Fiction
Mahar 25 Tahun [1]

16 Oct 2013


Rembulan bersinar ditemani bintang berarak saling kejar. Sebagian orang akan mengatupkan tangan melihat bintang jatuh. Aku tidak akan melakukan itu karena doa segala doa hanya dipanjatkan kepada Tuhan semata.

Oleh: Bai Ruindra

Susahnya menjadi wanita ketika harus melontarkan kata-kata mengenai pernikahan. Nikah jadi sangat wajib bagi wanita yang sudah pernah melanglang buana ke mana-mana. Aku dianggap sebagai salah satu wanita yang tidak boleh mengatakan tidak untuk sebuah pernikahan. Umurku sudah cukup untuk berkelana ke negeri-negeri yang ingin kukunjungi. Dua bulan lalu, aku baru pulang dari Amerika. Tentu saja sebuah prestasi yang sangat membanggakan bagi anak kampung sepertiku. Kuliah di Amerika adalah idaman banyak orang, apalagi dapat beasiswa.

Pulang ke kampung bukanlah pilihan utama. Jika bukan karena Ibu yang sudah renta, aku tidak akan pulang ke kampung. Dengan prestasi yang kuraih, pekerjaan silih berganti mengejarku. Belum pula aku selesai wisuda, tawaran mengajar sudah berdatangan dari kampus ternama Banda. Ditambah lagi teman-teman dari berbagai lembaga mengajakku joint di lembaga mereka. Aku bisa saja menerima  tiap tawaran, aku pun tidak bisa egoistis. Sebagai satu-satunya wanita di keluarga, aku harus pulang. Kelima abangku sudah berkeluarga dan pindah ke rumah masing-masing. Tinggal Ibu sendiri ditemani keponakanku, anak abang tertua. Itu pun tidak bisa berlangsung lama karena tahun depan dia akan merantau ke Banda.

Di sinilah aku berdiri, tegak dan mematung. Di antara deru ombak pesisir Pantai Meulaboh, aku mencoba memahami jalan pikiranku sendiri. Berontak pada pilihan yang sudah kupilih tidaklah jadi pemecah masalahku. Lari dari rumah jadi pilihan orang-orang yang berpendidikan rendah. Kupikir aku masih bisa mengambil keputusan terbaik untuk masalahku. Jangan sampai orang-orang mengejek gelar master dari kampus ternama Amerika, jika aku tidak bisa menyelesaikan persoalan ini.

Masalah pekerjaan sudah terselesaikan, kini aku menjadi dosen muda di salah satu kampus di Meulaboh. Hal ini tidak kupikirkan lagi, pekerjaan bisa saja menghampiriku kapan saja, jika aku bosan mengajar. Masalah selanjutnya datang saat Ibu meminta aku menikah!

“Sudah saatnya kau menikah, Nong!” kata Ibu semalam. Aku yang sedang mengetik sebuah opini untuk kukirim ke media, mengambangkan jemari di atas keyboard. Permintaan Ibu tidak muluk-muluk. Menikah! Kata yang masih tabu dalam kamusku.

“Ibu dan abang-abangmu berharap kamu segera menikah!” tegas Ibu lagi. Tapi dengan siapa? Menikah menjadi malapetaka tersendiri bagiku yang tidak pernah dekat dengan pria mana pun. Di kampus, aku hanya kenal beberapa teman pria. Teman saja. Di luar kampus interaksiku dengan pria bahkan tak pernah kujalin, kecuali dengan bapak kos. Selama di Amerika, bule-bule itu pun hanya sebatas teman di kampus. Selebihnya aku banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman wanita.

Wajar saja aku kebingungan. Menikah artinya aku harus kenal dengan pria. Siapa pun dia!
***
Statusku sebagai lulusan luar negeri menghambat pria kampung mendekatiku. Kebanyakan pria kampung lulusan SMA dan bekerja sebagai petani. Mereka pun tidak punya penghasilan per bulan yang bisa memenuhi kebutuhan keluarga kami nanti. Pria lain yang lebih terbuka pemikirannya akan hijrah ke Meulaboh.

Memang, jarak ibu kota Kabupaten Aceh Barat dengan kampungku sekitar 15 kilometer. Namun, mencari kerja di Meulaboh bukan pilihan tepat karena di kampungku lahan pertanian sangat luas. Kebanyakan kami punya sawah masing-masing untuk menuai padi. Selain sawah, pekerjaan lain pria kampungku sebagai buruh bangunan. Ada tawaran pekerjaan, ada pemasukan. Tidak ada pekerjaan, kantong kosong melompong.

