Fiction
Mad Man Show [1]

16 May 2012

Menjadi monster adalah ketika Anda berusia 25 tahun dan merasa tidak lagi membutuhkan orang lain. Anda memulai Minggu pagi dengan secangkir kopi, yang Anda beli dengan uang sendiri. Rekening listrik yang menggantung di beranda rumah mencatat nama Anda, bukan orang tua atau pemilik rumah kontrakan. Sebab, rumah tempat Anda menikmati privasi, setiap jengkalnya, adalah hasil keringat Anda sendiri. Bukan warisan, apalagi sewaan.

Orang-orang yang seliweran di dapur, garasi mobil, dan taman kecil di belakang rumah bagus Anda, adalah mereka yang setiap bulan Anda gaji dengan nominal di atas rata-rata. Anda menyebut mereka ’pembantu’, namun otak Anda mengatakan, Andalah orang yang ’membantu’ hidup mereka. Anda tidak membutuhkan orang lain. Sebab, orang lainlah yang membutuhkan Anda. 

Anda benar-benar mengendalikan hidup Anda sendiri. Bahkan, Anda mulai merasa, ini tak ada kaitannya dengan Tuhan.

“Aku butuh 30 menit sampai di studio.” Suara bas pria muda itu seperti memberitahu siapa saja yang mendengar, di posisi mana status sosial pemiliknya. Memakai stelan jas hitam bergaris, kemeja putih berkelas, dan dasi hitam bermotif abstrak. Rambutnya disisir ke belakang. Terlihat basah. Ponsel keluaran terbaru menempel di telinga, digenggam tangan kirinya.

“Ya, soal feminisme. Tidak ada selebriti yang lebih sok tahu dibandingkan Sherly.”

Troy, pria necis bersuara bas itu, melangkah ke luar kamar menuju garasi. Raut mukanya berubah-ubah, selama menyimak jawab­an seseorang di seberang telepon. Senyum sinis melintangi bibirnya beberapa detik setelah itu. “Aku akan membuat dia terlihat sangat bodoh di depan kamera.”

Troy berhenti persis di depan mobilnya, yang sedang dipanasi oleh Ujang, sopir pribadinya. Tangan kanan pria itu tertahan di pegangan pintu depan. “Kenapa? Oh, tidak masalah. Bukannya selama ini Mad Man Show punya rating tinggi, justru karena sangat dibenci wanita?”

Troy membuka pintu, masuk ke sedan mewah merahnya perlahan, duduk di samping sopir dengan tenang. Pintu mobil ia tutup tanpa menimbulkan bunyi yang terlalu ribut. Di belakang setir, Ujang masih belum berani menyentuh tongkat versneling. Dia menunggu perintah.

“Oke, tunggu, ya. Kita bikin wanita se-Indonesia terpaksa menonton Mad Man Show dengan alasan paling primitif sekalipun.” 

Senyum sinis kembali melebar di bibir Troy. Dia mematikan ponsel, lalu memasukkannya ke saku jas. Diam beberapa detik. Berpikir. Kemudian, dengan gerakan sedikit menyentak, dia menoleh ke Ujang. Dahinya berkerut seketika. “Kamu yakin mau mengantar saya ke studio?”

Ujang takut-takut melirik tuannya. Dia tahu adegan ini akan terjadi. “Semalam, saya tidur larut sekali, Mas. Tadi kesiangan bangun. Jadi nggak sempat mandi.”

“Lupa peraturan rumah ini?” 

Kalimat Troy begitu menekan. Tidak meledak-ledak, tetapi menukik. Membuat gentar.

“Sa… saya….”

“Kamu mau orang-orang di studio mencibir saya, karena punya sopir kumuh? Sudah. Keluar kamu. Aku nyetir sendiri.”

“Iya, Mas.”

Dua pintu depan mobil dibuka dengan gerakan berbeda. Ujang membuka pintu samping kanan dengan takut-takut, Troy melakukan hal yang sama di pintu kiri dengan entakan yang menggambarkan kegusaran. Sang majikan lantas berjalan memutar, melintasi moncong mobil, menghampiri Ujang. “Ingat. Sekali lagi terulang, tidak usah saya suruh, kamu langsung pulang ke kampungmu saja.”

Wajah Ujang menunduk. Pandangannya memaku lantai garasi. Troy tidak peduli. Dia segera membuka pintu mobil, mengempaskan bokongnya di jok belakang setir, lalu meraih tongkat versneling dan menggerakkannya. 

Mobil itu segera berayap ke luar garasi. Pintu gerbang dibuka oleh Iroh, pengurus rumah, yang juga istri Ujang. Ada satu lagi pekerja yang tinggal di rumah itu. Atmo, tukang kebun yang usianya sudah lewat setengah abad. Sekarang, Troy meluncurkan mobilnya, tanpa basa-basi kepada Iroh. Tidak ada klakson, apalagi ucapan terima kasih. 

Setelah jeda iklan, Studio 1 Extreme TV
Jalan Dago, Bandung
“Artis cantik Sherly Su meyakini bahwa poligami merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Dia sekarang sedang giat berkampanye antipoligami dan mendorong pemerintah agar menetapkan undang-undang yang melarang poligami. Pemirsa, Anda masih bersama Mad Man Show, talkshow paling ekstrem di Indonesia, bersama saya, Troya Pronocitro.”

