menjadi heboh. Apalagi, ada beberapa karyawan dari divisi lain dan satpam gedung yang ikut-ikutan membuat analisis. Awalnya sekadar bisik-bisik. Namun, lama-lama menjadi seperti seminar meskipun tanpa makalah. Mereka menganggap Nana sedang kerasukan atau kesurupan. Meskipun 90 persen orang yang bekerja di lantai 20 gedung ini berstatus sarjana, analisis itu justru begitu mudah menyebar dan diterima.
 
Sementara Nana tetap tidak membuka matanya. ’’Carikan aku taksi,’’ pinta Nana dengan suara lemah. Anwar yang akhirnya bergegas pergi memesan taksi. Setelah itu, dia dan Nita memapah Nana yang matanya masih terpejam. ’’Sudah. Kalian tidak usah mengantarku. Balik saja ke kantor,’’ ujar Nana saat melihat Anwar dan Nita ikut masuk ke taksi berwarna biru itu. Kali ini, matanya sudah terbuka lebar.
 
’’Membiarkan kamu pulang sendirian? Kalau kamu kesurupan lagi di taksi ini bagaimana?’’ protes Anwar, lantas terkekeh. Nita juga tidak dapat menahan tawanya. Mereka berdua memang termasuk gerbong yang tidak percaya Nana kerasukan atau kesurupan. Hanya, bila ditanya, mereka juga tidak tahu apa yang sesungguhnya sedang dialami Nana.
 
’’Lho, mbaknya habis kemasukan?’’ timpal abang sopir taksi, sambil menyalakan argo. Nana tampak melotot. Geregetan. Tawa Anwar dan Nita pun  makin keras.

****
SETELAH MENGAJUKAN PERMINTAAN IZIN sakit selama sehari, pagi ini Nana kembali masuk kantor. Dia sudah memantapkan hatinya. ’’Aku pasti bisa. Aku pasti kuat. Tidak ada yang harus kutakuti,’’ ucap Nana berulang-ulang.

Rangkaian kalimat itu terus diucapkannya sejak meninggalkan rumah. Seperti mantra saja. Begitu juga saat berada di dalam lift yang membawanya menuju lantai 20.

Terdengar suara ting yang nyaring sebelum pintu lift itu terbuka. Nana melangkah keluar. Pandangan matanya tampak cemas dan tegang. ’’Aku pasti bisa. Aku pasti kuat. Tidak ada yang harus kutakuti,’’ ucap Nana, seperti berbisik. Dia terus berusaha meyakinkan dirinya.

Namun, mantra itu sepertinya tidak terlalu manjur. Sekujur tubuhnya mulai merasa merinding. Keringat hangat membasahi tengkuknya. Napasnya  makin tidak teratur. Dadanya berdebar kencang.

Kepalanya mendadak migrain. Semua orang, meja, kursi, tumpukan kertas, komputer, mesin foto kopi, mesin pembuat kopi, bunga-bunga penghias ruangan seperti semburat. Kaki Nana terasa lemas. Matanya memburam. Pingsan lagi.

****

NANA MENETESKAN AIR MATA. Dia tidak punya pilihan lain. Meskipun pahit, keluar dari perusahaan adalah satu-satunya jalan. Keputusan ini teramat sangat berat. Sebab, selama lima tahun meniti karier di dalam perusahaan besar dengan puluhan anak cabang itu, dia sudah merasa nyaman. Apalagi, kini posisinya sudah terbilang lumayan. Dia menjadi asisten manajer pada bagian HRD. Perusahaan ini seperti sudah menjadi bagian dari hidupnya. Tetapi, dia memang tidak punya opsi lain.

