Fiction
Lelaki Pilihan [8]

19 May 2012

<< cerita sebelumnya

Ketika keesokan harinya Ilham hendak pulang, Nina dan Bill pun memutuskan ikut serta untuk berlibur di kampung. Mereka pun memutuskan naik kereta api. Sepanjang jalan mereka tetap mengobrol santai. Tak pernah sekali pun disinggung tentang perjodohan ataupun hubungan mereka. Benar-benar pandai bersandiwara, batin Ilham. Kali ini Nina tak duduk berdampingan dengan Bill, melainkan memilih di sebelah Ilham. Ilham lebih banyak diam. Dia hanya mengobrol sekadarnya.

Setelah memesan makan siang di kereta, kedua lelaki di sebelahnya tertidur, sementara Nina memilih membaca novel. Sesekali kepala Ilham jatuh ke bahunya. Dipandanginya wajah Ilham dalam tidurnya. Timbul rasa kasihnya pada diri lelaki ini. Dengan lembut dia tarik kepala Ilham untuk bersandar di bahunya. Selanjutnya dia meneruskan membaca bukunya.

Bill terbangun lebih dulu, lalu mengajak Nina mengobrol.

Mendengar orang mengobrol, Ilham pun terbangun. Dia kaget karena tertidur di bahu Nina. “Kau mau gantian bersandar ke bahuku?” tanyanya.

Nina menggeleng, sambil tersenyum. “Nanti saja kalau aku capek.”

Ilham merapikan rambut Nina yang agak berantakan. Gadis ini baik, pikirnya. Hatinya bisa lembut keibuan juga kalau dia mau. Ilham duduk diam, sambil merenungkan sikap Nina.

Namun, ternyata bukan padanya saja Nina bersikap lembut. Pada Bill pun sikap Nina tak kalah lembut. Dia membantu mengancingkan tas ransel Bill dengan telaten, layaknya seorang ibu yang mengancingkan tas anaknya. Semua yang dilakukannya bersama Bill sangat wajar. Apakah karena pria ini, Nina ngotot menolak perjodohan mereka? Jika benar, tak heran Nina melakukannya. Mereka saling menyayangi. Ini terbaca jelas dari sikap mereka.
Kala melihat sambutan keluarga Nina pada Bill, Ilham yakin bahwa hubungan Nina dan Bill sudah terjalin lama. Ia pun makin penasaran. Namun, dia tidak mau mengambil tindakan sebelum mendapat penjelasan dari Nina.

Suatu sore, ia mendapati Nina seorang diri.

“Ke mana Bill?” tanya Ilham.

“Mancing di laut dengan adikku.”

“Kebetulan, kalau begitu. Aku ingin mengobrol denganmu. Sejak kemarin aku penasaran dengan Bill. Melihat keakraban kalian, juga dengan keluargamu, dia bukan orang yang asing bagi kalian, bukan? Bahkan boleh dibilang hubungan kalian sangat akrab.”

Sesungging senyuman menghias bibir Nina. Dia mengerti ke mana arah pembicaraan Ilham selanjutnya. “Ya, hubungan kami memang sangat akrab. Bagaimana tidak akrab? Aku sudah mengenalnya hampir 15 tahun. Aku pernah jadi asisten penelitiannya. Dia juga pernah homestay di sini. Kamu merasa terganggu dengan hubungan kami?”

“Aku agak kaget karena hubungan kalian sangat istimewa.”

Nina terkekeh melihat Ilham tak menutupi kecemburuannya.

“Kalau aku boleh bertanya, apakah hanya sebatas teman biasa saja hubunganmu dengannya? Hal ini kutegaskan agar aku tahu di mana posisiku sebenarnya,” kata Ilham.

“Ya, kami hanya teman, tepatnya sudah seperti saudara. Bukankah sudah kubilang aku punya teman-teman yang sangat akrab. Mungkin, hubungan kami dan cara kami mengungkapkan keakraban itu dirasa sangat ekstrem bagimu. Tapi, begitulah bentuk hubungan kami,” kata Nina.

Ilham menatap Nina, mempelajari kedalaman hatinya. Kelihatannya Nina jujur. “Jadi, aku tak perlu mengkhawatirkannya?”

“Kalau yang kamu maksud apakah aku berpacaran dan menikah dengannya kelak, tentu saja tidak,” jawab Nina, santai. “Aku menemukan sosok lebih daripada teman. Mungkin, sahabat sejati. Aku bisa leluasa menceritakan semua masalahku, tanpa perlu pertimbangan apakah dia akan mengumbar rahasiaku itu atau tidak. Aku juga bisa bersikap santai, tanpa harus berpura-pura sopan. Pokoknya, aku bisa menjadi diriku sendiri bila bersamanya. Aku merasa nyaman. Itulah mungkin yang membuat hubungan kami jadi khusus. Kau cemburu?” tanya Nina, dengan wajah jenaka.

“Sangat. Dadaku hampir terbakar rasanya.”

“Apakah ini pertanda kau mulai mencintaiku atau kau hanya merasa tersinggung karena aku akrab dengan pria lain?” tanya Nina.

