Fiction
Lelaki Pilihan [10]

19 May 2012

<< cerita sebelumnya

Pagi itu matahari sangat cerah di Kyoto. Walau udara masih terasa dingin bagi kulitnya yang terbiasa terpanggang udara panas kota Cirebon, cuaca musim semi di Kyoto sangat cerah. Bunga-bunga aneka warna bertebaran di taman-taman kota. Setelah urusan bisnisnya selesai, hari ini Ilham bermaksud jalan-jalan dan mencari oleh-oleh untuk putrinya, sebelum kembali ke tanah air. Dia memutuskan melihat-lihat kuil-kuil kuno yang bertebaran di kota ini.

Hari itu ia bermaksud mengunjungi Kuil Ryoanji. Ia sama sekali tak menyangka, di sanalah ia bertemu Nina. Walau lama tak berjumpa, dia hafal benar pada bentuk tubuh Nina dari belakang. Di antara para turis lain, dia melihat Nina dengan kameranya sedang mengabadikan taman dari batu-batu karang yang terserak di antara butir-butir pasir putih.

|“Selamat pagi,” sapanya pada Nina, yang tak menyadari kehadirannya.

Nina menoleh. “Kau! Kenapa ada di sini?” serunya, heran.

“Bisnis. Bagaimana kabarmu?” tanya Ilham, sambil meneliti keadaan Nina. Walau terlihat agak kurus, secara keseluruhan Nina baik-baik saja.

“Baik. Wah, bisnismu tambah maju rupanya. Berapa lama kau di sini?”

“Hari ini aku pulang. Sudah berapa lama kau di sini? Kau menetap di sini?” tanya Ilham. Melihat penampilan Nina, sepertinya Nina bukan turis yang datang sesaat di kota ini.

“Aku sudah beberapa hari di sini. Kau sudah pergi ke mana saja?” tanya Nina, seakan-akan di antara mereka tak pernah terjadi apa-apa.

“Aku belum ke mana-mana. Kau menginap di mana?”

“Di rumah seorang teman. Kau di hotel apa?”

Ilham menyebutkan nama hotelnya. “Sepertinya, kau baik-baik saja. Apakah kau bahagia?” tanyanya, melihat penampilan Nina yang segar ceria.

“Ya. Aku cukup senang di sini.”

“Ya, aku bisa melihat kalau kau cukup senang. Apakah kita bisa mengobrol sebentar, sambil minum-minum?” pinta Ilham.

Nina tampak berpikir, lalu mengatakan, “Oke. Kulihat di sana ada beberapa restoran. Beberapa di antaranya menyajikan makanan yang enak di lidah kita,” ujarnya, sambil menarik tangan Ilham.

Mereka memilih salah satu restoran Jepang dan duduk menikmati teh dan kue-kue kecil di situ.

“Bagaimana Cirebon?” tanya Nina, setelah mereka berdua duduk dan pesanan mereka sudah datang. Dia tahu, sejak tadi Ilham sibuk meneliti dan mengamatinya dengan cermat.

“Tak terlalu baik sejak kepergianmu. Kenapa kau pergi sedramatis begitu? Ada apa sebenarnya?”

“Ah, masalah itu lagi. Tak ada topik yang lebih menarik?”

“Tidak. Aku justru ingin tahu tentang itu. Masalah kita belum selesai. Suratmu tak menjelaskan apa-apa tentang kepergianmu.”

“Sudahlah. Aku tak ingin membahas. Kita tutup saja lembaran itu.”

“Ini belum berakhir, Nina. Sampai sekarang aku tak mengerti dengan tindakan yang kau ambil. Aku butuh penjelasan.”

“Sederhana saja. Aku memutuskan untuk kembali bebas dan mencoba meraih kehidupan seperti yang selalu kuimpikan sejak kecil.”

“Jadi, kehidupanmu denganku, walau sesaat, kau anggap mengikat?”

“Ya. Aku sangat bodoh karena setuju pada rencana orang tua kita.”

“Bagaimana dengan perasaanmu sendiri? Apakah kau menyangkal bahwa kau pun mencintaiku dan ingin hidup bersamaku?” tanya Ilham pelan, tapi tajam. Matanya mulai berkilat marah.

“Harus kuakui, aku sempat terhanyut perasaan tersebut, walau kini kusesali keberadaannya. Seharusnya, aku tak jatuh cinta pada­mu. Dengan demikian, tak perlu ada rasa sakit ketika cinta itu tak bisa terwujud.”

“Apa maksudmu tak terwujud? Rasa sakit? Jelaskan semuanya, Nina, jangan berputar-putar terus!” bisik Ilham, masih dengan suara pelan.

Nina menatap Ilham dengan jengkel. “Sebenarnya, aku sudah tak ingin membicarakan hal itu lagi. Tapi, baiklah, kalau kau memaksa. Aku memutuskan kita kembali ke kehidupan masing-masing. Itu saja. Aku membebaskanmu. Kembalilah kau ke kehidupanmu dulu, ke Yanti, ataupun gadis lain, yang aku tak tahu. Kau bebas, Mas, sebebas-bebasnya. Sama seperti diriku kini.”