Pilihan untuk mengundurkan diri itu terasa sangat menyakitkan bagi Nana, karena dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Kinerjanya justru sedang mencapai masa-masa terbaiknya. Dia tidak menggelapkan uang perusahaan. Dia juga tidak terlibat dalam aksi demonstrasi serikat pekerja perusahaannya awal minggu lalu. Demonstrasi yang digalang ratusan pekerja outsourcing dari salah satu pabrik itu menuntut kenaikan upah dan jaminan kesehatan. Sayang, aksi damai itu berujung rusuh. Televisi dan koran ramai memberitakannya.

Jadi, inilah masalah yang sebenarnya sedang dilakoni Nana. Alam bawah sadarnya sedang menolak perubahan besar yang terjadi pada tampilan dinding kantor. Ketika Nana menikmati cuti selama enam hari untuk berlibur ke Bali, belasan pekerja sibuk memasang puluhan foto mangkuk bunga lotus tanpa kelopak di dinding kantor. Termasuk, di dinding sekitar lokasi meja Nana. Tidak ada satu pun foto dengan angle sama. Satu foto berbeda dari yang lain. Tapi, semuanya sama-sama mengeksplorasi eksotisme mangkuk bunga lotus. Bagi orang lain mungkin foto-foto itu memiliki nilai seni yang tinggi. Namun, bagi Nana, ini petaka.

Sudah sejak kecil  Nana memang tidak kuat menatap mangkuk bunga lotus yang berlubang-lubang dengan bebijian yang bersembunyi di dalamnya. Mangkuk yang mulai mengering dan berwarna gelap setelah ditinggalkan kelopak-kelopaknya itu terlihat begitu mengerikan bagi Nana. Rasanya seperti ada ribuan ulat bulu yang menempel di kulitnya. Membuatnya merasa merinding dan ngilu.

Setelah berkonsultasi ke sejumlah orang, belakangan dia mengetahui dirinya mengidap trypophobia. Nana tidak kuat melihat benda yang memiliki banyak lubang dengan pola berulang. Salah satunya, bentuk mangkuk bunga lotus yang berlubang-lubang dengan bebijian di dalamnya itu. Dia juga takut menatap sarang lebah, bunga karang, dan pohon yang penuh lubang-lubang kecil hasil karya burung pelatuk acorn. Burung endemik di Amerika Utara dan Amerika Tengah yang bernama Latin melanerpes formicivorus itu gemar menyimpan bebijian di dalam lubang-lubang tersebut. Menatap semua objek itu dalam waktu lama, khususnya mangkuk bunga lotus, bisa membuat Nana hilang kesadaran.

Kini salah satu sumber fobia yang mengganggunya selama bertahun-tahun itu justru menjadi inspirasi yang mendominasi interior kantornya. Nana tahu dia tidak mungkin mengajukan protes. Meminta pimpinan perusahaannya untuk mencopot semua foto itu pasti tidak bakal direspons. Malah dirinya akan dianggap aneh.

Nana mengerti itu. Dia tidak hanya habis pikir mengapa perusahaannya mendadak terobsesi pada mangkuk bunga lotus. Padahal, tidak ada perubahan visi misi dan fokus bisnis perusahaan. Struktur kepemilikan saham juga sama sekali tidak berubah. Kabarnya, mangkuk bunga lotus dipilih untuk mengekspresikan ambisi perusahaannya untuk terus berkontribusi dan memberikan yang terbaik bagi konsumen. Seperti mangkuk bunga lotus yang menyediakan puluhan biji berkhasiat bagi kesehatan dan proses penyembuhan. Namun, penjelasan ini tetap tidak memuaskannya.

Meski begitu, Nana sudah mantap. Tidak ada lagi pilihan selain mengundurkan diri.  Nana memilih untuk menyerah dan pergi. Besok dia akan pamitan kepada pimpinan dan beberapa temannya. Tentu saja, lewat telepon. Meskipun terkesan kurang sopan, itu lebih baik. Daripada dia pingsan lagi kalau memaksakan diri untuk menghadap pimpinannya di kantor yang kini penuh dengan foto mangkuk bunga lotus.

