Fiction
Lukisan Daun Merah Saga [1]

11 Jun 2013


Titik Kartitiani


Dahulu,  tiap perjumpaan denganmu rasanya seperti mimpi. Untuk meyakinkan diriku bahwa semua itu nyata, aku selalu menyimpan benda–benda kecil yang menyertai setiap perjumpaan kita. Seperti mengerat sepotong mimpi untuk kubawa serta dalam dunia keterjagaanku. Sekadar untuk mengenang  tiap perjumpaan dan kebersamaan kita nyata adanya. Perhatian–perhatian kecil yang bagiku menjadi sangat besar artinya.

Dari benda–benda yang bisa kusentuh, menjadikanmu realitas, teraba dan berdarah daging. Dengan meyakini itu, tubuh mungil ini akan kuat menapaki hidup yang terkadang lebih terjal dari tebing–tebing yang pernah engkau singgahi sebagai petualang. Dunia absurd, yang terkadang kita kenang sebagai kebodohan tetapi membuat kita saling dekat, walau tak saling rekat.

Aku masih ingat fragmen perjumpaan pertama denganmu di hamparan sabana dengan wangi edelweiss, 3.000 kaki dari kabut. Kala itu engkau berdiri di depanku seperti goresan ilustrasi roman cerita remaja. Menyandang tas carrier, sepatu trekking warna cokelat dengan kemeja flanel bercorak kotak–kotak merah. Kostum yang lagi tren kala itu.

“Kamu tahu, edelweiss itu hanya akan indah jika dia mekar di antara puncak gunung dan kebekuan suhu udara? Itulah keabadian yang abadi,” katamu, ketika melihat tanganku hendak memetik si bunga abadi. Jemariku pun bergeming seperti hidung kehilangan napas. Darah melonjak sampai ubun–ubun. Sejenak saling tatap,  matamu bertemu mataku. Pelan, darah yang bergolak kembali ricik.

Aku terpesona dengan pandangan matamu yang menatap seperti elang menjaga  tiap pucuk pohon puspa, tempatnya bertakhta. Engkau, si pencinta alam itu.
Untuk pertama kalinya aku gemetar bukan karena disuruh menyanyi di depan kelas. Pertama kali pula aku membayangkan keindahan bukan lagi sebagai kilau kunang-kunang, makhluk yang paling memesonaku. Keindahan adalah dirimu. Tiap episode pertemuan kucatat rapi melalui benda–benda kecil yang terpajang rapi di kamarku.

***
Suatu malam di Malioboro dan aroma gudeg yang katamu terenak di Yogyakarta. Engkau bercerita tentang impianmu untuk menjadi ahli desain kapal laut.
“Kamu tahu, Indonesia itu negara maritim. Tapi, kenapa kapal laut kita seperti barang antik yang terapung–apung di samudra luas NKRI?” katamu heroik sekali. Aku tergelak. Tiba–tiba kau bawa aku mengarungi tujuh samudra melalui cerita ekspedisi laut terhebat sepanjang abad.

“Kalau aku, hmmm... aku hanya ingin menjadi penulis. Akan kutuliskan perjalanan kapal-kapalmu,” kataku pendek, sambil mengambil selembar tisu untuk menghapus sisa makanan di tanganku. Kau tahu, masih kusimpan selembar tisu bertuliskan nama restoran itu. Sekadar memorabilia bahwa kebersamaan itu bukanlah maya. Walau keindahannya aku ciptakan sendiri.

Hingga hari itu, di sebuah pantai panjang yang membisikkan keberangkatan kapal–kapal. Kita berjalan di tiap lekuk gelombang pasang sambil menunggu matahari terbenam.

“Kadang–kadang aku merasa aneh. Bahkan, kekasihku pun belum pernah aku ajak ke tempat ini,” katamu, nyaris seperti bisikan. Sedikit dada ini mengembang, balon–balon pengharapan mengembang ke awan.  Tapi, buru–buru pecah oleh kenyataan. Aku bukan kekasihmu, walau setengah mati aku mengharapkan itu.
“Suatu saat, kamu pasti akan mengajaknya ke sini,” kataku, mengambang. Samudra lepas membawakan sehelai daun yang terayun–ayun di ujung gelombang. Buru–buru aku meraihnya. Daun kecokelatan dengan lubang–lubang air.