“Tentu saja aku mencintaimu. Kenapa kau ragukan itu?”

“Wah, terima kasih. Senang juga ada yang mencintaiku,” ujar Nina santai, sambil meraih pipi Ilham dan mengecupnya sekilas.

“Apakah ini pertanda kau pun sudah mulai mencintaiku?” tanyanya. “Atau, di luar ciuman tadi, apakah ada setitik perasaan cinta itu di hatimu padaku?”

“Jangan gede rasa. Memang berapa lama kita bertemu?” elak Nina.

“Tapi, kamu merasa nyaman bersamaku, ‘kan?” kata Ilham.

“Ya, tapi perasaan nyaman belum menjamin bahwa aku mencintaimu. Seperti halnya dengan Bill, aku pun merasa nyaman dengannya. Aku dan dia juga saling menyayangi. Kami sudah saling memahami siapa diri kami masing-masing. Tapi, kami tak mungkin menikah. Kenapa, coba tebak?” tantang Nina.
Ilham hanya menggelengkan kepala.

“Karena tak ada titik api di antara kami. Kalau orang Barat menyebutnya tak ada chemistry di antara kami. Awalnya, aku beranggapan bahwa aku juga jatuh cinta padanya. Aku makin lama makin sayang padanya. Dia pun sama. Tapi, akhirnya aku menyadari bahwa di antara kami tak ada keinginan sedikit pun untuk melakukan hubungan cinta. Yang ada adalah kasih sayang tulus sahabat.”

“Apakah denganku kau tak merasakan chemistry itu?”

”Sabar, dong, kita kan baru berkenalan,” ledek Nina.

“Ayolah, Nina, kalau apa yang kuduga itu benar, apa lagi yang kita tunggu? Kau sudah tahu, ke mana hubungan ini akan mengarah. Kita sudah saling menjajaki, dan kenyataannya kita cocok. Apa lagi yang kita tunggu?”

Nina menatap Ilham dengan rasa ngeri saat membayangkan pernikahan. “Kenapa kita tak begini saja, sih. Berteman baik.”

“Nina!”

“Aduh, Mas, mengertilah. Aku tak bisa memberikan jawaban untuk komitmen yang akan mempertaruhkan masa depanku,” kata Nina, ngeri, walau rasa sayang pada lelaki ini mulai tumbuh.

“Oke, mungkin aku terlalu cepat mendesakmu,” desahnya, sambil menepuk-nepuk tangan Nina, menenangkan. “Tapi, kau tak keberatan kan, kalau kita melanjutkan hubungan?” tanya Ilham.

Nina menatap Ilham dengan serius. “Apakah kau men­cin­taiku?”

“Aku sudah jatuh cinta sejak pertama kali aku datang ke rumahmu. Namun, cinta baru tumbuh ketika kau bersikeras menolakku. Itu membuatku makin tertarik padamu. Sesudahnya, makin aku mengenalmu, perasaan itu makin kuat mengikat hatiku.”

“Kenapa kau tak cerita?”

“Dan membuatmu lari ketakutan, sehingga makin ngotot menolak perjodohan kita?”

“Apa itu sebabnya kau ngotot melanjutkan perjodohan ini?”

Ilham mengangguk.

“Tapi, seberapa besar cintamu?” tanya Nina. “Kau tak bakal ber­paling pada orang lain ketika cintamu memudar?” tanya Nina.

“Tuhan saksinya, Nina. Aku berjanji akan jadi suami yang setia.”

Nina masih menatap Ilham. Melihat Nina diam, Ilham mencoba meyakinkan. “Maukah kau belajar memercayaiku? Mungkin, kepercayaanmu padaku masih tipis, tapi aku ingin kepercayaanmu padaku bertambah. Aku akan sabar menunggu sampai kau yakin bahwa aku berkata jujur. Aku akan buktikan bahwa aku akan melindungimu, menyayangimu, juga mencintaimu selalu.”

Nina mendesah. Ia percaya akan ketulusan pria ini. “Ya, tapi beri aku waktu untuk memahami perasaanku sendiri.”
“Jadi, kamu setuju kita menjalani perjodohan ini?” desak Ilham.

Nina menimbang-nimbang. Kalau lelaki ini begitu yakin pada langkahnya, kenapa dia mesti takut melangkah ke sana.

“Baiklah, kita coba saja jalani perjodohan ini,” ujar Nina.

“Apakah tak sebaiknya kita kabarkan hal bahagia ini pada kedua orang tua kita?” tanya Ilham lagi, dengan wajah berseri-seri.

“Nanti dulu. Jangan tergesa-gesa. Aku belum yakin akan hatiku. Aku tak mau jika kelak ternyata hatiku berubah atau hatimu juga berubah. Apa yang akan terjadi pada keluarga kita kalau kita batal menikah?” kata Nina, panik. “Lagi pula, masih banyak hal yang harus kita pikirkan,” desah Nina.


                                                                                cerita selanjutnya >>


Penulis: Indah Kunarso


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?