****
OMES MELANGKAH CEPAT menuju toilet. Dia harus segera menyampaikan kabar penting yang baru didengarnya kepada Ibu Fitria Dahayu Mahesa. Pak Mahesa adalah pemilik perusahaan ini.

’’Bu, saya dengar Nana sudah mengundurkan diri per hari ini,’’ kata Omes, menelepon Ibu Fitria melalui ponsel. ’’Strategi kamu memang jitu, Mes. Nana memang harus dikasih pelajaran. Dasar enggak punya aturan. Eh, habis ini, saya transfer hadiah buat kamu,’’ ucap Ibu Fitria dengan suara riang.

Usul untuk memasang puluhan foto mangkuk bunga lotus itu memang datang dari Omes. Omes memang bukan siapa-siapa. Tidak masuk jajaran pimpinan perusahaan, apalagi pemegang saham. Namun, idenya itu diterima dan dijalankan Ibu Fitria.

Semua ini berawal dari kasak-kusuk Ibu Fitria yang menelusuri isu adanya hubungan spesial antara suaminya dengan Nana. Omes didekati Ibu Fitria, karena selama ini dikenal sebagai salah satu teman dekat Nana.

Omes yang tergoda dengan tawaran segepok uang dari Ibu Fitria lantas membocorkan rahasia Nana. Mulai detail perselingkuhannya dengan Pak Mahesa, sampai soal trypophobia. Nana sebenarnya tidak pernah menceritakan trypophobia yang dialaminya kepada Omes. Namun, Omes adalah ’intel’ kelas wahid. Sudah sejak lama Omes curiga sahabatnya itu mengidap trypophobia. Ada beberapa kejadian ganjil yang membuat Omes terdorong untuk mengeceknya di internet.

Untuk membuktikan kecurigaannya itu, suatu ketika Omes sengaja mengganti tampilan wallpaper di komputer Nana dengan gambar mangkuk bunga lotus yang berlubang-lubang dan terdapat bebijian di dalamnya. Saat Nana kembali ke mejanya dan menggerakkan mouse yang mengaktifkan layar monitor, dia langsung menutup mata. Omes sempat mendengar jeritan kecil Nana. Namun, saat itu Nana masih mampu mengendalikan dirinya. Berdalih komputernya error, Nana meminta Anwar mengganti wallpaper itu.

Ibu Fitria awalnya agak enggan mencoba usul nyeleneh Omes. Sebab, memasang puluhan foto berukuran besar di dinding kantor perusahaan bukanlah urusan sederhana. Setelah dia berhasil meyakinkan Mahesa, giliran suaminya itu yang harus meyakinkan para pemilik saham lainnya. Selain itu, biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Mulai honor buat fotografer, biaya perjalanan ke sejumlah lokasi, sampai piguranya yang eksklusif dari kayu jati. Bila ditotal, perusahaan harus mengeluarkan biaya hingga Rp250 juta. Pak Mahesa sempat menolak. Namun, Ibu Fitria terus meyakinkan suaminya bahwa perusahaan mereka membutuhkan foto-foto mangkuk bunga lotus ini.

Ibu Fitria memang terobsesi untuk ‘menghabisi’ Nana. Di matanya, Nana adalah parasit yang tidak tahu terima kasih. Namun, dia tidak mau melabraknya begitu saja. Ibu Fitria memiliki gengsi yang tinggi. Melabrak hanya akan membuat dia dan Nana, sang pesaing itu, berada pada level yang sama. Karenanya, dia memilih untuk bersekutu dengan Omes melakukan operasi senyap.

Sore mulai merambat. Ponsel Omes kembali berbunyi. Satu pesan singkat masuk. Isinya singkat saja. ’’Sayang, kita ketemuan lagi di kamar 1021 hotel yang kemarin. Jam 19.00 nanti ya. Jangan telat. Aku kangen.” Tertulis nama pengirimnya: Bos Mahesa. Senyum Omes  makin lebar. Indahnya hari ini.(f)

************
Priyo Handoko


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?