“Kamu tahu, ini daun apa?” tanyaku.
“Mana kutahu. Tapi, apa pun namanya, kukira dia sudah berjalan jauh. Seperti jalan yang bakal aku tempuh ke Jepang,“ katamu.
“Jadi kamu dapat beasiswa itu? Wah, selamat!” teriakku, kubuat girang, padahal aku kehilangan. Matahari terbenam pelan, sepelan air mata yang leleh tanpa suara, tanpa engkau tahu. 

***
Air mata kehilangan itu menjelma dendam keesokan harinya, ketika aku singgah ke rumahmu. Aku hanya ingin mengucapkan selamat jalan dengan kado yang aku bikin dengan begadang semalaman. Sebuah lukisan tentang laut abu-abu dengan daun yang kemarin kutemukan. Tapi, sepasang mata yang muncul di balik pintu, mengurungkan niatku. Mata ibumu.

“Cepat, nanti kamu ketinggalan pesawat. Kasihan tunangannya menunggu di bandara. Silakan datang, ya, di pesta pernikahannya,” kata ibumu, tepatnya, teriak ibumu. Sejurus kemudian kudengar dendang pemujaan tentang kekasihmu yang segalanya lebih dari aku. Kelebihan klasik versi mertua, mulai dari wajah, harta dan masa depan yang menjanjikan. Aku cukup tabah untuk mendengar, diam–diam memanjatkan doa, bahwa engkau layak mendapatkannya. Hanya kenapa engkau tidak pernah katakan padaku bahwa kamu sudah tunangan? Tak tahukah engkau, betapa besar artinya buatku? Di manakah engkau letakkan aku? Apakah seperti sepatu usang yang siap kau buang? Apa pun alasannya, penolakan pastilah menyakitkan.

“Kamu percaya kan kalau aku adalah angin. Akan selalu bisa menemukanmu, di mana pun kamu berada,” bisikmu sambil berlalu. Kugenggam erat kanvas yang masih terbungkus kertas hitam. Sebaris kalimatmu menjadikan  tiap garis dan warna kanvas kebersamaan kita, lekat nyaris di  tiap keping waktuku kemudian. Aku tak menyangka, warnanya itu tak luntur, walau diterpa kegigihan musim.
Apakah engkau percaya, Semesta selalu mencatat mimpi kita dan akan mewujudkannya bahkan pada saat kita sudah lupa?

***

Berpuluh perjalanan matahari berselang, ketika senja menjelang. Benang–benang cahaya yang nyaris tenggelam menyalakan artwork kaca berbentuk tetesan air yang digantung di bawah pohon bambu.

“Anda seperti membekukan gerak air, saya tidak mengira kalau hasilnya sebagus ini,” kataku kepada si arsitek. Dia hanya menunduk tersenyum.
“Saya hanya mencoba mendesain sesuai dengan yang saya bayangkan tentang Anda. Semoga Anda suka,” katanya, sembari menjabat tanganku. Sesungguhnya bukan tetes air yang dibekukan seperti foto, tapi monumen air mata yang mengkristal, membekukan hati.

Aku kangen dengan nada gitarmu yang mengalunkan irama malam, walau tanpa kepastian yang pasti.  Aku ingin engkau hadir di sini untuk sekadar mengatakan, ”Lihatlah, tamanku indah bukan?” Ada denting halus menelusup. Angin menggoyangkan artwork kaca hingga saling bersentuhan, menghasilkan tangga nada. Irama yang rasanya aku mengenalnya. Dawai gitarmukah?
Belum sempat terjawab, si Mbak mengusikku, “Ibu ada tamu. Katanya sahabat lama, dari Jepang. Boleh masuk?”

***

Kamu benar–benar hadir bersama angin yang datang membawa serta nada gitarmu yang selalu teralun di hatiku. Berdiri di depan pintuku, senja membentuk tubuhmu. Berlatar dengan artwork air mata itu, duniaku seperti terlipat. Tak ada sekat antara kenangan dan kenyataan.

“Hei,” kataku masih limbung. Sesaat kami hanya saling menatap. Kamu masih kukuh seperti yang kuingat, sementara aku lunglai kehilangan pijakan.
“Hmm, taman yang indah. Boleh duduk?”
“Eh, iya... silakan,” jawabku, sembari mengumpulkan keping kesadaran.
“Ha... ha... ha.… kenapa denganmu. Kaget? Sudah kukatakan, aku kan angin yang bisa menemukanmu, di mana pun kamu berada,” katanya, tergelaknya. Mau tak mau aku tersenyum. Kehangatan dua cangkir kopi itu mencairkan ruang di antara kami.