Tidak ada yang menyebalkan dari wajah itu. Setidaknya, seperti itu yang tergambar di layar kaca. Troy adalah pria muda yang sedap dipandang. Kulit terangnya, hidup mancungnya, bibir tipisnya, mata bulat ekspresifnya, alis tebalnya, belah dagunya. Benar-benar menyenangkan. Seharusnya, seperti itu. 

Namun, bagi sebagian besar pemirsa televisi, dia menjadi the wrong man in the wrong place. Program Mad Man Show adalah acara unggulan yang melambungkan Extreme TV dua tahun terakhir. Televisi nasional berpusat di Bandung itu berutang banyak pada Troy, pencipta sekaligus pembawa acara Mad Man Show.

Talkshow paling ekstrem di Indonesia itu benar-benar melawan arus. Jika sebagian besar talkshow mengandalkan wanita sebagai penonton, Mad Man Show justru merangkul pria. Selain membahas apa saja tentang dunia pria, progam ini sering kali menyentil wanita: mengejek feminisme, mengkritik kepemimpinan wanita, dan memosisikan kaum Hawa sebagai rival. 

Intinya, apa pun yang dilakukan Oprah Winfrey, maka Troy memilih sebaliknya. Dia tidak memegang tangan nara sumber, sambil menatap matanya penuh simpati. Dia tidak memilih posisi tengah, seperti halnya Oprah yang selalu mengatakan, “Saya tidak sedang menyerang Anda.” Dia juga sama sekali tidak menyukai anjing. 

Hasilnya, hanya butuh empat kali tayang, progam ini langsung memunculkan pro-kontra pemirsa televisi. Persis sama dengan isu-isu lain yang biasanya segera memunculkan komentator-komentator ulung dari penjuru negeri. Sama hebohnya dengan dangdut ngebor, ulama berpoligami, video mesum anggota DPR, RUU pornografi, atau isu-isu lain yang sekonyong-konyong menjadi lebih penting dibanding berita melonjaknya harga beras.

Kontroversi meledak, iklan berjejal, nama Troy pun segera melejit. Seperti aktor antagonis dalam sinetron kejar tayang, Troy dipuja sekaligus dicaci. Otak cerdasnya, bicara tangkasnya, begitu menyedot perhatian. Namun, sikap sinisnya terhadap tema kesetaraan gender, kritik kerasnya terhadap aktivis wanita yang ia nilai kebablasan, benar-benar menjadi kombinasi yang tidak menyenangkan.

Toh, dua hal bertentangan itulah yang membuat Mad Man Show bertahan di posisi teratas program televisi paling banyak ditonton di Indonesia.

“Saya sangat tidak setuju, jika alasan berpoligami selalu dihubungkan dengan ketaatan terhadap Tuhan. Saya kira itu tafsir yang sangat primitif.”

Sherly Su, bekas bintang panas yang sekarang berusaha tetap disorot media lewat aktivitas sosialnya itu, mulai tak bisa mengelola emosinya dengan baik. Kecenderungan yang sering terjadi pada narasumber Mad Man Show. 

Bagaimanapun, Sherly tetap berusaha terlihat elegan. Citra itu mati-matian dia bangun beberapa tahun terakhir. Jauh berbeda dengan citra masa lalunya, yang identik dengan bikini dan otak kosong. 

Hari ini, dia mengenakan rok terusan warna beige, berlapis jaket ala french coat dengan warna sama. Rambut pendeknya disisir ke belakang, ringkas. Kaca mata minus seperempat menyempurnakan usahanya untuk terlihat elegan dan ’berisi’.

“Anda punya pendapat sendiri?” Troy bertanya dengan senyum aneh. Keramahan yang lebih dipahami sebagai serangan. Sekitar seratus penonton yang duduk di podium studio menyimak dengan seksama. Sebagian besar dari mereka adalah pria. 

Sherly menatap Troy dengan kesan menantang .”Ayolah, saya yakin, motivasi pertama pria menikah lagi adalah alasan seksual. Saya, kira ditutupi seperti apa pun, kita semua mengetahuinya.”

“Dengan kaca mata kesetaraan gender, mengapa Anda tidak berpikir untuk mengampanyekan poliandri?”

“Silakan Mas Troy bertanya ke 1000 wanita. Saya yakin, tak ada satu pun dari mereka yang menginginkan konsep itu.”

“Bukankah itu semakin memperkuat tesis bahwa pria lahir dengan naluri poligami dan wanita lahir dengan naluri cemburu?”

Sherly Su diam sebentar. Dia mulai mempraktikkan kata-kata penasihat spiritualnya. Diam sebentar sebelum berkomentar adalah cara yang baik untuk menjaga kualitas omongan. “Saya menyebut tesis itu tak beradab.”

Teriakan “Huuu!” membahana di seluruh studio. Troy mengubah cara duduknya. Kaki kanan melintang di atas kaki satunya. “Poligami Anda identikkan sebagai kekerasan dalam rumah tangga. Lalu, bagaimana dengan para pelaku poligami yang bisa menjaga keharmonisan rumah tangganya.”

“Satu di antara seribu. Saya terlibat dalam pendampingan wanita-wanita teraniaya. Kenyataannya, saya belum pernah bertemu istri yang dipoligami memperoleh kehidupan tenang. Lebih ba­nyak kacaunya.”

“Artinya, permasalahannya bukan pada konsep poligami, tapi lebih pada pelakunya. Anda ingin mengatakan seperti itu?” 


                                                       cerita selanjutnya >>


Penulis: Taufiq Saptoto Rohadi 
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2006


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?