“Maksudmu Yanti, sekretarisku? Kau cemburu? Jadi, ini pangkal permasalahannya?” kata Ilham, sambil menepuk keningnya.Lalu, ia tertawa keras.

“Ya, Yanti sekretarismu. Bukankah ia kekasihmu? Aku tak berhak merebut dirimu dari tangannya. Sama tidak berhaknya dirimu menjadikan aku sebagai istri kamuflasemu hanya demi mematuhi keinginan orang tuamu.”

“Ya, ampun, Nina! Kau menuduhku main gila dengan sekreta­risku sendiri? Apa-apaan ini! Apa pikiranmu sudah tak waras? Siapa yang akan menjadikanmu istri simpanan? Atau, apa istilahmu tadi… istri kamuflase?”

“Jangan kau kira aku sebodoh itu. Aku sudah menyelidikinya, sebelum memutuskan pertunangan kita. Yanti pernah jadi kekasihmu, bukan? Dia pula yang selalu mendampingimu merawat anakmu, setelah istrimu meninggal.”

“Ya, itu benar. Tapi, hubungan kami sudah tak ada apa-apanya lagi. Yanti sudah kuanggap keluarga sendiri, adik sendiri. Sama seperti hubunganmu dengan Bill. Hubungan kami tak lebih dari itu.”

Nina menatap mata Ilham sangat lama. Di matanya tersirat ketidakpercayaan. “Bagaimana dari pihak Yanti sendiri? Apa Yanti juga beranggapan yang sama denganmu?” tanyanya, dingin. “Bagaimana tanggapan teman-teman kantormu? Apakah mereka tak menganggap kalian berpacaran?”

“Aku tak tahu tanggapan orang-orang. Aku, toh, tak bisa mendikte orang agar beranggapan sesuai kehendak kita. Kukira, aku juga tak perlu menerangkan pada semua orang tentang bentuk hubunganku dengan Yanti.”

Nina memandang Ilham dengan mimik tak percaya. Ilham yang melihat sikap Nina demikian, rasanya sudah gemas ingin mencekiknya.

“Lantas, kenapa dia akan resign saat tahu kau mau menikah denganku? Kenapa kau harus mengiba-ngiba padanya untuk tak meninggalkanmu? Karena kau masih mencintainya? Kau tak bisa hidup tanpanya?”

“Memang aku tak bisa hidup tanpanya. Tapi, itu dalam pekerjaan. Yanti adalah sekretaris, sekaligus tangan kananku. Dia sangat andal dalam menangani pekerjaannya. Aku tak ingin kantorku berantakan gara-gara dia mundur. Saat ini kantorku sedang banyak pekerjaan. Tanpa dirinya, aku pasti akan kelabakan sendiri. Memang, aku bisa mencari sekretaris baru, tapi belum tentu sekretaris itu bisa seandal dirinya. Keinginannya untuk mundur sudah lama ia ungkapkan. Jadi, tak ada hubungannya dengan rencana pernikahan kita.”

Nina menyipitkan matanya, meneliti kebenaran di wajah Ilham.

“Kalau tak percaya, kau boleh telepon Yanti sekarang juga.”

Nina diam, sambil memandangi Ilham. “Baiklah, kalau penyelidikanku salah, aku minta maaf. Tapi, terus terang, aku benar-benar terpukul ketika karyawanmu mengatakan bahwa aku merebut diri­mu dari tangan Yanti.”

“Siapa yang mengatakan begitu?” tanya Ilham, berang.

“Aku tak tahu. Aku mendengarnya dari balik toilet ketika mere­ka membicarakan tentang diriku,” jawab Nina, sambil mengangkat bahunya.

Hening. Mereka diam.

“Aku minta maaf kalau aku salah menafsirkan hubungan kalian,” ujar Nina, setelah dia cukup lama mencerna omongan Ilham.

Ilham lega. “Nina… kenapa mesti ada kesalahpahaman demikian? Kenapa kau tak datang langsung padaku. Kenapa mesti lari?”

Nina tak menjawab. Sesudah itu mereka bercerita tentang topik lain. Tentang situasi Cirebon, tentang beberapa negara yang telah dikunjungi Nina. Mereka kembali ke hotel ketika hari sudah senja. Ilham bertekad membawa Nina pulang. Karena itu, dia memutuskan menginap lebih lama lagi di Kyoto. Dia tak mau Nina menghilang lagi.

“Kau akan pulang bersamaku, bukan?” tanya Ilham, ketika mereka tiba di hotel.

“Aku masih harus mengerjakan beberapa tulisan. Kau pulang duluan saja. Aku masih akan mengunjungi beberapa negara lagi.”

“Kau mau ke mana?” tanya Ilham, tak mengerti.

“Aku berencana ke Thailand, sebelum akhirnya aku memutuskan mau menetap di mana.”

“Maksudmu, kau tak akan tinggal di Indonesia lagi?”

“Mungkin. Sudah saatnya aku mencoba peruntunganku di negeri orang.”


                                                                       cerita selanjutnya >>


Penulis: Indah Kunarso



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?