“Hmm, sebenarnya tak harus menjadi angin untuk menemukanmu. Ada banyak sekali namamu di Google. Kamu sudah menuliskan banyak hal,” katamu.
“Ya, kecuali tentang perjalanan kapal–kapalmu.” Kamu menunduk, seperti kehilangan. Entahlah, aku tidak ingin merusak pertemuan ini dengan mengatakan bahwa tekadku justru karena dendamku.
“Apa kabar istri dan anakmu? Kamu sudah punya anak, bukan?” tanyaku, mengalihkan perhatian.
“Ya, satu, umur 6 tahun. Hei, kenapa kamu tidak hadir saat pernikahanku?” protesmu.

“Mmm, aku tidak ingin merusak pestamu karena makanan akan cepat habis kalau aku datang, ha... ha... ha...,” jawabku, sekenanya. Kamu pun ikut tergelak. Ah, aku masih terlalu pengecut kala itu. Aku tidak sanggup untuk melihat bahwa yang bersanding di sampingmu bukan aku. “Maaf, saat kamu menikah aku dapat panggilan kerja. Jadi aku harus berangkat hari itu juga. Walaupun tidak lama aku bertahan di perusahaan itu. Aku keluar dan bikin usaha sendiri, sampai sekarang. Tapi percayalah, aku selalu berdoa untukmu dan kebahagiaan keluargamu,” kataku lirih.

“Ternyata tidak semudah teori dalam buku.”
“Maksudmu?”
 “Sudah lama aku pisah dari istri dan anakku karena aku dianggap tak bisa memenuhi kebutuhan mereka dengan gajiku yang pas–pasan,” keluhmu.
“Kamu cerai?” Ada harapan melambung, tapi buru–buru kumatikan. Daun yang sudah gugur sebaiknya tidak dipungut kembali.  Berhentilah melayani pohon, karena tugasnya kini menyuburkan tanah dan mengabdi pada akar.
“Tidak juga, hanya tidak jelas bagaimana aku harus menyatukan kembali.”
Hening. Fragmen masa silam itu kembali hadir. Sepasang mata ibumu pernah membakarku gara–gara aku tak selevel dengan calon istrimu. Tapi sungguh, saat itu dendamku hanya aku ingin punya yang saat itu aku tak punya. Tidak termasuk mendoakanmu mengalami nasib sepertiku kala itu. Kamu terlalu indah untuk kudoakan sengsara. Sesakit apa pun diriku.

“Hmmm, aku percaya, kalian akan bersatu lagi. Karena bagaimanapun, kamu sebagai ayah yang takkan tergantikan bagi anakmu,” ucapku, lirih. Angin kembali datang, menggoyang batang–batang bambu, menggoyangkan dedaunan, dan lukisan yang tergantung tak rekat di dinding beranda.
“Lukisan itu indah. Aku suka warnanya, abu–abu dan merah menyala. Kamu yang bikin?” katamu. Detail kauperhatikan lekuk daun yang terapung–apung di laut kelabu.
“Ya, aku yang bikin. Kamu suka?”
“Hmm, aku tidak tahu kamu suka melukis,” komentarmu. Ah, banyak yang kamu tak tahu tentang aku, sementara aku menyimpan setiap inci hidupmu.
“Kenapa daunnya merah, kontras sekali?”
“Mmm, aku tidak tahu. Tiba–tiba saja pengin seperti itu. Kalau abu-abu, kan enggak kelihatan,” jawabku, sekenanya. Tidakkah engkau ingat, di mana daun itu pernah singgah? Daun yang masih sama, yang kutemukan di pantai itu. Dia harus merah menyala seperti nyala suar. Yang mengisyaratkan kapal–kapal untuk berlabuh. Yang  memanggilmu mendekat sejauh apa pun kau ada. Andai engkau paham.
“Indah, aku suka,” katamu tulus.
“Hadiah buatmu. Tinggal tambahkan kapal–kapal bikinanmu di sana, ya,” ujarku sembari tersenyum. Kulepaskan lukisan itu dari tembok, seperti melepas masa lalu. Hatiku ringan, seringan kapas. Lukisan daun merah saga. Kukira, aku tak lagi memerlukannya.





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?