Oh! Aku sungguh tidak sanggup membayangkan pernikahan dengan pria kampung. Jika aku ingin keturunanku berintelektual tinggi, maka aku harus memilih pria yang datang menemuiku. Pilihan yang tidak akan dapat kupastikan ada jawabannya di kampung. Terlebih, aku tidak mengenal orang berpendidikan tinggi di Meulaboh. Kalaupun ada, sudah diambil terlebih dahulu oleh wanita muda Meulaboh.

Aku harus berdamai dengan pendekatan ini. Status pendidikan tinggi tidak menjamin aku mendapat jodoh berpendidikan tinggi pula, di kampung. Kusampingkan pendidikan tinggi setingkat denganku, kulirik status pekerjaan pria yang akan meminangku. Satu dua pria di daerahku sudah berpendidikan sarjana, mereka pun sudah bekerja sebagai pegawai negeri. Pilihan ini bisa jadi alternatif untuk kesejahteraan lahir dan batinku.

Sebulan berlalu, abang nomor tiga datang menjenguk Ibu. Malam beranjak pergi seperti berlari, rintik hujan menemani percakapan kami di teras. Lampu temaram menerpa wajah kami yang sama-sama lelah. Aku lelah mengajar dan membimbing tugas akhir mahasiswa di kampus, Ibu lelah bekerja seorang diri di rumah, dan abangku lelah dengan aktivitas sehari-hari sebagai kepala sekolah dasar.

Bang Mul memulai percakapan tentang kesehatan Ibu. Lalu tentang sekolahnya yang kerap banjir saat hujan. Tak lama tentang gajinya yang tinggal sedikit akibat setoran kredit ke bank. Pembicaraan terakhir, ini yang tidak terduga olehku. Mungkin Bang Mul sudah membicarakannya dengan Ibu jauh-jauh hari. Mungkin juga tujuan kedatangannya hanya untuk menawarkan pria untukku.

“Abang kenal dengan seorang guru, sudah PNS juga di SMA, orangnya baik, alim, dan dari keluarga sederhana,” Bang Mul memulai. Aku terdiam. “Abang rasa dia bisa menjadi teman baikmu. Abang pun kenal baik dengannya dan dia tidak pernah mengeluh akan tanggung jawab keluarga terhadapnya.”

Aku masih menunggu, ini seperti cerita bersambung yang diselingi iklan pendek. Bang Mul menyeruput kopi  yang sudah dingin diterpa angin malam. Sekilas Bang Mul menatapku sebelum berpaling pada mobil kijang di depan rumah kami. Mobil kijang itu sudah usang warnanya. Kurasa Bang Mul tidak pernah berniat menganti mobilnya, tidak seperti keempat abangku yang lain. Keluarga kami boleh dikatakan terpandang di kampung. Ibu dan Ayah pensiunan PNS dan kelima abangku pun PNS bahkan punya usaha sendiri seperti abang tertua, Bang Muis, yang punya minimarket di Meulaboh.

“Teman Abang itu dari keluarga sederhana. Setelah jadi PNS, dia baru hidup kecukupan. Sekarang dia malah menyekolahkan kedua adiknya ke Banda!” Bang Mul menambahkan promosi temannya padaku. Aku belum menimpali ucapan Bang Mul. Kutunggu akhir cerita yang bisa membuatku tertarik pada temannya.
“Bahkan, tahun lalu dia jadi guru teladan tingkat kabupaten!” Sudah ada yang menarik dari promosi Bang Mul. Prestasi temannya, itu yang dari tadi aku cari-cari dari sosok teman Bang Mul. “Usianya pun cocoklah untukmu, mungkin akan masuk 30 tahun!”

Benar! Usia juga jadi pertimbangan! Tidak terlalu tua untukku yang masih bertangga 25, tahun depan baru akan beranjak naik satu tangga lagi. Muda, master di bidang pendidikan, dari keluarga terpandang, siapa yang tidak terpesona padaku?
***

Pertemuan pertama dengan Rudy diatur Bang Mul di akhir pekan. Aku duduk penuh cemas di samping Bang Mul yang sangat tenang. Suasana rumah makan siang itu tidak begitu bergairah bagiku. Jujur saja, aku sangat penasaran pada Rudy. Aku belum percaya sepenuhnya mengenai sosok Rudy dari mulut Bang Mul sebelum aku lihat sendiri sosok pria itu.

Rudy datang setelah kami menunggu sepuluh menit lamanya. Sekilas aku tidak melihat cacat dari pria di depanku ini. Sosok Rudy bisa jadi idaman bagi semua wanita di sekelilingnya. Wajar saja di usia 30 Rudy belum menikah mengingat tanggung jawab keluarga terlimpah kepadanya. Ayah dan ibunya termasuk keluarga miskin di kampungnya, Rudy melanjutkan pendidikan sarjana dengan biaya dari pamannya.

Tugasku memperhatikan semua yang ada dari Rudy. Warna kulitnya kuning langsat, mata sipit seperti keturunan Cina, postur tubuhnya tegap dengan dada bidang. Kuyakin, Rudy rajin main bola di sore hari seperti kebiasaan kebanyakan pria kampung.

Gaya bicara dan tutur kata Rudy teratur. Kata-kata yang keluar dari Rudy bagai serpihan kata dari kamus bertaburan cinta. Aku yang selama ini melihat pria dari taraf pendidikan tinggi dan hidup di kota besar dengan berbagai fasilitas kemewahan, ikut terjerat dalam bingkai pesona. Diskusi Rudy dengan Bang Mul mengalun ke berbagai cerita. Pancingan Bang Mul tentang wanita idaman, dijawab Rudy lugas.

“Menghargai saya, maka saya akan balas menghargai, menerima kekurangan saya maka saya akan mengorbankan hidup untuknya, keluarga saya jadi keluarganya dan kelebihan saya jadi panutannya!”
***

Mengenal Rudy sudah cukup kuiyakan permintaan Bang Mul. Malam dua minggu setelah perkenalanku dengan Rudy terkembang mekar. Rembulan bersinar ditemani bintang berarak saling kejar. Sebagian orang akan mengatupkan tangan melihat bintang jatuh. Aku tidak akan melakukan itu karena doa segala doa hanya dipanjatkan kepada Tuhan semata.

Bang Mul membuka hening malam di keluarga kami dengan mengenal sosok Rudy. Keempat abangku mendengar dengan saksama. Mereka tertarik pada sosok Rudy dan ingin mengenal lebih dekat lagi. Apalagi Rudy sudah berstatus PNS, jelas-jelas kelima abangku tidak akan meragukan pekerjaan Rudy dan masa depan rumah tangga kami.

Tiba pada waktu yang membuatku tercengang. Aku tidak menyangka dengan kerakusan Bang Muis. Aku tidak pernah meragukan pemikiran Bang Muis, namun malam itu aku sangat kecewa dengan kemarahannya.

“Saya rasa 25 mayam angka yang sesuai untuk Inong!” tegas Bang Muis. Ketiga abangku yang lain mengangguk setuju, Ibu juga setuju. Tinggal Bang Mul dan aku yang keberatan. Bang Mul bersuara, sedangkan aku diam saja.
“Dua puluh lima mayam sangat berat untuk Rudy, Bang!” protes Bang Mul.
“Berat bagaimana? Inong pantas untuk dinikahkan dengan mahar 25 mayam! Sudah S-2 di Amerika, dosen, dari keluarga terpandang, apa lagi yang diragukan dari Inong?” kata Bang Muis berapi-api.
Bang Mul pun tidak mau tinggal diam. “Dua puluh lima mayam emas sangat mahal untuk Rudy, Bang!”
“Dia harus terima! Meminang anak gadis orang tidak semudah dan semurah yang dia pikirkan, apalagi adat Aceh mengharuskan kita menawarkan mahar sesuai keelokan gadis tersebut!”
“Adat Aceh? Saya rasa orang Aceh saja yang mengada-ada tinggi rendah mahar. Dalam Islam sendiri tidak mematok mahar dengan harga sangat tinggi. Mahar sebagai pertanda seorang gadis sudah disunting dan dilepas tanggung jawab dari orang tua!”
“Adat bisa jadi kebiasaan, Mul! Kita keluarga terpandang, Inong satu-satunya gadis dalam keluarga kita, sudah sewajarnya kita menaikkan mahar!”
Hatiku sudah tidak bisa menerima perdebatan yang makin panjang. Umurku sudah 25 tahun. Mahar di umur 25 tahun tidak harus 25 mayam.

Kukeluarkan suara pelan-pelan, “Saya bukan barang untuk dijual, Bang!”
Semua mata memandangku. Tatapan mereka menusuk. “Saya sudah pantas menikah dengan pria pilihan, Abang-Abang tinggal memberi restu dan wali. Mahar hanya sebagai tanda bahwa saya sudah dipinang pria. Seberapa pun mahar, pernikahan akan sah. Bukan lantaran mahar melebihi batas kewajaran lantas pernikahan akan sah!”

Kelima abangku saling tatap. Bang Muis masih berpegang teguh dengan pendapatnya. Bang Mul pun demikian. Ketiga abangku yang lain tidak banyak mengeluarkan suara, hanya ‘ya’ dan ‘tidak’. Keputusan menikah ada di tanganku, abang-abang  dan ibuku tugasnya memberi restu. Jika masalah mahar menjadi patokan, sampai kapan pun tidak akan ada pria yang datang meminangku.
Lalu, aku akan menikah dengan siapa?
***  



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?